Jumat, 06 Februari 2015

Ilmu Qira’at (Macam Qira’at, Syarat Diterimanya dan Seputar Qira’at Sab’ah, Asyrah dan ‘Arba’ Asyar)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pendahuluan
Dalam kajian ilmu al-Qur’an dijelaskan bahwa ada banyak ragam qiraat al-Qur’an. Kesemuanya mempunyai landasan masing-masing, yaitu para imam qurra’ yang dianggap terpercaya. Tidak dapat dielakkan, berkembangnya Islam ke berbagai wilayah telah menjadikan ragam bacaan al-Qur’an tersebut. Bahkan kodifikasi al-Qur’an oleh Khalifah Uthman yang salah satunya bertujuan menyeragamkan qiraat al-Qur’an, ternyata tidak mampu menyeragamkan bacaan al-Qur’an. Namun demikian, tetap diyakini bahwa qiraat yang sampai pada kita saat ini adalah qiraat yang didasarkan pada imam yang terpercaya.

Tulisan dibawah ini berusaha memaparkan secara singkat: Macam-macam qira’at al-Qur’an; syarat diterimanya sebuah qiraat; dan seputar qira’at sab’ah, asyrah dan ‘arba’ asyar.

Macam-macam Qira’at al-Qur’an
Beberapa ulama ilmu al-Qur’an berpendapat bahwa qiraat ada tiga macam, mutawatir, ahad dan syadz. Mereka berpendapat bahwa qiraat yang mutawatir adalah qiraat tujuh, kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat adalah ahad. Sebagian berpendapat bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan selain qiraat tersebut, menurut pandangan ulama adalah syadz.

Menurut Al-Jazari seperti dikutip al-Suyuti dan juga Zarqani, memaparkan macam-macam qiraat ditinjau dari segi sanad adalah: mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj.
  1. Qiraat mutawatir, adalah qiraat yang disandarkan pada periwayat yang terpercaya dan tidak mungkin mereka berdusta.
  2. Qiraat masyhur, adalah qiraat yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Uthmani dan terkenal dikalangan ahli qiraat. Oleh sebab itu, qiraat tersebut tidak dikatakan syadz.
  3. Qiraat ahad, adalah qiraat yang sanadnya sahih, tetapi rasmnya berbeda dengan rasm Uthmani. Demikian juga dengan kaidah dalam bahasa Arabnya yang berbeda serta tidak se-masyhur seperti tersebut di atas, seperti terdapat dalam surah al-Taubah ayat 128:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ
Kata (أَنْفُسِكُمْ) dibaca dengan (أَنْفَسِكُمْ).
Dalam surah al-Rahman ayat 76
مُتَّكِئِيْنَ عَلَي رَفَارِفَ خُضْرِ وَعَبَاِرقِيِّ حِسَان
Kata (رَفْرَفَ) dibaca dengan (رَفَارِفَ). Kedua bacaan qiraah di atas al-Hakim melalui jalur ‘Ashim Jahdari, dari Abu Barkah, dari Nabi SAW.
  1. Qiraat syadz, adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih. Seperti qiraat Ibn al-Samaifah, seperti dalam surah Yunus ayat 92:
فَالْيَوْمَ نُنْحِيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلَفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Kata (نُنَجِّيكَ) di baca dengan (نُنْحِيْكَ) dan kata (خَلْفَكَ) dibaca dengan(خَلَفَكَ).
Menurut Abu Amr Ibn Hajab, seperti dikutib al-Jazari, qiraat yang syadz dilarang pembacaannya pada saat solat dan lainnya. Sedangkan menurut mazhab Syafii, apabila seseorang mengetahui bahwa suatu bacaan adalah qiraat syadz dan membacanya pada saat salat, maka batallah solatnya. Jika tidak mengetahui, maka terbebas dari kesalahan.[1]
  1. Qiraat maudhu, adalah qiraat yang tidak ada asalnya. Sebagai contoh, qiraat yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah dalam surah al-Fatir ayat 28
إِنَّماَ يَخْشَي الله مِنْ عِبَادِهِ الْعَلَمَاءِ
Kata (الله) dibaca dengan (الله). Dan kata (الْعُلَمَاءِ) dibaca (الْعَلَمَاءِ). Menurut Zarqani qiraat tersebut tidak memiliki dasar sama sekali, sehingga Abu Hanifa terbebas darinya.
  1. Qiraat mudraj, adalah qiraat yang disisipkan penafsiran seperti qiraat yang diambil dari Ibn Abbas, seperti terdapat Surah al-Baqarah ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Kalimat (في مواسم الحج) adalah penafsiran yang diselipkan dalam nash ayat tersebut.
Juga terdapat dalam surah Nisa ayat 12:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ أمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
Tambahan kata (أمٍّ) adalah qiraah S’ad Ibn Abi Waqqash.[2]

Syarat Diterimanya Qira’at
Menurut Manna al-Qattan, syarat diterimanya qiraat adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani. Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Sebagai contoh dalam surah al-Fatihah, (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), pada kata (الصِّرَاطَ) diganti dengan huruf sin (س). Contoh lainnya adalah ayat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dengan membuang huruf alif pada kata (مَالِكِ) sehingga menjadi (ملك). Ketiga: Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad.[3] Menurut al-Jazari, qiraat sahih mencakup dua aspek, yakni: memiliki kesahihan sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm.[4]

Hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak adalah bahwa ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang mutawatir. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika terdapat qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak diterima. Penulis mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang ditulis oleh penulis kitab al-Thaiyibah sebagai berikut:

وكل ما وافق وجه النحو # وكان للرسم احتمالا يحوي
وصح إسنادا هو القرأن # هذه ثلاثة الأركان
Kata-kata (وصح إسنادا) di atas kemudian pahami sebagai riwayat yang mutawatir.[5]
Menurut Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat yang dapat diterima atau tidak, yaitu:

Pertama, qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh orang yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.

Kedua, periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai dengan rasm mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat dipergunakan dalam bacaan meskipun periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-Qur’an. Karena didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan mengundang kesalahpahaman.

Ketiga, qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski qiraat tersebut telah sesuai dengan rasm mushaf.[6]

Terkait dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli nahwu. Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika tidak sesuai dengan kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut, Qattan mengutip pendapat Abu Amr al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut tidak bisa ditolak.

Seputar Qira’at Sab’ah, Asyrah dan ‘Arba’ Asyar
A.  Qiraat sab’ah (qiraat tujuh)
Dikalangan ahli ilmu al-Qur’an, qiraat sab’ah dianggap paling populer. Qiraat sab’ah adalah qiraat yang dinisbatkan kepada tujuh imam qiraat terkemuka. Ketujuh imam tersebut mulai populer pada akhir abad II H. Adapun tujuh imam tersebut sebagaimana dipaparkan al-Dani adalah:
1.    Nafi’ al-Madini. Nama lengkapnya Nafi ibn Abdu Rahman ibn Abi Nu’im Maula Ja’unah ibn Syu’ub al-Laitsi. Ia meninggal di Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya adalah: pertama, ‘Isa ibn Mina al-Madani al-Zuraqi (Qalun). Ia mendapat julukan Qalun –yang berasal dari bahasa Romawi- berarti memiliki keindahan suara. Kedua, Uthman ibn Said al-Misri (Warsy). Julukan Warsy dinisbatkan kepadanya karena ia sangat putih. Ia wafat di Mesir 179 H.
2.    Ibn Katsir al-Makki. Ia adalah Abdullah ibn Katsir al-Dari. Dia termasuk kalangan tabi’in dan wafat pada 120 H di Makkah. Dua perawinya adalah: pertama, Muhammad ibn Abdu Rahman ibn Muhammad ibn Khalid ibn Said ibn Jurjah al-Makki al-Makhzumi. Ia mendapat julukan Qunbul dan dikenal dengan Qanabilah. Qunbul wafat pada 280 di Makkah. Kedua, Ahmad ibn Muhammad Abdullah ibn al-Qasim ibn Nafi ibn Abi Bazza al-Muadzin al-Makki. Dia dikenal dengan nama Bazzi dan wafat di Makkah pada 240 H.[7]
3.    Abu Amr. Nama lengkapnya adalah  Abu Amr ibn ‘Ala Ibn Amâr ibn Abdullah ibn Hushain ibn al-Harist ibn Julhum ibn Khuza’i ibn Mazini ibn Malik ibn Amru ibn Tamimi. Ada yang menyebut bahwa ia bernama Zabban, Uryan, Yahya. Ia wafat pada 154 H di Kufah. Dua orang perawinya adalah: pertama, Abu Umar Hafs ibn Umar ibn Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di Baghdad dan wafat pada 246 H. Kedua, Abu Syuaib Salih ibn Ziyad ibn Abdullah al-Susi wafat pada 261 H.
4.    Ibn Amr al-Sa’mi. Ia adalah Abdullah ibn Amir al-Yahshubi. Ia seorang hakim di Damaskus pada masa khalifah al-Walid. Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Dua orang perawinya adalah: pertama, Abdullah ibn Ahmad ibn Basyir Ibn Zakwan al-Qurasyi al-Dimasyqi (Ibn Zakwan). Ia wafat pada 242 H. Kedua, Hasyim ibn Ammar ibn Nashir ibn Abban ibn Maisarah. Ia adalah hakim di Damaskus dan wafat pada tahun 245 H.
5.    ‘Ashim al-Kufi. Ia adalah ‘Ashim ibn Abi Najjud. Disebut juga Ibn Bahdalah, yang dinisbatkan pada nama ibunya. Wafat di Kufah pada 127 H. Dua perawinya adalah: pertama, Syu’bah ibn ‘Iyyas ibn Salim al-Kufi al-Asdi (Abu Bakr). Wafat di Kufah pada 194 H. Kedua: Hafsh ibn Sulaiman ibn al-Mughirah al-Asdi al-Bazzaz. Ia adalah orang yang terpercaya dan wafat pada 190 H.[8]
6.    Hamzah al-Kufi. Ia adalah Hamzah ibn Habib ibn Ummarah ibn Ismail al-Zaiyyat al-Faradhi al-Tamimi. Wafat pada tahun 156 H, semasa khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Dua perawinya adalah: pertama, Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar yang wafat pada 229 H di Baghdad. Kedua, Khalad ibn Khalid yang wafat pada 220 H.
7.    Al-Kasa’i al-Kufi. Ia adalah Ali ibn Hamzah al-Nahwi. Ia wafat di desa Burnabawaih pada 189 H pada saat perjalanan menuju Khurasan. Dua perawinya adalah: pertama, Abu Umar Hafs ibn Umar ibn Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di Baghdad dan wafat pada 246 H. Ia juga merupakan perawi Abu Amr. Kedua, al-Laits ibn Khalid al-Baghdadi.[9]

B.  Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh)
Menurut Qattan, qiraat sepuluh adalah qiraat yang tujuh dengan tambah tiga qiraat lagi, yaitu:
1.    Abu Ja’far al-Madani. Ia adalah Yazid ibn Qa’qa’ yang wafat di Madinah pada 128 H. Dua orang perawinya adalah: pertama, Abdul Harits Ibn Wardan al-Madani yang wafat pada 160 di Madinah. Kedua, Abu Rabi’ Sulaiman ibn Muslim ibn Jimaz al-Madani, wafat pada 170 H.
2.    Ya’qub al-Basri. Ia adalah Abu Muhammad Ya’qub ibn Ishaq ibn Zaid al-Hadrami. Wafat di Basrah pada 205 H dan dalam riwayat lain dikatakan pada 185 H. Dua perawinya adalah: pertama, Abu Abdullah Muhammad ibn Mutawakil al-Lu’lu’ al-Basri. Ia mendapat julukan Ruais, dan wafat pada 238 H di Basrah. Kedua, Abu Hasan Rauh ibn Abdul Mu’min al-Basri al-Nahwi. Ia wafat pada 234 H.
3.    Khalaf. Ia adalah Abu Muhammad Khalaf ibn Hasyim ibn Sa’lab al-Bazar al-Baghdadi. Dikatakan bahwa ia wafat pada 229 H. Dua perawinya adalah: pertama, Abu Ya’qub Ishaq ibn Ibrahim ibn Uthman al-Waraq. Ia wafat pada 286 H. Kedua, Abu Hasan Idris ibn Abdu Karim al-Baghdadi al-Haddad, wafat pada tahun 292 H yang bertepatan dengan hari Id Adha.[10]

C.  Qiraat Arba’ Asyar (qiraat empat belas)
Qiraat Arba’ Asyar adalah qiraat yang tujuh dan sepuluh tetapi ditambah dengan empat qari. Sehingga menjadi qiraat empat belas. Empat qiraat tersebut adalah:
1.    Qiraat al-Hasanul Basri. Ia salah seorang tabiin yang terkenal dengan kezuhudannya. Basri wafat pada 110 H.
2.    Qiraat Muhammad ibn Abdu Rahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin. Ia wafat pada 123 H.
3.    Qiraat Yahya ibn Mubarak al-Yazidi al-Nahwi. Ia mengambil qiraat dari Abu ‘Amr dan Hamzah. Yahya wafat pada 202 H.
4.    Qiraat Abu Faraj Muhammad ibn Ahmad al-Sanbuzi. Ia wafat pada 388 H.[11]

Terkait qira’at sab’ah dan asyrah, Zarqani mencatat banyak pandangan ulama yang berbeda tentang kemutawatiran qiraat tersebut. Penulis akan menukil beberapa pendapat Zarqani akan hal tersebut. Pertama, terdapat ulama yang secara berlebihan “menjunjung” qiraat sab’ah. Mereka yang menjunjung mengatakan bahwa “siapa yang menganggap qiraat sab’ah tidak mutawatir, maka anggapan tersebut mendatangkan kekafiran karena telah meragukan kemutawatiran al-Qur’an. Pendukung pendapat pertama ini menurut Zarqani antara lain: Abu Sa’id Faraj  ibn Lubb.

Pendapat kedua adalah bahwa qiraat sab’ah dan qiraat lainnya adalah dari riwayat-riwayat ahad. Menganggap qiraat sab’ah sebagai mutawatir adalah kemungkaran dan dapat menyebabkan pengkafiran. Pendapat ketiga datang dari Ibn Subki. Seperti yang dikutip Zarqani, Subki berpendapat bahwa seluruh qiraat sab’ah adalah mutawatir. Diriwayatkan langsung dari Nabi oleh orang-orang yang tidak mungkin sepakat berdusta.[12]

Adapun berkitan dengan qiraat asyrah, Zarqani juga menukil pendapat Ibn Subki yang mengatakan jika qiraat asyrah adalah mutawatir. Pun demikian dengan para muhaqqiq seperti al-Jazari dan al-Nuwairi. Tetapi sebagian ulama fiqh menganggapnya sebagai qiraat syadz, karena dalam pandangan mereka, qiraat mutawatir hanyalah qiraat sab’ah.[13]

Penutup
Simpulan dari pembacaan di atas: pertama, macam qiraat yang telah disepakati oleh kebanyakan ulama ilmu al-Qur’an adalah qiraat yang mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj. Sedangkan syarat diterimanya suatu qiraat adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani. Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Ketiga: Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad.

Berkaitan dengan qira’at sab’ah dan asyrah, penulis menggaris bawahi bahwa sebagian ulama yang saling bersilang pendapat mengenai kemutawatiran/kesahihan qiraat tersebut. Tentang qiraat tujuh misalnya, adalah yang menganggap bahwa qiraat tersebut mutawatir keseluruhan. Tetapi adapula yang beranggapan bahwa qiraat tersebut adalah ahad. Penulis juga berkesimpulan bahwa term sahih dalam menilai qiraat sab’ah dan asyrah dapat berarti mutawatir.



[1] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 28
[2] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqân Fî Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), vol. 1, h, 110. Lihat pula dalam: Muhammad Abdul al-Azim al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dar Kutub al-Arabi, 1995), vol. 1, h. 349
[3] Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 169
[4] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 27
[5] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 343
[6] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 344
[7] Qattan menyebut Qunbul wafat pada 291 dan Bazzi wafat pada 250. Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, h. 172
[8] Qattan menyebut Syu’bah (Abu Bakr) wafat pada 193 H dan Hafsh wafat pada 180 H. Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, h. 172
[9] Abi Amru Uthman ibn Said al-Dani, Kitab al-Taisîr, Fî al-Qirâât al-Sab’a, (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 2006), h. 18.
[10] Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, h. 174
[11] Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, h. 175
[12] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 354
[13] Dalam mengatakan mutawatir, Subki menyebutnya dengan qiraat sahih. Penulis berkesimpulan bahwa dalam konteks ini, Zarqani menggunakan term sahih sebagai mutawatir. Lihat: al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 357

2 komentar: