Oleh: Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Dalam
kajian ilmu al-Qur’an dijelaskan bahwa ada banyak ragam qiraat al-Qur’an.
Kesemuanya mempunyai landasan masing-masing, yaitu para imam qurra’ yang
dianggap terpercaya. Tidak dapat dielakkan, berkembangnya Islam ke berbagai
wilayah telah menjadikan ragam bacaan al-Qur’an tersebut. Bahkan kodifikasi
al-Qur’an oleh Khalifah Uthman yang salah satunya bertujuan menyeragamkan qiraat
al-Qur’an, ternyata tidak mampu menyeragamkan bacaan al-Qur’an. Namun demikian,
tetap diyakini bahwa qiraat yang sampai pada kita saat ini adalah qiraat yang
didasarkan pada imam yang terpercaya.
Tulisan
dibawah ini berusaha memaparkan secara singkat: Macam-macam qira’at al-Qur’an; syarat
diterimanya sebuah qiraat; dan seputar qira’at sab’ah, asyrah dan ‘arba’ asyar.
Macam-macam
Qira’at al-Qur’an
Beberapa
ulama ilmu al-Qur’an berpendapat bahwa qiraat ada tiga macam, mutawatir, ahad
dan syadz. Mereka berpendapat bahwa qiraat yang mutawatir adalah qiraat tujuh,
kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat adalah ahad. Sebagian
berpendapat bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan selain qiraat
tersebut, menurut pandangan ulama adalah syadz.
Menurut
Al-Jazari seperti dikutip al-Suyuti dan juga Zarqani, memaparkan macam-macam
qiraat ditinjau dari segi sanad adalah: mutawatir, masyhur, ahad, syadz,
maudhu’ dan mudraj.
- Qiraat mutawatir, adalah qiraat
yang disandarkan pada periwayat yang terpercaya dan tidak mungkin mereka
berdusta.
- Qiraat masyhur, adalah qiraat yang
sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa
Arab, rasm Uthmani dan terkenal dikalangan ahli qiraat. Oleh sebab itu,
qiraat tersebut tidak dikatakan syadz.
- Qiraat ahad, adalah qiraat yang
sanadnya sahih, tetapi rasmnya berbeda dengan rasm Uthmani. Demikian juga
dengan kaidah dalam bahasa Arabnya yang berbeda serta tidak se-masyhur
seperti tersebut di atas, seperti terdapat dalam surah al-Taubah ayat 128:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ
مِنْ أَنْفَسِكُمْ
Kata (أَنْفُسِكُمْ) dibaca dengan (أَنْفَسِكُمْ).
Dalam surah al-Rahman ayat 76
مُتَّكِئِيْنَ
عَلَي رَفَارِفَ خُضْرِ وَعَبَاِرقِيِّ حِسَان
Kata (رَفْرَفَ) dibaca dengan (رَفَارِفَ). Kedua bacaan qiraah di atas al-Hakim melalui jalur ‘Ashim
Jahdari, dari Abu Barkah, dari Nabi SAW.
- Qiraat syadz, adalah qiraat yang
sanadnya tidak sahih. Seperti qiraat Ibn al-Samaifah, seperti dalam surah
Yunus ayat 92:
فَالْيَوْمَ نُنْحِيْكَ بِبَدَنِكَ
لِتَكُونَ لِمَنْ خَلَفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ
آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Kata (نُنَجِّيكَ)
di baca dengan (نُنْحِيْكَ) dan kata (خَلْفَكَ) dibaca dengan(خَلَفَكَ).
Menurut Abu Amr Ibn Hajab, seperti dikutib
al-Jazari, qiraat yang syadz dilarang pembacaannya pada saat solat dan lainnya.
Sedangkan menurut mazhab Syafii, apabila seseorang mengetahui bahwa suatu
bacaan adalah qiraat syadz dan membacanya pada saat salat, maka batallah
solatnya. Jika tidak mengetahui, maka terbebas dari kesalahan.[1]
- Qiraat maudhu, adalah qiraat yang
tidak ada asalnya. Sebagai contoh, qiraat yang dinisbatkan kepada Imam Abu
Hanifah dalam surah al-Fatir ayat 28
إِنَّماَ
يَخْشَي الله مِنْ عِبَادِهِ الْعَلَمَاءِ
Kata (الله) dibaca dengan (الله). Dan kata (الْعُلَمَاءِ) dibaca (الْعَلَمَاءِ). Menurut Zarqani qiraat tersebut tidak memiliki dasar sama
sekali, sehingga Abu Hanifa terbebas darinya.
- Qiraat mudraj, adalah qiraat yang
disisipkan penafsiran seperti qiraat yang diambil dari Ibn Abbas, seperti
terdapat Surah al-Baqarah ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ
رَبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ
كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Kalimat (في مواسم الحج) adalah
penafsiran yang diselipkan dalam nash ayat tersebut.
Juga terdapat dalam surah Nisa ayat 12:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ
كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ أمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ
Tambahan kata (أمٍّ) adalah qiraah S’ad Ibn Abi Waqqash.[2]
Syarat
Diterimanya Qira’at
Menurut
Manna al-Qattan, syarat diterimanya qiraat adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai
dengan kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus
sesuai dengan rasm Uthmani. Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat
tersebut masih dapat diterima. Sebagai contoh dalam surah al-Fatihah, (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), pada kata (الصِّرَاطَ) diganti dengan huruf sin (س). Contoh lainnya
adalah ayat (مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ) dengan membuang
huruf alif pada kata (مَالِكِ) sehingga menjadi (ملك). Ketiga: Qiraat
harus memenuhi kesahihan sanad.[3]
Menurut al-Jazari, qiraat sahih mencakup dua aspek, yakni: memiliki kesahihan
sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm.[4]
Hal
yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak
adalah bahwa ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang
mutawatir. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika terdapat
qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak diterima. Penulis
mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang ditulis
oleh penulis kitab al-Thaiyibah sebagai berikut:
وكل
ما وافق وجه النحو # وكان للرسم احتمالا يحوي
وصح
إسنادا هو القرأن # هذه ثلاثة الأركان
Kata-kata
(وصح
إسنادا) di atas kemudian
pahami sebagai riwayat yang mutawatir.[5]
Menurut
Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat
yang dapat diterima atau tidak, yaitu:
Pertama,
qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh
orang yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.
Kedua,
periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai
dengan rasm mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat
dipergunakan dalam bacaan meskipun periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan
jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-Qur’an. Karena
didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan
mengundang kesalahpahaman.
Ketiga,
qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak sesuai
dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski qiraat
tersebut telah sesuai dengan rasm mushaf.[6]
Terkait
dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli
nahwu. Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika
tidak sesuai dengan kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut,
Qattan mengutip pendapat Abu Amr al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat
telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut tidak bisa
ditolak.
Seputar
Qira’at Sab’ah, Asyrah dan ‘Arba’ Asyar
A. Qiraat
sab’ah (qiraat tujuh)
Dikalangan
ahli ilmu al-Qur’an, qiraat sab’ah dianggap paling populer. Qiraat sab’ah
adalah qiraat yang dinisbatkan kepada tujuh imam qiraat terkemuka. Ketujuh imam
tersebut mulai populer pada akhir abad II H. Adapun tujuh imam tersebut
sebagaimana dipaparkan al-Dani adalah:
1. Nafi’
al-Madini. Nama lengkapnya Nafi ibn Abdu Rahman ibn Abi Nu’im Maula Ja’unah ibn
Syu’ub al-Laitsi. Ia meninggal di Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya
adalah: pertama, ‘Isa ibn Mina al-Madani al-Zuraqi (Qalun). Ia mendapat julukan
Qalun –yang berasal dari bahasa Romawi- berarti memiliki keindahan suara. Kedua,
Uthman ibn Said al-Misri (Warsy). Julukan Warsy dinisbatkan kepadanya karena ia
sangat putih. Ia wafat di Mesir 179 H.
2. Ibn
Katsir al-Makki. Ia adalah Abdullah ibn Katsir al-Dari. Dia termasuk kalangan
tabi’in dan wafat pada 120 H di Makkah. Dua perawinya adalah: pertama, Muhammad
ibn Abdu Rahman ibn Muhammad ibn Khalid ibn Said ibn Jurjah al-Makki
al-Makhzumi. Ia mendapat julukan Qunbul dan dikenal dengan Qanabilah. Qunbul
wafat pada 280 di Makkah. Kedua, Ahmad ibn Muhammad Abdullah ibn al-Qasim ibn
Nafi ibn Abi Bazza al-Muadzin al-Makki. Dia dikenal dengan nama Bazzi dan wafat
di Makkah pada 240 H.[7]
3. Abu
Amr. Nama lengkapnya adalah Abu Amr ibn
‘Ala Ibn Amâr ibn Abdullah ibn Hushain ibn al-Harist ibn Julhum ibn Khuza’i ibn
Mazini ibn Malik ibn Amru ibn Tamimi. Ada yang menyebut bahwa ia bernama
Zabban, Uryan, Yahya. Ia wafat pada 154 H di Kufah. Dua orang perawinya adalah:
pertama, Abu Umar Hafs ibn Umar ibn Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di
Baghdad dan wafat pada 246 H. Kedua, Abu Syuaib Salih ibn Ziyad ibn Abdullah
al-Susi wafat pada 261 H.
4. Ibn
Amr al-Sa’mi. Ia adalah Abdullah ibn Amir al-Yahshubi. Ia seorang hakim di
Damaskus pada masa khalifah al-Walid. Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Dua
orang perawinya adalah: pertama, Abdullah ibn Ahmad ibn Basyir Ibn Zakwan
al-Qurasyi al-Dimasyqi (Ibn Zakwan). Ia wafat pada 242 H. Kedua, Hasyim ibn
Ammar ibn Nashir ibn Abban ibn Maisarah. Ia adalah hakim di Damaskus dan wafat
pada tahun 245 H.
5. ‘Ashim
al-Kufi. Ia adalah ‘Ashim ibn Abi Najjud. Disebut juga Ibn Bahdalah, yang
dinisbatkan pada nama ibunya. Wafat di Kufah pada 127 H. Dua perawinya adalah:
pertama, Syu’bah ibn ‘Iyyas ibn Salim al-Kufi al-Asdi (Abu Bakr). Wafat di
Kufah pada 194 H. Kedua: Hafsh ibn Sulaiman ibn al-Mughirah al-Asdi al-Bazzaz.
Ia adalah orang yang terpercaya dan wafat pada 190 H.[8]
6. Hamzah
al-Kufi. Ia adalah Hamzah ibn Habib ibn Ummarah ibn Ismail al-Zaiyyat
al-Faradhi al-Tamimi. Wafat pada tahun 156 H, semasa khalifah Abu Ja’far
al-Manshur. Dua perawinya adalah: pertama, Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar yang
wafat pada 229 H di Baghdad. Kedua, Khalad ibn Khalid yang wafat pada 220 H.
7. Al-Kasa’i
al-Kufi. Ia adalah Ali ibn Hamzah al-Nahwi. Ia wafat di desa Burnabawaih pada
189 H pada saat perjalanan menuju Khurasan. Dua perawinya adalah: pertama, Abu
Umar Hafs ibn Umar ibn Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di Baghdad dan
wafat pada 246 H. Ia juga merupakan perawi Abu Amr. Kedua, al-Laits ibn Khalid
al-Baghdadi.[9]
B. Qiraat
Asyrah (qiraat sepuluh)
Menurut
Qattan, qiraat sepuluh adalah qiraat yang tujuh dengan tambah tiga qiraat lagi,
yaitu:
1. Abu
Ja’far al-Madani. Ia adalah Yazid ibn Qa’qa’ yang wafat di Madinah pada 128 H.
Dua orang perawinya adalah: pertama, Abdul Harits Ibn Wardan al-Madani yang
wafat pada 160 di Madinah. Kedua, Abu Rabi’ Sulaiman ibn Muslim ibn Jimaz
al-Madani, wafat pada 170 H.
2. Ya’qub
al-Basri. Ia adalah Abu Muhammad Ya’qub ibn Ishaq ibn Zaid al-Hadrami. Wafat di
Basrah pada 205 H dan dalam riwayat lain dikatakan pada 185 H. Dua perawinya
adalah: pertama, Abu Abdullah Muhammad ibn Mutawakil al-Lu’lu’ al-Basri. Ia
mendapat julukan Ruais, dan wafat pada 238 H di Basrah. Kedua, Abu Hasan Rauh
ibn Abdul Mu’min al-Basri al-Nahwi. Ia wafat pada 234 H.
3. Khalaf.
Ia adalah Abu Muhammad Khalaf ibn Hasyim ibn Sa’lab al-Bazar al-Baghdadi.
Dikatakan bahwa ia wafat pada 229 H. Dua perawinya adalah: pertama, Abu Ya’qub
Ishaq ibn Ibrahim ibn Uthman al-Waraq. Ia wafat pada 286 H. Kedua, Abu Hasan
Idris ibn Abdu Karim al-Baghdadi al-Haddad, wafat pada tahun 292 H yang
bertepatan dengan hari Id Adha.[10]
C. Qiraat
Arba’ Asyar (qiraat empat belas)
Qiraat Arba’ Asyar adalah qiraat yang
tujuh dan sepuluh tetapi ditambah dengan empat qari. Sehingga menjadi qiraat
empat belas. Empat qiraat tersebut adalah:
1. Qiraat
al-Hasanul Basri. Ia salah seorang tabiin yang terkenal dengan kezuhudannya.
Basri wafat pada 110 H.
2. Qiraat
Muhammad ibn Abdu Rahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin. Ia wafat pada 123 H.
3. Qiraat
Yahya ibn Mubarak al-Yazidi al-Nahwi. Ia mengambil qiraat dari Abu ‘Amr dan
Hamzah. Yahya wafat pada 202 H.
4. Qiraat
Abu Faraj Muhammad ibn Ahmad al-Sanbuzi. Ia wafat pada 388 H.[11]
Terkait
qira’at sab’ah dan asyrah, Zarqani mencatat banyak pandangan ulama yang berbeda
tentang kemutawatiran qiraat tersebut. Penulis akan menukil beberapa pendapat
Zarqani akan hal tersebut. Pertama, terdapat ulama yang secara berlebihan
“menjunjung” qiraat sab’ah. Mereka yang menjunjung mengatakan bahwa “siapa yang
menganggap qiraat sab’ah tidak mutawatir, maka anggapan tersebut mendatangkan
kekafiran karena telah meragukan kemutawatiran al-Qur’an. Pendukung pendapat
pertama ini menurut Zarqani antara lain: Abu Sa’id Faraj ibn Lubb.
Pendapat
kedua adalah bahwa qiraat sab’ah dan qiraat lainnya adalah dari riwayat-riwayat
ahad. Menganggap qiraat sab’ah sebagai mutawatir adalah kemungkaran dan dapat
menyebabkan pengkafiran. Pendapat ketiga datang dari Ibn Subki. Seperti yang
dikutip Zarqani, Subki berpendapat bahwa seluruh qiraat sab’ah adalah
mutawatir. Diriwayatkan langsung dari Nabi oleh orang-orang yang tidak mungkin
sepakat berdusta.[12]
Adapun
berkitan dengan qiraat asyrah, Zarqani juga menukil pendapat Ibn Subki yang
mengatakan jika qiraat asyrah adalah mutawatir. Pun demikian dengan para
muhaqqiq seperti al-Jazari dan al-Nuwairi. Tetapi sebagian ulama fiqh
menganggapnya sebagai qiraat syadz, karena dalam pandangan mereka, qiraat
mutawatir hanyalah qiraat sab’ah.[13]
Penutup
Simpulan
dari pembacaan di atas: pertama, macam qiraat yang telah disepakati oleh
kebanyakan ulama ilmu al-Qur’an adalah qiraat yang mutawatir, masyhur, ahad,
syadz, maudhu’ dan mudraj. Sedangkan syarat diterimanya suatu qiraat adalah:
Pertama: Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab, seperti segi
kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani. Apabila terdapat
sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Ketiga: Qiraat
harus memenuhi kesahihan sanad.
Berkaitan
dengan qira’at sab’ah dan asyrah, penulis menggaris bawahi bahwa sebagian ulama
yang saling bersilang pendapat mengenai kemutawatiran/kesahihan qiraat tersebut.
Tentang qiraat tujuh misalnya, adalah yang menganggap bahwa qiraat tersebut
mutawatir keseluruhan. Tetapi adapula yang beranggapan bahwa qiraat tersebut
adalah ahad. Penulis juga berkesimpulan bahwa term sahih dalam menilai qiraat
sab’ah dan asyrah dapat berarti mutawatir.
[1] Ibn Jazari, Taqrîb
al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 28
[2] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqân
Fî Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), vol. 1, h, 110. Lihat pula
dalam: Muhammad Abdul al-Azim al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an,
(Beirut: Dar Kutub al-Arabi, 1995), vol. 1, h. 349
[3] Manna Khalil Qattan, Mabahîs
Fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 169
[4] Ibn Jazari, Taqrîb
al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 27
[5] al-Zarqani, Manâhi
al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 343
[6] al-Zarqani, Manâhi
al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 344
[7] Qattan menyebut Qunbul
wafat pada 291 dan Bazzi wafat pada 250. Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî
Ulûm al-Qur’an, h. 172
[8] Qattan menyebut Syu’bah
(Abu Bakr) wafat pada 193 H dan Hafsh wafat pada 180 H. Manna Khalil Qattan, Mabahîs
Fî Ulûm al-Qur’an, h. 172
[9] Abi Amru Uthman ibn Said
al-Dani, Kitab al-Taisîr, Fî al-Qirâât al-Sab’a, (Beirut: Dar Kutub
al-Islamiyah, 2006), h. 18.
[10] Manna Khalil Qattan, Mabahîs
Fî Ulûm al-Qur’an, h. 174
[11] Manna Khalil Qattan, Mabahîs
Fî Ulûm al-Qur’an, h. 175
[12] al-Zarqani, Manâhi
al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 354
[13] Dalam mengatakan
mutawatir, Subki menyebutnya dengan qiraat sahih. Penulis berkesimpulan bahwa
dalam konteks ini, Zarqani menggunakan term sahih sebagai mutawatir. Lihat:
al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 357
jazakallah
BalasHapusAlhamdulillah semoga benar adanya tulisan ini. Salam.
BalasHapus