Jumat, 06 Februari 2015

Konsep Tasawuf Sunni dan Studi Tokoh Sufi Imam al-Junaid al-Baghdadi


Oleh Ali Thaufan DS

Pendahuluan
Pada tahun 2009 lalu, saya –selanjutnya penulis- mengikuti kelas “Tasawuf Nurcholish Madjid” yang diadakan yayasan Paramadina, bertempat di Musallah Raharja Pondok Indah. Saat itu materi diampu oleh Dr. Asep Usman, salah satu dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Diantara kesimpulan yang penulis dapatkan dari pembelajaran tersebut adalah, bahwa seorang sufi tidak melulu menyendiri di Gunung, Gua, tempat sepi, tempat ibadah dan lainnya. Tetapi, seorang sufi dapat mempraktikkan ajaran sufi di dalam kehidupan normal pada umumnya, ditengah masyarakat. Kesimpulan selanjutnya adalah bahwa para sufi juga tidak bisa diidentikkan sebagai orang yang “kusam”, pakaiannya ketinggalan zaman.

Pada zaman modern seperti saat ini, bisa saja seorang sufi juga berpakaian layaknya masyarakat umum. Dr. Asep Usman juga menjelaskan bahwa salah satu model sufi “zaman modern” antara lain adalah Nurcholish Madjid. Barangkali ia adalah satu dari deretan sufi-sufi zaman modern.

Jauh sebelumnya, pada masa-masa awal kejayaan Islam, sejarah Islam mencatat nama-nama yang dianggap sebagai sufi agung seperti, al-Junaid al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami, Husain ibn Mansur al-Hallaj, Abu Hamid Ghazali dan banyak lagi nama lainnya. Nama-nama tersebut kemudian melahirkan dua corak besar dalam tasawuf, yakni Sunni dan tasawuf Falsafi. Dua aliran tasawuf ini turut mengisi ruang-ruang sejarah peradaban Islam.

Tulisan ini berusaha memaparkan tentang konsep tasawuf Sunni dan salah satu tokoh sufi Sunni, yakni Abu al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi atau yang dikenal dengan Imam Junaid al-Baghdadi. Bagi para pengkaji ilmu tasawuf, nama al-Junaid mungkin tidak asing lagi. Telah banyak kajian terdahulu yang memberikan informasi terkait tasawuf al-Junaid.

Seputar Konsep Tasawuf Sunni
Keberadaan kelompok ahli fikih, kalam, filsafat dan juga tasawuf telah memberi pengaruh besar dan corak tersendiri pada kajian Islam. Dalam kajian tafsir misalnya, dikenal beberapa corak penafsiran seperti corak fikih, falsafi, sufi dan lainnya. Pun demikian dalam kajian tasawuf, terdapat dua corak yang menjadi poros utama tasawuf, yakni tasawuf Sunni dan Falsafi.

Beberapa tokoh sufi yang tercatat sebagai sufi aliran Sunni adalah Abd al-Karim ibn Hawazin yang sering dikenal dengan al-Qusyairi (lahir 376 H), Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad al-Anshari (lahir 396 H) dan tentu saja, Imam al-Ghazali. Pada perkembangannya, tasawuf Sunni mencapai puncaknya pada masa Imam al-Ghazali, sekitar akhir abad 4 hingga 5 H.

Munculnya dua poros tasawuf ini bermula dari pembahasan ma’rifah, fana’ dan baqa’ yang menjadi puncak pengalaman seorang sufi. Para sufi Sunni tidak membahas lebih lanjut mengenai tingkatan sesudah tiga hal tersebut. Ruang-ruang kosong pembahasan mengenai tingkatan sesudah ma’rifah, fana’ dana baqa’ ini lah yang kemudian melahirkan paham seperti ittihad, al-hulul dan wahdatul wujud.[1] Nama-nama yang termasuk kategori sufi aliran ini (falsafi) antara lain: Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H), Husain ibn Manshur al-Hallaj (w. 309) dan Muhyiddin ibn Arabi (w. 638 H).

Al-Taftazani memberikan definisi tasawuf Sunni dengan aliran tasawuf yang penganutnya mengambil sumber-sumber praktik tasawufnya dari al-Qur’an dan Hadis. Selain itu tasawuf aliran ini juga mengaitkan tingkatan rohaniah dengan keduanya, al-Qur’an dan Hadis.[2] Definisi ini tampaknya mengacu pada apa yang dikatakan al-Junaid al-Baghdadi bahwa landasan tawasuf yang utama adalah harus didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Orang-orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis Hadis, maka tidak boleh dijadikan panutan dalam tasawuf. Hal ini dikarenakan tasawuf sangat terkait dengan keduanya, al-Qur’an dan Hadis.[3]

Imam al-Qusyairi dikenal sebagai sufi yang ahli bidang keilmuan seperti fikih dan kalam. Ia pun mengusai doktrin ahlu sunnah wa al-Jamaah dan dikenal sebagai penentang sufi-sufi aliran lainnya, sufi aliran falsafi. Al-Taftazani mencatat pernyataan al-Qusyairi sebagai berikut:
“Ketahuilah para tokoh aliran ini (para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan-landasan tauhid yang benar, sehingga terpelihara doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan doktrin salaf maupun ahlu sunnah, yang tidak tertandingi dan tidak mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat suatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini, al-Junaid berkata ‘tauhid adalah pemisah hal yang lama dari yang baru’. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti yang dikatakan Abu Muhammad al-Jariri: ‘barang siapa yang tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu kedalam jurang kehancuran’”.

Ungkapan di atas ditunjukkan pada sufi-sufi lain yang kerap melontarkan pernyataan nyleneh (syathaha). Ungkapan tersebut (syathaha), menurut kalangan sufi Sunni seakan memadukan antara sifat ketuhanan yang qadim dan kemanusiaan yang hadis; menyamakan sifat kesempurnaan Tuhan dengan keterbatasan hambaNya, manusia; dan menyatukan ‘Abid dengan Ma’bud.

Selain persoalan tauhid yang telah diluruskan oleh al-Qusyari, ia juga mengkritiki para sufi pada masanya yang gemar mengenakan pakaian orang-orang miskin yang barangkali menjadi identitas kesufian saat itu. Ia mengemukakan bahwa menjaga batin dan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah adalah lebih penting dari sekedar pakaian lahiriah. Al-Qusyairi mengatakan:
“Duhai saudaraku, janganlah kau terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada sufi sezamannya). Sebab ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan kaim sufi yang mengada-ada dalam berpakaian. Setiap tawasuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari kemaksiatan adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang bating itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin... dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan al-Qur’an dan Sunnah adalah pengingkaran Tuhan...”. [4]

Dalam pidato pengukuhan guru besar bidang tasawuf, Alwan Khairi membuka makalahnya dengan pernyataan bahwa ajaran tasawuf yang sejalan dengan syari’ah adalah tasawuf Sunni. Ia menyatakan bahwa:
“Tasawuf Sunni yakni tasawuf yang ajarannya sampai pada tingkat ma’rifah. Syari’ah dan tasawuf Sunni merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena corak tasawuf ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Ajarannya menekankan aspek pembinaan akhlak yang terpuji dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya; (2). Ajarannya diselaraskan sepenuhnya dengan ilmu syari’ah; (3). Ajarannya tidak mengandung syathahat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut ulama syari’ah; (4). Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan hadis; dan (5) Dalam ajaran tasawuf Sunni masih terlihat jelas perbedaan antara ‘abid dan ma’bud serta khaliq dan makhluk, sehingga tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah maupun dalam ibadah.”

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam tasawuf untuk mendekati al-Qur’an dan Sunnah harus dilakukan dengan cara takwil. Jika takwil tersebut dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk tasawuf Sunni. Tetapi jika takwil tersebut jauh dari al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk non Sunni. Adapun ciri tasawuf Sunni adalah: Dalam tasawuf Sunni amal hati, lidah dan fisik ketika melaksanakan syari’ah harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah; dalam Sunni tidak terdapat unsur syirik baik akidah maupun ibadah; tasawuf Sunni tidak memperkenankan tarekat suluk, uzlah, qonaah, zuhud dan lain-lain tanpa ikhtiar sama sekali; ilmu laduni yang diraih melalui dzauq tidak diakui sah apabila bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah; tasawuf Sunni menekankan akhlak dan sopan santun dalam hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya.[5]

Apa yang dikemukakan oleh Alwan sepertinya hendak menegaskan bahwa tasawuf yang “legal” dan sah adalah tasawufnya para sufi Sunni. Sedangkan praktik tasawuf kalangan sufi falsafi bukanlah tasawuf sejati. Pembeda yang paling menonjol dan menjadi sasaran kritik para sufi Sunni terhadap kalangan sufi falsafi adalah dalam persoalan kemanunggalan dengan Tuhan yang esa.

Sekalipun antara tasawuf Sunni dan falsafi terdapat banyak perbedaan, tetapi terdapat juga persamaan keduanya. Persamaan yang paling pokok adalah bahwa sumber kedua aliran tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya tetap konsisten mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Keduanya juga menginginkan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang bersifat spiritual.[6]

Dari uraian singkat di atas, setidaknya penulis berkesimpulan bahwa apa yang dimaksud dengan tasawuf Sunni adalah upaya menerapkan praktik-praktik tasawuf yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini sejalan dengan ungkapan al-Junaid, bahwa orang yang tidak berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah tidaklah disebut panutan bagi kaum sufi. Munculnya aliran sufi Sunni adalah jawaban bagi kelompok sufi falsafi.

Tentang al-Junaid al-Baghdadi; Seorang Tokoh Sufi Sunni
Al-Junaid memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi. Al-Junaid lahir di Nahawad, pada tahun 210 H. Ia tumbuh dewasa dan menghabiskan hidupnya di kota Baghdad, wafat pada 297 H.[7] Beberapa riwayat menyebut wafat pada hari Sabtu. Sebagian menyebut pada hari Jumat, dan baru dimakamkan pada hari Sabtu.

Al-Khazzaz dan juga al-Baghdadi yang disematkan pada namanya tak lain merupakan sebuah gelar. “Al-Khazzaz” berarti saudagar sutera yang kaya raya. Pun demikian dengan ayahnya yang bergelar “Al-Qawarir” yang berarti saudagar kaca. Sedangkan “Al-Baghdadi” adalah menunjukkan tempat hidupnya.[8] Namun demikian,kekayaan yang dipunyai tidak membuatnya sibuk dengan urusan duniawi. Al-Junaid justru semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa.

Sepeninggal ayahnya, al-Junaid di asuh oleh pamannya, Sari al-Saqati (w. 254 H) yang juga dikenal sebagai tokoh sufi terkemuka di Irak dan ahli berbagai keilmuan.[9] Di bawah asuhannya ini, al-Junaid mulai menempuh pencarian wawasan keilmuan. Al-Junaid mulai belajar fikih dan hadis. Ia berguru kepada ahli fikih saat itu, Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi al-Baghdadi (w. 240 H).[10] Selain itu, ia juga berteman baik dengan salah satu ahli fikih yakni Ibn Syurayj.

Setelah dengan tekun mempelajari ilmu fikih, al-Junaid tumbuh menjadi seorang fuqaha. Pada usia yang relatif muda, 20 tahun, ia sering diminta memberikan fatwa dalam masalah fikih. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran gurunya, Abu Tsaur. Pada perkembangan selanjutnya, setelah cukup mumpuni dibidang ilmu fikih dan hadis, barulah al-Junaid beralih ke bidang tasawuf. Menurut Muhsin Ruslan, Al-Junaid mendapat pelajaran tasawuf dari kalangan sufi yang berada di Baghdad dan beberapa sufi yang berkunjung ke Baghdad. Kalangan sufi dari Baghdad sendiri diwaliki oleh Sari al-Saqati.

Dalam kitab Risalah al-Qusairiyah seperti dikutip Ruslan, dipaparkan bahwa al-Junaid pernah berkata:
Sewaktu aku berusia tujuh tahun dan sedang bermain-main di hadapan al-Saqati, dan al Saqati ketika itu sedang melakukan pembicaraan tentang al-syukr, lalu bapak saudaraku itu bertanya kepadaku, “Anakku, syukr itu apa?” Aku menjawab kepadanya bahwa syukr itu ialah bahwa seseorang itu tidak melakukan maksiat terhadap Tuhan dengan menggunakan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Bapak saudaraku berkata, “Nikmat Tuhan yang diberikan kepada engkau itu tentulah (termasuk) lidahmu.” Al-Junaid seterusnya berkata, “Mataku senantiasa berlinang apabila aku teringat apa yang telah diucapkan oleh al-Saqati tersebut.”

Perkataan al-Junaid di atas menunjukkan bahwa sejak usia kecil, ia seperti telah mendalami ilmu tasawuf. Cara pengajaran tasawuf oleh al-Saqati dilakukan dengan berdialog. Contoh dialog antara al-Saqati dan al-Junaid seperti dikutip dibawah ini:
Al-Junaid berkata, “Suatu hari Sari al-Saqati bertanya kepadaku tentang al-mahabbah. Lalu aku menjawab, sebahagian orang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah keserasian (perasaan); dan yang lain pula mengatakan bahwa al-mahabbah adalah mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. Sedangkan yang lain mengatakan begini dan begitu.” Lalu Sari al-Saqati memegang dan menarik kulit lengannya yang begitu kencang dan kering sehingga tidak boleh ditarik, sambil berkata, “Demi Tuhan, jika aku berkata bahwa kulit ini menjadi kering melekat pada tulang-tulang ini disebabkan oleh (usaha-usaha pelaksanaan amal demi) kecintaan kepada-Nya, maka itu aku sedang menjelaskan tentang kebenaran.

Kalangan sufi Baghdad yang menjadi guru dari al-Junaid selain al-Saqati adalah Abu Abd Allah al-Harits ibn Hasad al-Muhasibi, Abu Ja’far Muhammad Ibn ‘Ali al-Qassab (w. 275 H), Abu Ja’far al-Karabi al- Baghdadi, Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim Abd al-Rahman al- Qantari (w. 260 H), Abu Ya’qub al-Zayyat, Muhammad al-Samin, dan Hasan al-Bazzaz. Sedangkan tokoh sufi yang mengunjungi Baghdad lalu dijadiakan guru oleh al-Junaid antara lain adalah Abu Hafs ‘Amr Ibn Salama al-Haddad al-Nisyafuri (w. 260 H), Abu Ja’far Yahya Ibn Muaz Ibn Ja’far al-Razi (w. 258 H), dan Abu Ya’qub Yusuf Ibn Husain Ibn ‘Ali al-Razi (w. 304 H).[11]

Dengan bimbingan para guru-guru sufinya, al-Junaid menjadi sufi besar yang diakui pada zamannya, bahkan hingga saat ini. Pada zamannya, sufi “kontroversial” al-Hallaj tercatat pernah berguru dengannya.[12] Sedangkan kebesaran al-Junaid hingga saat ini setidaknya merujuk pada pendapat Said Aqil Siraj bahwa kebertasawufan warga Nahdhiyin (Aswaja) adalah pengaruh dari dua imam sufi besar, al-Junaid dan Imam Ghazali.[13] Kebesaran al-Junaid sebagai seorang sufi membuatnya mendapat beberapa sebutan seperti “Sayyid al-Thâifah”, “Syehk Masyayîkh”, “Tâj al-Arifîn” hingga “al-Junaidiyah” bagi orang-orang yang belajar bersamanya.[14]

Kebesaran al-Junaid telah membuat beberapa orang dengki terhadapnya dan berusaha menjatuhkannya. Mereka –para musuh al-Junaid- memberikan berita yang menyudutkan al-Junaid kepada khalifah. Pada suatu ketika mereka merangcang skenario untuk menjatuhkan al-Junaid dengan seorang perempuan yang cantik yang diminta menggodanya. Perempuan itu mendekati dan menggoda al-Junaid saat ia sedang khusuk beribadah untuk melakukan tindakan terkutuk. Tetapi, al-Junaid tetap khusuk dengan ibadah yang ia lakukan. Ia memohon kepada Allah agar terhindar dari godaan perempuan tersebut. Tak sedikitpun ia mengangkat wajah melihat si perempuan. Karena tidak suka ibadahnya diganggu, al-Junaid pun meniupkan nafasnya kepada si peremuan, seketika itu perempuan tersebut terjatuh ke tanah dan mati.

Atas kejadian tersebut, al-Junaid dipanggil oleh khalifah dan diminta pertanggungjawaban atas pembunuhan yang ia lakukan. Ketika ditanya oleh khalifah ia menjelaskan bahwa bukan dirinya yang membunuh seraya berkata “Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun”.[15]

Meski pada masa al-Junaid telah banyak ditemui para sufi di Baghdad, tetapi sebagaian orang kurang bisa menerima ajaran tasawuf dan kalangan sufi. Sebagian orang bahkan menolak tasawuf. Al-Junaid bergelut di bidang tasawuf bahkan dianggap sebagai atheis dan zindik. Hal ini yang barangkali membuat al-Junaid tidak terang-terangan dalam mengajarkan tasawuf.

Dr. Ali Hasan yang menjadi editor buku Rasai al-Junaid mengemukakan bahwa al-Junaid tidak mengajarkan tasawuf secara terbuka karena: pertama, pelajaran al-Junaid dinaggap menyimpang. Kedua, ajaran tawasuf belum mendapat respon dari masyarakat luas. Ketiga, ungkapan-ungkapan al-Junaid sangat sulit dipahami oleh kebanyak orang, bahkan Ibn Arabi pun termasuk didalamnya.[16]

Menurut Taftazani, tasawuf al-Junaid bukan tasawuf “ekstrem”. Tasawuf yang lakukan al-Junaid termasuk apa yang dikatakan Taftazani sebagai tasawuf “moderat”. Ajaran tasawufnya dia dasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Ia adalah seorang fuqaha yang sufi.[17]

Sebagai seorang sufi masyhur, al-Junaid sebetulnya tidak memiliki karya yang secara khusus mengulas tasawuf. Buku yang sampai saat ini, Rasai al-Junaid adalah kumpulan beberapa surat menyurat antara al-Junaid dan para sahabatnya. Selain itu ada beberapa tema pokok yang dibahasnya, yakni tentang Uluhiyah, Tauhid, Mitsak dan lain-lain. Beberapa penulis tasawuf meyakini bahwa al-Junaid sangat mendalam dalam membahas tauhid.

Dalam risalah tauhidnya ia berkata:
Ketahuilah sesungguhnya awal ibadah kepada Allah adalah makrifat kepadaNya. Pokok dari makrifat kepada Allah adalah mentauhidkanNya. Prinsip mentauhidkan Allah adalah menafikan sifat dariNya. Allah adalah dalil atas wujudNya. Sarana untuk mecapai dalil atas wujud Allah hanyalah taufik dariNya. Hanya dengan taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkanNya. Setelah tauhid, orang tersebut akan mencapai tasdik (pengakuan). Dari tasdik menuju tahkik (penetapan) sesudah tahkik maka terjadi makrifat kepada Allah. Dari makrifat kepada Allah akan muncul ketaatan kepadaNya. Dari ketaatan akan meningkat naik kepada Allah. Dari tangga naik akan terjadi ketersambungan kepada Allah. Dari ketersambungan terjadilah transparan. Dari transparan terjadi kebingungan. Setelah bingung, hilang transparasi. Akibat kehilangan transparasi maka tidak mampu melukiskan Allah. Setelah itu dia akan mencapai hakikat wujudNya. Lalu masuk kepada hakikat syuhud dengan hilang wujudnya. Dengan kehilangan wujudnya maka wujudnya menjadi murni. Dengan kemurnian wujud, hilang sifatNya. Dari hilangnya tersebut, ia hadir secara total. Dia antara ada dan tiada, antara tiada dan ada. Ia ada tapi disisi lain tiada, ia tiada tapi disisi lain ada. Kemudian dia menjadi ada setelah tiada. Lalu dia pun akan menjadi dia setelah tiada. Setelah dia tiada, maka dia menjadi ada dan ada, setelah ada dan tiada.[18]

Ungkapan al-Junaid di atas menggambarkan bagaimana tingkatan menuju ketauhidan yang “hakiki”. Cukup sulit mencerna ungkapan al-Junaid yang mempunyai nilai bahasa sufi yang tinggi. Tetapi penulis menggarisbawahi kalimat “Hanya dengan taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkanNya”, yang dapat diartikan bahwa sebesar apapun usaha hamba mencapai ketauhidan tidak akan berarti tanpa taufik Allah. Artinya, hidayah Allah sangat dibutuhkan untuk mendekat kepada Allah.

Dalam kitab tauhidnya, al-Junaid juga membagi tauhid sang makhluk menjadi empat, pertama tauhid orang-orang awam, kedua tauhid orang-orang alim dan berilmu, serta ketiga dan keempat adalah tauhidnya orang-orang yang telah mencapai tingkat ma’rifah. Tauhid bagi orang awam adalah pengakuan atas keesaan Allah serta tidak mengakui adanya tuhan selain Dia. Tauhid bagi orang-orang alim dan berilmu adalah pengakuan atas keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain Dia serta menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya.

Sedangkan tauhid orang yang mencapai tingkat ma’rifah ada dua. Pertama, pengakuan atas keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain Dia serta menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Tidak takut dan tidak senang melainkan karena Allah. Selalu melihat Allah dan taat kepadaNya. Kedua, seperti bayangan yang berada dihadapan Allah tanpa ada yang ketiga. Berlaku semua kehendak Allah , di dalam ombak dan lautan tauhid. Dengan fana yang ada pada dirinya dan dakwah. Ia kembali menjadi seperti tiada. Di akhir penjelasannya al-Junaid mengutip surah al-A’raf ayat 172, ayat yang terkenal dengan mitsaq (perjanjian primordial).[19]

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

Dengan menggunakan ayat mitsaq tersebut, al-Junaid juga menjelaskan konsep awal ruh sebelum diciptakannya tubuh / jasad. Atau dengan kata lain tentang keadaan ruh di alam lain. Ia berkata:
Allah mempunyai hamba pilihan yang menjadi kekasihnya. Menjadikan jasad mereka duniawi dan ruhnya nur. Pemahamannya bersifat arasyi, akalnya menjadi hijab, tidak mempunyai tempat berlindung kecuali kepada Allah, tidak punya tempat kecuali di sisi Allah. Mereka adalah yang diwujudkan dan didudukkan di sisi Allah sejak zaman azali. Ketika Allah memanggil mereka sebagai tanda penghormatan, mereka segera datang. Mereka paham panggilan itu dan Allah mengenalkan diri kepada mereka di saat belum ada. Allah memindahkan mereka dengan kehendakNya. Mereka dijadikan seperti atom. Diwujudkan menjadi makhluk. Kemudian dimasukkan dalam tulang rusuk Adam. Lalu Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Allah mengabarkan bahwa dia berbicara dengan mereka. Padahal mereka belum ada kecuali diwujudkan olehNya. Mereka wujud karena Allah, bukan karena dirinya. Maka disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah sendiri.[20]

Selain konsep awal ruh sebelum penciptaan tubuh, menurut penulis terdapat ungkapan yang cukup menarik “Maka disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah sendiri”. Ungkapan ini seakan menunjukkan kemanunggalan antara Allah hambaNya. Tetapi, hal tersebut tidak akan pernah dimengerti kecuali oleh Allah.

Konsep tersebut di atas –awal ruh sebelum penciptaan tubuh-yang diusung oleh al-Junaid memberi pengaruh bagi sufi-sufi selanjutnya. Sufi-sufi tersebut antara lain, Muhammad ibn al-Husain al-Jurairy (w. 311 H) dan Muhammad Muzayin (w. 328 H). Konsep ini pada perkembangan selanjutnya melahirkan teori tentang “Nur Muhammad”. Meski beberapa penulis tasawuf menyebut Sahl al-Tustari sebagai penggagasnya.[21]

Dalam beberapa kitab-kitab tasawuf disebutkan bagaimana al-Junaid berbicara tentang tauhid. Salah satunya yang dikutip Taftazani dari riwayat al-Qusyairi. Ketika al-Junaid ditanya tentang tauhid, ia menjawab:
“Pribadi-pribadi yang bersatu merealisasikan kebersatuanNya dengan kesempurnaan kebersendiriannya, berkeyakinan bahwa Allah adalah yang maha esa, Dia tidak beranak dan diperanakkan, dan Dia negasikan segala yang berbilang banyak... Dia tanpa padanan, dan Dia adalah yang maha mendengar dan melihat”.[22]

Ungkapan tentang tauhid al-Junaid di atas begitu indah dan menyentuh hati pembaca. Memang, al-Junaid banyak mengeluarkan ungkapan-ungkapan penuh makna. Al-Sulami dalam Thabaqat al-Sufi menukil beberapa perkataan al-Junaid seperti “Lupa kepada Allah lebih bahaya ketimbang masuk neraka”. Lalu adapula ucapan “Apabila kamu bertemu dengan orang fakir, maka jangan memulai dengan ilmu, tetapi dengan dengan sesuatu yang bermanfaat baginya. Karena ilmu akan membuatnya liar dan lapar, dan sesuatu yang bermanfaat membuatnya jinak.”[23] Disamping dua perkataan tersebut masih banyak lagi perkataan lainnya.

Penutup
Simpulan dari tulisan ini adalah, bahwa konsep tentang tasawuf Sunni adalah tasawuf yang sesuai dengan syari’ah, atau tasawuf yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Ungkapan syathahat tidak dibenarkan dalam tasawuf ini. Tasawuf Sunni dalam lintasan sejarah, mendapat legitimasi sebagai tasawuf yang sah.

Terkait dengan pembahasan sufi Sunni al-Junaid, penulis berkesimpulan bahwa ia termasuk juga sebagai ahli kalam yang membalutkan corak kalamnya dalam kesufiannya. Dalam beberapa ulasan tentang ketauhidan, ia menunjukkan kata-kata yang sarat makna untuk menggambarkan ketauhidan yang selaras dengan al-Qur’an dan Sunnah. Meski al-Junaid tak memiliki karya “buku”, tetapi surat-menyurat antara dia dan para sahabatnya serta perkataan-perkataan hikmahnya telah menempatkan diri sebagai sufi agung. Hingga saat ini pemikirannya menjadi kajian dan contoh.









[1] Alwan Khoiri, “Integrasi Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf”, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2010, h. 11
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman; Suatu pengantar Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h. 140
[3] Abi al-Qasim Abd al-Karim al-Qusairi, Al-Risalah al-Qusairi, vol. 1, h. 34
[4] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, h. 142
[5] Alwan Khoiri, “Integrasi Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf”, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2010, h. 2
[6] Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 113
[7] Ali Hasan Abd al-Qadir, Pengantar dalam Rasai al-Junaid, (Kairo: Bar’i Wajda, 1988), h. vii
[8] Abi Abdu Rahman al-Sulami, Thabaqât Shufia, (Dar Sya’ba, 1997), h. 49.
[9] Abu Hasan Ali ibn Utsman ibn Abi Ali al-Jalabi al-Hujwiri al-Ghaznawi, Kasyfu al-Mahjûb, (Maktabah Iskandariyah, 1974), h. 321
[10] B. Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht (editor), The Encylcopaedia of Islam, (Brill: Leiden, 1991), vol. 2,  h. 600.
[11] Muhsin Ruslan, “Ilmu Tasawuf dan Manfaatnya: Menelusuri Pandangan al-Junaid al-Baghdadi dan Pedoman Tasawuf Masa Kini”, dalam Jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, h. 413
[12] Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2011), h. 70
[13] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, (Jakarta: SAS Foundation, 2012), h. 409
[14] Jauzî Sakatûlin dan Ahmad Hasan Anwar, al-Tajaliyât al-Ruhiya Fi al-Islâm, (Kairo: al-Hai’a al-Misriyah al-Ammah Li al-Kitab, 2007), h. 167
[15] Idris Mas’udi, “Membedah Rasail Imam Junaid al-Baghdadi (210-297 H”. Diakses dari muhammadidris.blogspot.
[16] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), Pengantar dalam Rasail al-Junaid, (Kairo: Bar’i Wajda, 1988), h. ii
[17] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, h. 110
[18] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), “Kitab Tauhid” dalam Rasail al-Junaid , h. 58
[19] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), “Kitab Tauhid” dalam Rasail al-Junaid, h. 61
[20] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), “Kitab Mitsaq” dalam Rasail al-Junaid, h. 42
[21] Anwar Syarifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi Mistik Sahl ibn Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, vol. IX, No. 2, 2009, h. 213-227
[22] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, h. 110
[23] Abi Abdu Rahman al-Sulami, Thabaqât Shufia, (Dar Sya’ba, 1997), h. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar