Oleh Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Pada
tahun 2009 lalu, saya –selanjutnya penulis- mengikuti kelas “Tasawuf Nurcholish
Madjid” yang diadakan yayasan Paramadina, bertempat di Musallah Raharja Pondok
Indah. Saat itu materi diampu oleh Dr. Asep Usman, salah satu dosen Fakultas
Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Diantara kesimpulan yang penulis
dapatkan dari pembelajaran tersebut adalah, bahwa seorang sufi tidak melulu
menyendiri di Gunung, Gua, tempat sepi, tempat ibadah dan lainnya. Tetapi,
seorang sufi dapat mempraktikkan ajaran sufi di dalam kehidupan normal pada
umumnya, ditengah masyarakat. Kesimpulan selanjutnya adalah bahwa para sufi
juga tidak bisa diidentikkan sebagai orang yang “kusam”, pakaiannya ketinggalan
zaman.
Pada
zaman modern seperti saat ini, bisa saja seorang sufi juga berpakaian layaknya
masyarakat umum. Dr. Asep Usman juga menjelaskan bahwa salah satu model sufi
“zaman modern” antara lain adalah Nurcholish Madjid. Barangkali ia adalah satu
dari deretan sufi-sufi zaman modern.
Jauh
sebelumnya, pada masa-masa awal kejayaan Islam, sejarah Islam mencatat
nama-nama yang dianggap sebagai sufi agung seperti, al-Junaid al-Baghdadi, Abu
Yazid al-Bustami, Husain ibn Mansur al-Hallaj, Abu Hamid Ghazali dan banyak
lagi nama lainnya. Nama-nama tersebut kemudian melahirkan dua corak besar dalam
tasawuf, yakni Sunni dan tasawuf Falsafi. Dua aliran tasawuf ini turut mengisi
ruang-ruang sejarah peradaban Islam.
Tulisan
ini berusaha memaparkan tentang konsep tasawuf Sunni dan salah satu tokoh sufi Sunni,
yakni Abu al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi
atau yang dikenal dengan Imam Junaid al-Baghdadi. Bagi para pengkaji ilmu
tasawuf, nama al-Junaid mungkin tidak asing lagi. Telah banyak kajian terdahulu
yang memberikan informasi terkait tasawuf al-Junaid.
Seputar
Konsep Tasawuf Sunni
Keberadaan
kelompok ahli fikih, kalam, filsafat dan juga tasawuf telah memberi pengaruh
besar dan corak tersendiri pada kajian Islam. Dalam kajian tafsir misalnya,
dikenal beberapa corak penafsiran seperti corak fikih, falsafi, sufi dan
lainnya. Pun demikian dalam kajian tasawuf, terdapat dua corak yang menjadi
poros utama tasawuf, yakni tasawuf Sunni dan Falsafi.
Beberapa
tokoh sufi yang tercatat sebagai sufi aliran Sunni adalah Abd al-Karim ibn
Hawazin yang sering dikenal dengan al-Qusyairi (lahir 376 H), Abu Ismail
Abdullah ibn Muhammad al-Anshari (lahir 396 H) dan tentu saja, Imam al-Ghazali.
Pada perkembangannya, tasawuf Sunni mencapai puncaknya pada masa Imam
al-Ghazali, sekitar akhir abad 4 hingga 5 H.
Munculnya
dua poros tasawuf ini bermula dari pembahasan ma’rifah, fana’ dan baqa’ yang
menjadi puncak pengalaman seorang sufi. Para sufi Sunni tidak membahas lebih
lanjut mengenai tingkatan sesudah tiga hal tersebut. Ruang-ruang kosong
pembahasan mengenai tingkatan sesudah ma’rifah, fana’ dana baqa’ ini lah yang
kemudian melahirkan paham seperti ittihad, al-hulul dan wahdatul wujud.[1]
Nama-nama yang termasuk kategori sufi aliran ini (falsafi) antara lain: Abu
Yazid al-Busthami (w. 261 H), Husain ibn Manshur al-Hallaj (w. 309) dan Muhyiddin
ibn Arabi (w. 638 H).
Al-Taftazani
memberikan definisi tasawuf Sunni dengan aliran tasawuf yang penganutnya
mengambil sumber-sumber praktik tasawufnya dari al-Qur’an dan Hadis. Selain itu
tasawuf aliran ini juga mengaitkan tingkatan rohaniah dengan keduanya, al-Qur’an
dan Hadis.[2]
Definisi ini tampaknya mengacu pada apa yang dikatakan al-Junaid al-Baghdadi
bahwa landasan tawasuf yang utama adalah harus didasarkan pada al-Qur’an dan
Sunnah. Orang-orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis Hadis, maka
tidak boleh dijadikan panutan dalam tasawuf. Hal ini dikarenakan tasawuf sangat
terkait dengan keduanya, al-Qur’an dan Hadis.[3]
Imam
al-Qusyairi dikenal sebagai sufi yang ahli bidang keilmuan seperti fikih dan
kalam. Ia pun mengusai doktrin ahlu sunnah wa al-Jamaah dan dikenal sebagai
penentang sufi-sufi aliran lainnya, sufi aliran falsafi. Al-Taftazani mencatat
pernyataan al-Qusyairi sebagai berikut:
“Ketahuilah para
tokoh aliran ini (para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas
landasan-landasan tauhid yang benar, sehingga terpelihara doktrin mereka dari
penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan doktrin salaf maupun ahlu
sunnah, yang tidak tertandingi dan tidak mengenal macet. Mereka pun tahu hak
yang lama, dan bisa mewujudkan sifat suatu yang diadakan dari ketiadaannya.
Karena itu, tokoh aliran ini, al-Junaid berkata ‘tauhid adalah pemisah hal yang
lama dari yang baru’. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil
dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti yang dikatakan Abu Muhammad
al-Jariri: ‘barang siapa yang tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu
pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu kedalam jurang
kehancuran’”.
Ungkapan
di atas ditunjukkan pada sufi-sufi lain yang kerap melontarkan pernyataan nyleneh
(syathaha). Ungkapan tersebut (syathaha), menurut kalangan sufi Sunni seakan
memadukan antara sifat ketuhanan yang qadim dan kemanusiaan yang hadis;
menyamakan sifat kesempurnaan Tuhan dengan keterbatasan hambaNya, manusia; dan
menyatukan ‘Abid dengan Ma’bud.
Selain
persoalan tauhid yang telah diluruskan oleh al-Qusyari, ia juga mengkritiki
para sufi pada masanya yang gemar mengenakan pakaian orang-orang miskin yang
barangkali menjadi identitas kesufian saat itu. Ia mengemukakan bahwa menjaga
batin dan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah adalah lebih penting dari
sekedar pakaian lahiriah. Al-Qusyairi mengatakan:
“Duhai saudaraku,
janganlah kau terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat
(pada sufi sezamannya). Sebab ketika hakikat realitas-realitas itu
tersingkapkan, niscaya tampak keburukan kaim sufi yang mengada-ada dalam
berpakaian. Setiap tawasuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun
penjauhan diri dari kemaksiatan adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri;
dan setiap yang bating itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta
bukannya yang batin... dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan al-Qur’an dan
Sunnah adalah pengingkaran Tuhan...”. [4]
Dalam
pidato pengukuhan guru besar bidang tasawuf, Alwan Khairi membuka makalahnya
dengan pernyataan bahwa ajaran tasawuf yang sejalan dengan syari’ah adalah
tasawuf Sunni. Ia menyatakan bahwa:
“Tasawuf Sunni
yakni tasawuf yang ajarannya sampai pada tingkat ma’rifah. Syari’ah dan tasawuf
Sunni merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena corak tasawuf ini
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Ajarannya menekankan aspek pembinaan
akhlak yang terpuji dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam
hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya; (2). Ajarannya diselaraskan
sepenuhnya dengan ilmu syari’ah; (3). Ajarannya tidak mengandung syathahat yang
dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut ulama syari’ah; (4).
Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan
bunyi teks al-Qur’an dan hadis; dan (5) Dalam ajaran tasawuf Sunni masih
terlihat jelas perbedaan antara ‘abid dan ma’bud serta khaliq dan makhluk,
sehingga tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah maupun dalam
ibadah.”
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa dalam tasawuf untuk mendekati al-Qur’an dan Sunnah
harus dilakukan dengan cara takwil. Jika takwil tersebut dekat dengan bunyi
teks al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk tasawuf Sunni. Tetapi jika takwil
tersebut jauh dari al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk non Sunni. Adapun
ciri tasawuf Sunni adalah: Dalam tasawuf Sunni amal hati, lidah dan fisik
ketika melaksanakan syari’ah harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah;
dalam Sunni tidak terdapat unsur syirik baik akidah maupun ibadah; tasawuf
Sunni tidak memperkenankan tarekat suluk, uzlah, qonaah, zuhud dan lain-lain
tanpa ikhtiar sama sekali; ilmu laduni yang diraih melalui dzauq tidak
diakui sah apabila bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah; tasawuf Sunni
menekankan akhlak dan sopan santun dalam hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan sesamanya.[5]
Apa
yang dikemukakan oleh Alwan sepertinya hendak menegaskan bahwa tasawuf yang “legal”
dan sah adalah tasawufnya para sufi Sunni. Sedangkan praktik tasawuf kalangan
sufi falsafi bukanlah tasawuf sejati. Pembeda yang paling menonjol dan menjadi
sasaran kritik para sufi Sunni terhadap kalangan sufi falsafi adalah dalam persoalan
kemanunggalan dengan Tuhan yang esa.
Sekalipun
antara tasawuf Sunni dan falsafi terdapat banyak perbedaan, tetapi terdapat
juga persamaan keduanya. Persamaan yang paling pokok adalah bahwa sumber kedua
aliran tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya tetap konsisten
mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Keduanya juga menginginkan untuk mencapai
kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang bersifat spiritual.[6]
Dari
uraian singkat di atas, setidaknya penulis berkesimpulan bahwa apa yang
dimaksud dengan tasawuf Sunni adalah upaya menerapkan praktik-praktik tasawuf
yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini sejalan dengan ungkapan
al-Junaid, bahwa orang yang tidak berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah tidaklah
disebut panutan bagi kaum sufi. Munculnya aliran sufi Sunni adalah jawaban bagi
kelompok sufi falsafi.
Tentang
al-Junaid al-Baghdadi; Seorang Tokoh Sufi Sunni
Al-Junaid
memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz
al-Qawariri al-Baghdadi. Al-Junaid lahir di Nahawad, pada tahun 210 H. Ia
tumbuh dewasa dan menghabiskan hidupnya di kota Baghdad, wafat pada 297 H.[7]
Beberapa riwayat menyebut wafat pada hari Sabtu. Sebagian menyebut pada hari
Jumat, dan baru dimakamkan pada hari Sabtu.
Al-Khazzaz
dan juga al-Baghdadi yang disematkan pada namanya tak lain merupakan sebuah
gelar. “Al-Khazzaz” berarti saudagar sutera yang kaya raya. Pun demikian dengan
ayahnya yang bergelar “Al-Qawarir” yang berarti saudagar kaca. Sedangkan
“Al-Baghdadi” adalah menunjukkan tempat hidupnya.[8]
Namun demikian,kekayaan yang dipunyai tidak membuatnya sibuk dengan urusan
duniawi. Al-Junaid justru semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa.
Sepeninggal
ayahnya, al-Junaid di asuh oleh pamannya, Sari al-Saqati (w. 254 H) yang juga
dikenal sebagai tokoh sufi terkemuka di Irak dan ahli berbagai keilmuan.[9]
Di bawah asuhannya ini, al-Junaid mulai menempuh pencarian wawasan keilmuan.
Al-Junaid mulai belajar fikih dan hadis. Ia berguru kepada ahli fikih saat itu,
Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi al-Baghdadi (w. 240 H).[10]
Selain itu, ia juga berteman baik dengan salah satu ahli fikih yakni Ibn
Syurayj.
Setelah
dengan tekun mempelajari ilmu fikih, al-Junaid tumbuh menjadi seorang fuqaha.
Pada usia yang relatif muda, 20 tahun, ia sering diminta memberikan fatwa dalam
masalah fikih. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran gurunya, Abu Tsaur. Pada
perkembangan selanjutnya, setelah cukup mumpuni dibidang ilmu fikih dan hadis,
barulah al-Junaid beralih ke bidang tasawuf. Menurut Muhsin Ruslan, Al-Junaid
mendapat pelajaran tasawuf dari kalangan sufi yang berada di Baghdad dan
beberapa sufi yang berkunjung ke Baghdad. Kalangan sufi dari Baghdad sendiri
diwaliki oleh Sari al-Saqati.
Dalam
kitab Risalah al-Qusairiyah seperti dikutip Ruslan, dipaparkan bahwa
al-Junaid pernah berkata:
Sewaktu aku berusia tujuh tahun dan sedang bermain-main di hadapan
al-Saqati, dan al Saqati ketika itu sedang melakukan pembicaraan tentang al-syukr,
lalu bapak saudaraku itu bertanya kepadaku, “Anakku, syukr itu apa?” Aku
menjawab kepadanya bahwa syukr itu ialah bahwa seseorang itu tidak
melakukan maksiat terhadap Tuhan dengan menggunakan nikmat yang diberikan Tuhan
kepadanya. Bapak saudaraku berkata, “Nikmat Tuhan yang diberikan kepada engkau
itu tentulah (termasuk) lidahmu.” Al-Junaid seterusnya berkata, “Mataku
senantiasa berlinang apabila aku teringat apa yang telah diucapkan oleh
al-Saqati tersebut.”
Perkataan
al-Junaid di atas menunjukkan bahwa sejak usia kecil, ia seperti telah
mendalami ilmu tasawuf. Cara pengajaran tasawuf oleh al-Saqati dilakukan dengan
berdialog. Contoh dialog antara al-Saqati dan al-Junaid seperti dikutip dibawah
ini:
Al-Junaid berkata, “Suatu
hari Sari al-Saqati bertanya kepadaku tentang al-mahabbah. Lalu aku
menjawab, sebahagian orang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah keserasian
(perasaan); dan yang lain pula mengatakan bahwa al-mahabbah adalah
mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. Sedangkan yang lain mengatakan
begini dan begitu.” Lalu Sari al-Saqati memegang dan menarik kulit lengannya
yang begitu kencang dan kering sehingga tidak boleh ditarik, sambil berkata,
“Demi Tuhan, jika aku berkata bahwa kulit ini menjadi kering melekat pada
tulang-tulang ini disebabkan oleh (usaha-usaha pelaksanaan amal demi) kecintaan
kepada-Nya, maka itu aku sedang menjelaskan tentang kebenaran.
Kalangan
sufi Baghdad yang menjadi guru dari al-Junaid selain al-Saqati adalah Abu Abd Allah al-Harits ibn Hasad al-Muhasibi, Abu Ja’far
Muhammad Ibn ‘Ali al-Qassab (w. 275 H), Abu Ja’far al-Karabi al- Baghdadi, Abu
Bakr Muhammad Ibn Muslim Abd al-Rahman al- Qantari (w. 260 H), Abu Ya’qub
al-Zayyat, Muhammad al-Samin, dan Hasan al-Bazzaz. Sedangkan tokoh sufi yang mengunjungi
Baghdad lalu dijadiakan guru oleh al-Junaid antara lain adalah Abu Hafs ‘Amr Ibn Salama al-Haddad al-Nisyafuri (w.
260
H), Abu Ja’far Yahya Ibn Muaz Ibn Ja’far al-Razi (w.
258 H), dan
Abu Ya’qub Yusuf Ibn Husain Ibn ‘Ali al-Razi (w. 304
H).[11]
Dengan bimbingan para guru-guru sufinya, al-Junaid
menjadi sufi besar yang diakui pada zamannya, bahkan hingga saat ini. Pada
zamannya, sufi “kontroversial” al-Hallaj tercatat pernah berguru dengannya.[12]
Sedangkan kebesaran al-Junaid hingga saat ini setidaknya merujuk pada pendapat
Said Aqil Siraj bahwa kebertasawufan warga Nahdhiyin (Aswaja) adalah pengaruh
dari dua imam sufi besar, al-Junaid dan Imam Ghazali.[13]
Kebesaran al-Junaid sebagai seorang sufi membuatnya mendapat beberapa sebutan
seperti “Sayyid al-Thâifah”, “Syehk Masyayîkh”, “Tâj al-Arifîn” hingga
“al-Junaidiyah” bagi orang-orang yang belajar bersamanya.[14]
Kebesaran
al-Junaid telah membuat beberapa orang dengki terhadapnya dan berusaha
menjatuhkannya. Mereka –para musuh al-Junaid- memberikan berita yang
menyudutkan al-Junaid kepada khalifah. Pada suatu ketika mereka merangcang
skenario untuk menjatuhkan al-Junaid dengan seorang perempuan yang cantik yang
diminta menggodanya. Perempuan itu mendekati dan menggoda al-Junaid saat ia
sedang khusuk beribadah untuk melakukan tindakan terkutuk. Tetapi, al-Junaid
tetap khusuk dengan ibadah yang ia lakukan. Ia memohon kepada Allah agar terhindar
dari godaan perempuan tersebut. Tak sedikitpun ia mengangkat wajah melihat si
perempuan. Karena tidak suka ibadahnya diganggu, al-Junaid pun meniupkan
nafasnya kepada si peremuan, seketika itu perempuan tersebut terjatuh ke tanah
dan mati.
Atas
kejadian tersebut, al-Junaid dipanggil oleh khalifah dan diminta pertanggungjawaban
atas pembunuhan yang ia lakukan. Ketika ditanya oleh khalifah ia menjelaskan
bahwa bukan dirinya yang membunuh seraya berkata “Saya bukan pembunuhnya.
Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk
melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami
lakukan selama 40 tahun”.[15]
Meski
pada masa al-Junaid telah banyak ditemui para sufi di Baghdad, tetapi sebagaian
orang kurang bisa menerima ajaran tasawuf dan kalangan sufi. Sebagian orang
bahkan menolak tasawuf. Al-Junaid bergelut di bidang tasawuf bahkan dianggap
sebagai atheis dan zindik. Hal ini yang barangkali membuat al-Junaid tidak
terang-terangan dalam mengajarkan tasawuf.
Dr.
Ali Hasan yang menjadi editor buku Rasai al-Junaid mengemukakan bahwa al-Junaid
tidak mengajarkan tasawuf secara terbuka karena: pertama, pelajaran al-Junaid
dinaggap menyimpang. Kedua, ajaran tawasuf belum mendapat respon dari
masyarakat luas. Ketiga, ungkapan-ungkapan al-Junaid sangat sulit dipahami oleh
kebanyak orang, bahkan Ibn Arabi pun termasuk didalamnya.[16]
Menurut
Taftazani, tasawuf al-Junaid bukan tasawuf “ekstrem”. Tasawuf yang lakukan
al-Junaid termasuk apa yang dikatakan Taftazani sebagai tasawuf “moderat”.
Ajaran tasawufnya dia dasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Ia adalah seorang
fuqaha yang sufi.[17]
Sebagai
seorang sufi masyhur, al-Junaid sebetulnya tidak memiliki karya yang secara
khusus mengulas tasawuf. Buku yang sampai saat ini, Rasai al-Junaid adalah
kumpulan beberapa surat menyurat antara al-Junaid dan para sahabatnya. Selain
itu ada beberapa tema pokok yang dibahasnya, yakni tentang Uluhiyah, Tauhid,
Mitsak dan lain-lain. Beberapa penulis tasawuf meyakini bahwa al-Junaid sangat
mendalam dalam membahas tauhid.
Dalam
risalah tauhidnya ia berkata:
Ketahuilah
sesungguhnya awal ibadah kepada Allah adalah makrifat kepadaNya. Pokok dari
makrifat kepada Allah adalah mentauhidkanNya. Prinsip mentauhidkan Allah adalah
menafikan sifat dariNya. Allah adalah dalil atas wujudNya. Sarana untuk mecapai
dalil atas wujud Allah hanyalah taufik dariNya. Hanya dengan taufik dari Allah
seseorang mampu mentauhidkanNya. Setelah tauhid, orang tersebut akan mencapai
tasdik (pengakuan). Dari tasdik menuju tahkik (penetapan) sesudah tahkik maka
terjadi makrifat kepada Allah. Dari makrifat kepada Allah akan muncul ketaatan
kepadaNya. Dari ketaatan akan meningkat naik kepada Allah. Dari tangga naik
akan terjadi ketersambungan kepada Allah. Dari ketersambungan terjadilah
transparan. Dari transparan terjadi kebingungan. Setelah bingung, hilang
transparasi. Akibat kehilangan transparasi maka tidak mampu melukiskan Allah.
Setelah itu dia akan mencapai hakikat wujudNya. Lalu masuk kepada hakikat
syuhud dengan hilang wujudnya. Dengan kehilangan wujudnya maka wujudnya menjadi
murni. Dengan kemurnian wujud, hilang sifatNya. Dari hilangnya tersebut, ia
hadir secara total. Dia antara ada dan tiada, antara tiada dan ada. Ia ada tapi
disisi lain tiada, ia tiada tapi disisi lain ada. Kemudian dia menjadi ada
setelah tiada. Lalu dia pun akan menjadi dia setelah tiada. Setelah dia tiada,
maka dia menjadi ada dan ada, setelah ada dan tiada.[18]
Ungkapan
al-Junaid di atas menggambarkan bagaimana tingkatan menuju ketauhidan yang
“hakiki”. Cukup sulit mencerna ungkapan al-Junaid yang mempunyai nilai bahasa
sufi yang tinggi. Tetapi penulis menggarisbawahi kalimat “Hanya dengan
taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkanNya”, yang dapat diartikan
bahwa sebesar apapun usaha hamba mencapai ketauhidan tidak akan berarti tanpa
taufik Allah. Artinya, hidayah Allah sangat dibutuhkan untuk mendekat kepada
Allah.
Dalam
kitab tauhidnya, al-Junaid juga membagi tauhid sang makhluk menjadi empat,
pertama tauhid orang-orang awam, kedua tauhid orang-orang alim dan berilmu,
serta ketiga dan keempat adalah tauhidnya orang-orang yang telah mencapai
tingkat ma’rifah. Tauhid bagi orang awam adalah pengakuan atas keesaan Allah
serta tidak mengakui adanya tuhan selain Dia. Tauhid bagi orang-orang alim dan
berilmu adalah pengakuan atas keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain
Dia serta menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya.
Sedangkan
tauhid orang yang mencapai tingkat ma’rifah ada dua. Pertama, pengakuan atas
keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain Dia serta menjalankan segala
perintahnya dan menjauhi larangannya. Tidak takut dan tidak senang melainkan
karena Allah. Selalu melihat Allah dan taat kepadaNya. Kedua, seperti bayangan
yang berada dihadapan Allah tanpa ada yang ketiga. Berlaku semua kehendak Allah
, di dalam ombak dan lautan tauhid. Dengan fana yang ada pada dirinya dan
dakwah. Ia kembali menjadi seperti tiada. Di akhir penjelasannya al-Junaid
mengutip surah al-A’raf ayat 172, ayat yang terkenal dengan mitsaq (perjanjian
primordial).[19]
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dengan
menggunakan ayat mitsaq tersebut, al-Junaid juga menjelaskan konsep awal ruh
sebelum diciptakannya tubuh / jasad. Atau dengan kata lain tentang keadaan ruh
di alam lain. Ia berkata:
Allah mempunyai
hamba pilihan yang menjadi kekasihnya. Menjadikan jasad mereka duniawi dan
ruhnya nur. Pemahamannya bersifat arasyi, akalnya menjadi hijab, tidak
mempunyai tempat berlindung kecuali kepada Allah, tidak punya tempat kecuali di
sisi Allah. Mereka adalah yang diwujudkan dan didudukkan di sisi Allah sejak
zaman azali. Ketika Allah memanggil mereka sebagai tanda penghormatan, mereka
segera datang. Mereka paham panggilan itu dan Allah mengenalkan diri kepada
mereka di saat belum ada. Allah memindahkan mereka dengan kehendakNya. Mereka
dijadikan seperti atom. Diwujudkan menjadi makhluk. Kemudian dimasukkan dalam
tulang rusuk Adam. Lalu Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”. Allah mengabarkan bahwa dia berbicara dengan mereka. Padahal
mereka belum ada kecuali diwujudkan olehNya. Mereka wujud karena Allah, bukan
karena dirinya. Maka disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud
yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah sendiri.[20]
Selain
konsep awal ruh sebelum penciptaan tubuh, menurut penulis terdapat ungkapan
yang cukup menarik “Maka disanalah al-Haq bertemu dengan
al-Haq, betul-betul wujud yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah
sendiri”. Ungkapan ini seakan menunjukkan kemanunggalan antara Allah
hambaNya. Tetapi, hal tersebut tidak akan pernah dimengerti kecuali oleh Allah.
Konsep
tersebut di atas –awal ruh sebelum penciptaan tubuh-yang diusung oleh al-Junaid
memberi pengaruh bagi sufi-sufi selanjutnya. Sufi-sufi tersebut antara lain, Muhammad
ibn al-Husain al-Jurairy (w. 311 H) dan Muhammad Muzayin (w. 328 H). Konsep ini
pada perkembangan selanjutnya melahirkan teori tentang “Nur Muhammad”. Meski
beberapa penulis tasawuf menyebut Sahl al-Tustari sebagai penggagasnya.[21]
Dalam
beberapa kitab-kitab tasawuf disebutkan bagaimana al-Junaid berbicara tentang
tauhid. Salah satunya yang dikutip Taftazani dari riwayat al-Qusyairi. Ketika
al-Junaid ditanya tentang tauhid, ia menjawab:
“Pribadi-pribadi
yang bersatu merealisasikan kebersatuanNya dengan kesempurnaan
kebersendiriannya, berkeyakinan bahwa Allah adalah yang maha esa, Dia tidak
beranak dan diperanakkan, dan Dia negasikan segala yang berbilang banyak... Dia
tanpa padanan, dan Dia adalah yang maha mendengar dan melihat”.[22]
Ungkapan
tentang tauhid al-Junaid di atas begitu indah dan menyentuh hati pembaca.
Memang, al-Junaid banyak mengeluarkan ungkapan-ungkapan penuh makna. Al-Sulami
dalam Thabaqat al-Sufi menukil beberapa perkataan al-Junaid seperti “Lupa
kepada Allah lebih bahaya ketimbang masuk neraka”. Lalu adapula ucapan “Apabila
kamu bertemu dengan orang fakir, maka jangan memulai dengan ilmu, tetapi dengan
dengan sesuatu yang bermanfaat baginya. Karena ilmu akan membuatnya liar dan
lapar, dan sesuatu yang bermanfaat membuatnya jinak.”[23]
Disamping dua perkataan tersebut masih banyak lagi perkataan lainnya.
Penutup
Simpulan
dari tulisan ini adalah, bahwa konsep tentang tasawuf Sunni adalah tasawuf yang
sesuai dengan syari’ah, atau tasawuf yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.
Ungkapan syathahat tidak dibenarkan dalam tasawuf ini. Tasawuf Sunni
dalam lintasan sejarah, mendapat legitimasi sebagai tasawuf yang sah.
Terkait
dengan pembahasan sufi Sunni al-Junaid, penulis berkesimpulan bahwa ia termasuk
juga sebagai ahli kalam yang membalutkan corak kalamnya dalam kesufiannya.
Dalam beberapa ulasan tentang ketauhidan, ia menunjukkan kata-kata yang sarat
makna untuk menggambarkan ketauhidan yang selaras dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Meski al-Junaid tak memiliki karya “buku”, tetapi surat-menyurat antara dia dan
para sahabatnya serta perkataan-perkataan hikmahnya telah menempatkan diri
sebagai sufi agung. Hingga saat ini pemikirannya menjadi kajian dan contoh.
[1] Alwan Khoiri, “Integrasi
Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf”, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2010, h. 11
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman; Suatu pengantar Tasawuf,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h. 140
[3] Abi al-Qasim Abd al-Karim
al-Qusairi, Al-Risalah al-Qusairi, vol. 1, h. 34
[4] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, h. 142
[5] Alwan Khoiri, “Integrasi
Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf”, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2010, h. 2
[6] Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 113
[7] Ali Hasan Abd al-Qadir,
Pengantar dalam Rasai al-Junaid, (Kairo: Bar’i Wajda, 1988), h. vii
[8] Abi Abdu Rahman al-Sulami, Thabaqât
Shufia, (Dar Sya’ba, 1997), h. 49.
[9] Abu Hasan Ali ibn Utsman ibn Abi
Ali al-Jalabi al-Hujwiri al-Ghaznawi, Kasyfu al-Mahjûb, (Maktabah
Iskandariyah, 1974), h. 321
[10] B. Lewis, CH. Pellat dan J.
Schacht (editor), The Encylcopaedia of Islam, (Brill: Leiden, 1991), vol. 2,
h. 600.
[11] Muhsin Ruslan, “Ilmu Tasawuf dan
Manfaatnya: Menelusuri Pandangan al-Junaid al-Baghdadi dan Pedoman Tasawuf Masa
Kini”, dalam Jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, h. 413
[12] Husein Muhammad, Mengaji
Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2011), h.
70
[13] Said Aqil Siroj, Tasawuf
Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi,
(Jakarta: SAS Foundation, 2012), h. 409
[14] Jauzî Sakatûlin dan Ahmad Hasan
Anwar, al-Tajaliyât al-Ruhiya Fi al-Islâm, (Kairo: al-Hai’a al-Misriyah
al-Ammah Li al-Kitab, 2007), h. 167
[15] Idris Mas’udi, “Membedah Rasail
Imam Junaid al-Baghdadi (210-297 H”. Diakses dari muhammadidris.blogspot.
[16] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor),
Pengantar dalam Rasail al-Junaid, (Kairo: Bar’i Wajda, 1988), h. ii
[17] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, h. 110
[18] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor),
“Kitab Tauhid” dalam Rasail al-Junaid , h. 58
[19] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor),
“Kitab Tauhid” dalam Rasail al-Junaid, h. 61
[20] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor),
“Kitab Mitsaq” dalam Rasail al-Junaid, h. 42
[21] Anwar Syarifuddin, “Memaknai
Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi Mistik Sahl ibn Abd Allah
al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, vol. IX, No. 2, 2009, h. 213-227
[22] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, h. 110
[23] Abi Abdu Rahman al-Sulami, Thabaqât
Shufia, (Dar Sya’ba, 1997), h. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar