Oleh: Ali Thaufan DS
Pada masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sudah tercatat
dua partai politik yang mengalami kisruh. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Hukum dan HAM dianggap turut mencampuri urusan internal partai politik. Segala
keputusan yang diputuskan Kemenkumham pun diaggap sebagai keputusan politis, tidak
memberikan keadilan bagi pihak yang berpolemik dalam internal partai. Atas
beberapa keputusan sang Menteri, tidak sedikit pihak yang dirugikan, dan tentu
saja diuntungkan. Setidaknya terdapat dua partai politik yang mendapat
keputusan dan pengesahan kepengurusan dari Kemenkumham, yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar (PG). Dalam keputusan Kemenkumham, bukan
malah memberi solusi atas polemik partai, tetapi justru memperkeruh suasana.
Tulisan ini hadir dari pembacaan media atas kisruh dua partai politik –PPP dan
PG- dan penyelesaiannya oleh Kemenkumham.
Kisruh pertama yang menjadi sorotan penulis adalah kisruh yang
melanda PPP. Partai berlambang Ka’bah mengalami dualisme kepemimpinan. Posisi
ketua umum disatu pihak diklaim dimiliki oleh Romahurmuzi, dan dipihak lain
diklaim dimiliki oleh Djan Faridz. Polemik tersebut bermula dari adanya dua
kubu yang berseberangan dalam menentukan arah koalisi pada pemilu presiden 2014
silam. Ketua umum saat itu, Suryadarma Ali memutuskan membawa suara PPP untuk
bergabung dalam koalisi mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan
Hatta Rajasa. Sedangkan, barisan Romahurmuzi membawa PPP mendukung pasangan
Jokowi dan JK. Sejak saat itu, ketegangan terus melanda PPP. Masing-masing kubu
saling pecat keanggotaan, saling menduduki kantor partai, hingga saling klaim
mendapat restu sesepuh partai, Maimun Zubair.
Polemik yang terjadi pada PPP menjadi perhatian sekaligus merupakan
hal yang cukup memprihatinkan. Sebagai partai yang berlambang simbol kebesaran
agama Islam –yakni Ka’bah- PPP dianggap mencederai Islam itu sendiri. Polemik
dalam tubuh PPP turut membuat citra partai Islam menurun. Masyarakat merasa
kecewa terhadap polemik yang terjadi dalam partai berazas Islam, termasuk PPP.
Polemik dualisme kepemimpinan akhirnya dibawa ke Kemenkumham. Keputusan
Kemenkumham memilih kubu Romahurmuzi sebagai ketua umum yang legal berdasarkan
muktamar PPP di Surabaya. Segera saja, keputusan tersebut membuat kubu Djan
Faridz bertindak. Keputusan tersebut membuat Djan dan kawan-kawan mengadukannya
ke pengadilan negeri tata usaha negara (PTUN). Polemik justru semakin keruh,
pasalnya PTUN memenangkan kubu Djan. Upaya islah semakin jauh dari harapan.
Selanjutnya, adalah kisruh ditubuh partai Golkar. Sebagai sebuah
partai “tua” di Indonesia, Golkar seringkali menghadapi kisruh internal. Klaim
ketua umum yang legal mewarnai kisruh tersebut. Tak pelak, dualisme
kepemimpinan tak terelakkan. Satu kubu menganggap ketua umum yang legal adalah
Aburizal Bakrie berdasarkan Munas Bali, dan kubu lainnya menyatakan Agung
Laksono sebagai ketua umum yang sah berdasarkan Munas Jakarta. Masing-masing
kedua kubu saling “ngotot” mengklaim bahwa Munas yang mereka lakukan –baik Bali
maupun Jakarta- sebagai Munas yang sah. Saling pecat antarkeduanya pun mewarnai
polemik tersebut.
Upaya menyatukan kedua kubu digiatkan. Beberapa senior partai turun
tangan untuk mencarikan solusi atas dualisme kepemimpinan tersebut. Polemik
yang terjadi di Golkar memaksa mereka menyelesaikannya di meja Kemenkumham.
Kemenkumham yang mempelajari laporan dari masing-masing kubu akhirnya
berkesimpulan, agar kedua kubu menyelesaikan melalui mekanisme mahkamah partai.
Dalam putusan mahkamah partai –meski masih terbuka ruang penafsiran amar
putusan- kubu Agung dimenangkan. Hal ini membuat kisruh dalam tubuh Golkar
semakin kompleks.
Dengan dimenangkannya kubu Agung, kemenkumham akhirnya
mengesahkannya berdasarkan keputusan sidang mahkamah partai. Sontak saja,
keputusan tersebut membuat kubu Aburizal “berbondong-bondong” mencari pembelaan
sekaligus menawarkan hak angket kepada Menteri Hukum dan HAM. Melalui kekuatan
koalisi yang ada di DPR, mereka menggalang suara untuk mengajukan hak angket
kepada Yasona H Laoly.
Terkait dua kisruh partai di atas, pemerintah (Kemenkumham) dianggap
telah ikut mencampuri urusan “dapur” partai. Menyikapi hal ini, dua pendapat
juga mengemuka, menggugat keputusan menteri dan mendukung keputusan menteri.
Setidaknya, pengambilan keputusan yang dilakukan Menteri adalah bentuk
“partisipasi” dalam polemik sebuah partai. Perbedaan pendapat menyikapi
keputusan adalah konsekuensi logis dari keputusan politis sang Menteri.
Terhadap kubu yang dimenangkan tentu diharapkan dapat menjadikan partai politik
sebagai salah satu penunjang sistem demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar