Oleh
Ali Thaufan DS
Pengantar
Pada
tahun 2009 lalu, saya –selanjutnya penulis- mengikuti kelas “Tasawuf Nurcholish
Madjid” yang diadakan yayasan Paramadina, bertempat di Musallah Raharja Pondok
Indah. Saat itu materi diampu oleh Dr. Asep Usman, salah satu dosen Fakultas
Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Diantara kesimpulan yang penulis
dapatkan dari pembelajaran tersebut adalah, bahwa seorang sufi tidak melulu
menyendiri di Gunung, Gua, tempat sepi, tempat ibadah dan lainnya. Tetapi,
seorang sufi dapat mempraktikkan ajaran sufi di dalam kehidupan normal pada
umumnya, ditengah masyarakat. Kesimpulan selanjutnya adalah bahwa para sufi
juga tidak bisa diidentikkan sebagai orang yang “kusam”, pakaiannya ketinggalan
zaman.
Pada
zaman modern seperti saat ini, bisa saja seorang sufi juga berpakaian layaknya
masyarakat umum. Dr. Asep Usman juga menjelaskan bahwa salah satu model sufi
“zaman modern” antara lain adalah Nurcholish Madjid. Barangkali ia adalah satu
dari deretan sufi-sufi zaman modern.
Jauh
sebelumnya, pada masa-masa awal perkembangan Islam, sejarah Islam mencatat
nama-nama yang dianggap sebagai sufi agung seperti, Dzu al-Nûn al-Musrî, Abû
Yazid al-Bustami, al-Junaid al-Baghdadî, Husain ibn Mansur al-Hallâj, Abû Hamîd
Ghazali dan banyak lagi nama lainnya. Nama-nama tersebut kemudian melahirkan dua
corak besar dalam tasawuf, yakni Sunni dan tasawuf Falsafi. Dua aliran tasawuf
ini turut mengisi ruang-ruang sejarah peradaban Islam.
Tulisan
ini berusaha memaparkan salah satu tokoh sufi Sunni, yakni Abû al-Qâsim
al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzâz al-Qawâriri al-Baghdadî atau yang dikenal
dengan Imam Junaid al-Baghdadî. Bagi para pengkaji ilmu tasawuf, nama al-Junaid
mungkin tidak asing lagi. Telah banyak kajian terdahulu yang memberikan
informasi terkait tasawuf dan pemikiran al-Junaid.
Tentang
al-Junaid al-Baghdadi: Biografi Sosial-Intelektual
Al-Junaid
memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz
al-Qawariri al-Baghdadi. Al-Junaid lahir di Nahawad, pada tahun 210 H. Ia
tumbuh dewasa dan menghabiskan hidupnya di kota Baghdad, wafat pada 297 H.
Beberapa riwayat menyebut wafat pada hari Sabtu. Sebagian menyebut pada hari
Jumat, dan baru dimakamkan pada hari Sabtu.
Al-Khazzaz
dan juga al-Baghdadi yang disematkan pada namanya tak lain merupakan sebuah
gelar. “Al-Khazzaz” berarti saudagar sutera yang kaya raya. Pun demikian dengan
ayahnya yang bergelar “Al-Qawarir” yang berarti saudagar kaca. Sedangkan
“Al-Baghdadi” adalah menunjukkan tempat hidupnya.
Namun demikian,kekayaan yang dipunyai tidak membuatnya sibuk dengan urusan
duniawi. Al-Junaid justru semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa.
Sepeninggal
ayahnya, al-Junaid di asuh oleh pamannya, Siri al-Saqati (w. 254 H) yang juga
dikenal sebagai tokoh sufi terkemuka di Irak dan ahli berbagai keilmuan.
Di bawah asuhannya ini, al-Junaid mulai menempuh pencarian wawasan keilmuan.
Al-Junaid mulai belajar fikih dan hadis. Ia berguru kepada ahli fikih saat itu,
Abû Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi al-Baghdadi (w. 240 H).
Selain itu, ia juga berteman baik dengan salah satu ahli fikih yakni Ibn
Syurayj.
Setelah
dengan tekun mempelajari ilmu fikih, al-Junaid tumbuh menjadi seorang fuqaha.
Pada usia yang relatif muda, 20 tahun, ia sering diminta memberikan fatwa dalam
masalah fikih. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran gurunya, Abu Tsaur. Pada
perkembangan selanjutnya, setelah cukup mumpuni dibidang ilmu fikih dan hadis,
barulah al-Junaid beralih ke bidang tasawuf. Menurut Muhsin Ruslan, Al-Junaid
mendapat pelajaran tasawuf dari kalangan sufi yang berada di Baghdad dan
beberapa sufi yang berkunjung ke Baghdad. Kalangan sufi dari Baghdad sendiri
diwaliki oleh Siri al-Saqati.
Dalam
kitab Risalah al-Qusairiyah seperti dikutip Ruslan, dipaparkan bahwa
al-Junaid pernah berkata:
Sewaktu aku berusia tujuh tahun dan sedang bermain-main di hadapan
al-Saqati, dan al Saqati ketika itu sedang melakukan pembicaraan tentang al-syukr,
lalu bapak saudaraku itu bertanya kepadaku, “Anakku, syukr itu apa?” Aku
menjawab kepadanya bahwa syukr itu ialah bahwa seseorang itu tidak
melakukan maksiat terhadap Tuhan dengan menggunakan nikmat yang diberikan Tuhan
kepadanya. Bapak saudaraku berkata, “Nikmat Tuhan yang diberikan kepada engkau
itu tentulah (termasuk) lidahmu.” Al-Junaid seterusnya berkata, “Mataku
senantiasa berlinang apabila aku teringat apa yang telah diucapkan oleh
al-Saqati tersebut.”
Perkataan
al-Junaid di atas menunjukkan bahwa sejak usia kecil, ia seperti telah
mendalami ilmu tasawuf. Cara pengajaran tasawuf oleh al-Saqati dilakukan dengan
berdialog. Contoh dialog antara al-Saqati dan al-Junaid seperti dikutip dibawah
ini:
Al-Junaid berkata, “Suatu hari Siri al-Saqati bertanya
kepadaku tentang al-mahabbah. Lalu aku menjawab, sebahagian orang
mengatakan bahwa al-mahabbah adalah keserasian (perasaan); dan yang lain
pula mengatakan bahwa al-mahabbah adalah mengutamakan orang lain
daripada diri sendiri. Sedangkan yang lain mengatakan begini dan begitu.” Lalu
Sari al-Saqati memegang dan menarik kulit lengannya yang begitu kencang dan
kering sehingga tidak boleh ditarik, sambil berkata, “Demi Tuhan, jika aku
berkata bahwa kulit ini menjadi kering melekat pada tulang-tulang ini
disebabkan oleh (usaha-usaha pelaksanaan amal demi) kecintaan kepada-Nya, maka
itu aku sedang menjelaskan tentang kebenaran.
Kalangan
sufi Baghdad yang menjadi guru dari al-Junaid selain al-Saqati adalah Abû Abd Allah al-Harits ibn Hasad al-Muhasibi, Abû Ja’far Muhammad Ibn ‘Ali
al-Qassab (w. 275 H), Abu Ja’far al-Karabi al- Baghdadi, Abû Bakr Muhammad Ibn
Muslim Abd al-Rahman al-Qantari (w. 260 H), Abû Ya’qûb al-Zayyat, Muhammad
al-Samin, dan Hasan al-Bazzaz.Sedangkan tokoh
sufi yang mengunjungi Baghdad lalu dijadikan guru oleh al-Junaid antara lain
adalah Abû Hafs ‘Amr Ibn Salama al-Haddâd al-Nisyafuri (w.
260
H), Abû Ja’far Yahya Ibn Muaz Ibn Ja’far al-Razî (w.
258 H), dan
Abû Ya’qûb Yusuf Ibn Husain Ibn ‘Ali al-Razî (w. 304
H).
Meski
pada masa al-Junaid telah banyak ditemui para sufi di Baghdad, tetapi sebagaian
orang kurang bisa menerima ajaran tasawuf dan kalangan sufi. Sebagian orang
bahkan menolak tasawuf. Al-Junaid yang bergelut di bidang tasawuf bahkan
dianggap sebagai atheis dan zindik. Hal ini yang barangkali membuat al-Junaid
tidak terang-terangan dalam mengajarkan tasawuf.
Dr.
Ali Hasan yang menjadi editor buku Rasail al-Junaid mengemukakan bahwa
al-Junaid tidak mengajarkan tasawuf secara terbuka karena: pertama, pelajaran
al-Junaid dianggap menyimpang. Kedua, ajaran tawasuf belum mendapat respon dari
masyarakat luas. Ketiga, ungkapan-ungkapan al-Junaid sangat sulit dipahami oleh
kebanyak orang, bahkan Ibn Arabi pun termasuk didalamnya.
Jika
ditinjau dari aspek historis, al-Junaid hidup pada masa keemasan Pemerintahan
Abbasiyah. Pada tahun pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 193 H) dan
Khalifah al-Makmun (w. 218 H) Daulat Abbasiyah membangun pusat ilmu pengetahuan
“Bait al-Hikmah”. Tahun-tahun tersebut menjadi tahun berkembangannya filsafat
Islam sebagimana ditandai munculnya filosof besar al-Kindi (w. 252 H) dan
al-Farabi (w. 339 H). Dapat dipastikan pada tahun tersebut, segala macam
pemikiran berkembang pesat.
Ditengah
perkembangan pemikiran yang luar biasa, al-Junaid muncul dengan gagasan
tasawufnya. Menurut Taftazani, tasawuf al-Junaid bukan termasuk tasawuf yang “ekstrem”.
Tasawuf yang lakukan al-Junaid termasuk apa yang dikatakan Taftazani sebagai
tasawuf “moderat”. Ajaran tasawufnya dia dasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Ia
adalah seorang fuqaha yang sufi.
Uraian
di atas mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa al-Junaid muncul sebagai tokoh
sufi ditengah perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian pesat. Al-Junaid
memberikan corak tasawuf ditengah berkembangannya filsafat dengan hadirnya
tokoh semisal al-Kindi dan al-Farabi. Bangunan intelektual al-Junaid
terkombinasi dari pamannya al-Saqati dan masanya sebagai masa keemasan Islam.
Tentang
Buku Rasail al-Junaid
Sebagai
seorang sufi yang masyhur, al-Junaid sebetulnya tidak memiliki karya yang
secara khusus mengulas tasawuf. Buku yang sampai saat ini, Rasail al-Junaid
adalah kumpulan beberapa surat menyurat antara al-Junaid dan para sahabatnya.
Selain itu ada beberapa tema pokok yang dibahasnya, yakni tentang al-Ulûhiyah,
Tauhid, Mitsak dan lain-lain. Beberapa penulis tasawuf meyakini bahwa al-Junaid
sangat mendalam dalam membahas tauhid.
Buku
Rasail al-Junaid terdiri dari beberapa judul yaitu: 1) Surat al-Junaid kepada
sebagian sahabatnya (tidak disebut secara pasti nama sahabatnya); 2) Surat
al-Junaid kepada sahabatnya Yahyâ ibn Ma’âdz al-Râzî;
3). Surat al-Junaid kepada sebagian sahabatnya (tidak disebut secara pasti nama
sahabatnya); 4). Surat dan nasehat al-Junaid kepada ‘Amrû ibn Utsman al-Makkî;
5). Surat dan nasehat al-Junaid kepada Abî Ya’qûb Yûsuf ibn Husain al-Râzî;
6). Pembahasan al-Junaid tentang fana’; 7). Pembahasan al-Junaid tentang
persaksian (mitsâq); 8). Pembahasan tentang al-Ulûhiyah; 9). Perbedaan antara
keyakinan dan keikhlasan; 10). Pembahasan tentang tauhid; 11). Pembahasan
tentang adab orang fakir kepada Allah 12). Pembahasan tentang obat dari kelalaian.
Surat
menyurat antara al-Junaid dengan sahabatnya tidak diketahui secara pasti
waktunya karena al-Junaid sendiri tidak mencamtumkannya (tanggal atau tahun). Kumpulan
surat-surat dan beberapa gagasannya disatukan menjadi sebuah buku yang di-tahqiq
oleh Dr. Ali Hasan Abdu al-Kadir.
Pemikiran
Tasawuf Al-Junaid
Sebagai
seorang sufi masyhur, al-Junaid sebetulnya tidak memiliki karya yang secara
khusus mengulas pemikiran tasawuf. Namun al-Kalabadzi menulis bahwa tasawuf
menurut al-Junaid tasawuf adalah membersihkan hati dari pengaruh duniawi,
menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, menghindari godaan hawa nafsu,
menghiasi diri dengan sifat-sifat ruhaniah melalui ilmu hakikat, lebih
bersandar kepada sesuatu yang bersifat abadi, menyeru kepada kebaikan yakni
dengan mengikuti Rasulullah dan apa yang telah disyariatkan.
Untuk
menyelami pemikiran tasawuf al-Junaid, para pengkaji mendapatkan pada buku
Rasail al-Junaid. Buku tersebut adalah kumpulan beberapa surat-surat al-Junaid kepada
para sahabatnya –sufi yang sezaman dengannya. Selain itu ada beberapa tema
pokok yang dibahasnya, yakni tentang uluhiyah, tauhid, mitsaq, fana’ dan
lain-lain. Beberapa penulis tasawuf meyakini bahwa al-Junaid sangat mendalam
dalam membahas tauhid.
Dalam
risalah tauhidnya ia berkata:
Ketahuilah
sesungguhnya awal ibadah kepada Allah adalah makrifat kepadaNya. Pokok dari
makrifat kepada Allah adalah mentauhidkanNya. Prinsip mentauhidkan Allah adalah
menafikan sifat dariNya. Allah adalah dalil atas wujudNya. Sarana untuk mecapai
dalil atas wujud Allah hanyalah taufik dariNya. Hanya dengan taufik dari Allah
seseorang mampu mentauhidkanNya. Setelah tauhid, orang tersebut akan mencapai
tasdik (pengakuan). Dari tasdik menuju tahkik (penetapan) sesudah tahkik maka
terjadi makrifat kepada Allah. Dari makrifat kepada Allah akan muncul ketaatan
kepadaNya. Dari ketaatan akan meningkat naik kepada Allah. Dari tangga naik
akan terjadi ketersambungan kepada Allah. Dari ketersambungan terjadilah
transparan. Dari transparan terjadi kebingungan. Setelah bingung, hilang
transparasi. Akibat kehilangan transparasi maka tidak mampu melukiskan Allah.
Setelah itu dia akan mencapai hakikat wujudNya. Lalu masuk kepada hakikat
syuhud dengan hilang wujudnya. Dengan kehilangan wujudnya maka wujudnya menjadi
murni. Dengan kemurnian wujud, hilang sifatNya. Dari hilangnya tersebut, ia
hadir secara total. Dia antara ada dan tiada, antara tiada dan ada. Ia ada tapi
disisi lain tiada, ia tiada tapi disisi lain ada. Kemudian dia menjadi ada setelah
tiada. Lalu dia pun akan menjadi dia setelah tiada. Setelah dia tiada, maka dia
menjadi ada dan ada, setelah ada dan tiada.
Kalimat
(ومن
الترقي اليه وقع الإتصال به) atau yang
berarti “Dari tangga naik akan terjadi ketersambungan kepada Allah” menarik
untuk dicermati. Ungkapan penuh makna tersebut dapat dipahami memiliki
kemiripan dengan konsep menyatunya hamba dengan Allah. Sangat besar kemungkinan
para sufi sesudah al-Junaid –seperti al-Hallaj dan juga Ibn Arabi- mengadopsi
kalimat di atas sebagai landasan pemikiran kebersatuan hamba dengan Tuhan.
Ungkapan
al-Junaid di atas menggambarkan bagaimana tingkatan menuju ketauhidan yang
“hakiki”. Cukup sulit mencerna ungkapan al-Junaid yang mempunyai nilai bahasa
sufi yang tinggi. Tetapi penulis menggarisbawahi kalimat “Hanya dengan
taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkanNya”, yang dapat diartikan
bahwa sebesar apapun usaha hamba mencapai ketauhidan tidak akan berarti tanpa
taufik Allah. Artinya, hidayah Allah sangat dibutuhkan untuk mendekat kepada Allah.
Pandangan
al-Junaid tentang tauhid juga diutarakan oleh al-Qusyairi. Ketika al-Junaid
ditanya tentang tauhid, ia menjelaskan bahwa tauhid adalah mengesakan Allah
dengan sebenar-benarnya dan sesempurna mungkin. Allah adalah maha esa, tidak
beranak dan diperanakkan. Allah tidak dapat diserupakan, diurakan dan
digambarkan.
Al-Junaid lalu menukil sebuah ayat
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat.”
Dalam
risalah tauhidnya, al-Junaid juga membagi tauhid sang makhluk menjadi empat,
pertama tauhid orang-orang awam, kedua tauhid orang-orang alim dan berilmu,
serta ketiga dan keempat adalah tauhidnya orang-orang yang telah mencapai
tingkat ma’rifah. Tauhid bagi orang awam adalah pengakuan atas keesaan Allah
serta tidak mengakui adanya tuhan selain Dia. Tauhid bagi orang-orang alim dan
berilmu adalah pengakuan atas keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain
Dia serta menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya.
Sedangkan
tauhid orang yang mencapai tingkat ma’rifah ada dua. Pertama, pengakuan atas
keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain Dia serta menjalankan segala
perintahnya dan menjauhi larangannya. Tidak takut dan tidak senang melainkan
karena Allah. Selalu melihat Allah dan taat kepadaNya. Kedua, seperti bayangan
yang berada dihadapan Allah tanpa ada yang ketiga. Berlaku semua kehendak Allah
, di dalam ombak dan lautan tauhid. Dengan fana yang ada pada dirinya dan
dakwah. Ia kembali menjadi seperti tiada. Di akhir penjelasannya al-Junaid
mengutip surah al-A’raf ayat 172, ayat yang terkenal dengan mitsaq (perjanjian
primordial).
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)’”
Dengan
menggunakan ayat mitsaq tersebut, al-Junaid juga menjelaskan konsep awal ruh
sebelum diciptakannya tubuh / jasad. Atau dengan kata lain tentang keadaan ruh
di alam lain. Ia berkata:
Allah mempunyai
hamba pilihan yang menjadi kekasihnya. Menjadikan jasad mereka duniawi dan
ruhnya nur. Pemahamannya bersifat arasyi, akalnya menjadi hijab, tidak
mempunyai tempat berlindung kecuali kepada Allah, tidak punya tempat kecuali di
sisi Allah. Mereka adalah yang diwujudkan dan didudukkan di sisi Allah sejak
zaman azali. Ketika Allah memanggil mereka sebagai tanda penghormatan, mereka
segera datang. Mereka paham panggilan itu dan Allah mengenalkan diri kepada
mereka di saat belum ada. Allah memindahkan mereka dengan kehendakNya. Mereka
dijadikan seperti atom. Diwujudkan menjadi makhluk. Kemudian dimasukkan dalam
tulang rusuk Adam. Lalu Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”. Allah mengabarkan bahwa dia berbicara dengan mereka. Padahal
mereka belum ada kecuali diwujudkan olehNya. Mereka wujud karena Allah, bukan
karena dirinya. Maka disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud
yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah sendiri.
Selain
konsep awal ruh sebelum penciptaan tubuh, menurut penulis terdapat ungkapan
yang cukup menarik
إذ كانوا واجدين
للحق من غير وجودهم لأنفسهم, فكان الحق بالحق في ذلك موجودا بالمعنى الذي لا يعلمه
غيره ولا يجده سواه
“Maka
disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud yang tidak mampu
dimengerti kecuali oleh Allah sendiri”. Ungkapan ini seakan menunjukkan
kemanunggalan antara Allah hambaNya. Tetapi, hal tersebut tidak akan pernah
dimengerti kecuali oleh Allah.
Konsep
tersebut di atas –awal ruh sebelum penciptaan tubuh- yang diusung oleh
al-Junaid memberi pengaruh bagi sufi-sufi selanjutnya. Sufi-sufi tersebut
antara lain, Muhammad ibn al-Husain al-Jurairy (w. 311 H) dan Muhammad Muzayin
(w. 328 H). Konsep ini pada perkembangan selanjutnya melahirkan teori tentang
“Nur Muhammad”. Meski beberapa penulis tasawuf menyebut Sahl al-Tustari sebagai
penggagasnya.
Dalam
beberapa kitab-kitab tasawuf disebutkan bagaimana al-Junaid berbicara tentang
tauhid. Salah satunya yang dikutip Taftazani dari riwayat al-Qusyairi. Ketika
al-Junaid ditanya tentang tauhid, ia menjawab:
“Pribadi-pribadi
yang bersatu merealisasikan kebersatuanNya dengan kesempurnaan
kebersendiriannya, berkeyakinan bahwa Allah adalah yang maha esa, Dia tidak
beranak dan diperanakkan, dan Dia negasikan segala yang berbilang banyak... Dia
tanpa padanan, dan Dia adalah yang maha mendengar dan melihat”.
Ungkapan
tentang tauhid al-Junaid di atas begitu indah dan menyentuh hati pembaca.
Memang, al-Junaid banyak mengeluarkan ucapan-ucapan penuh makna. Al-Sulami
dalam Thabaqat al-Sufi menukil beberapa perkataan al-Junaid seperti
“Lupa kepada Allah lebih bahaya ketimbang masuk neraka”. Lalu adapula ucapan “Apabila
kamu bertemu dengan orang fakir, maka jangan memulai dengan ilmu, tetapi dengan
dengan sesuatu yang bermanfaat baginya. Karena ilmu akan membuatnya liar dan
lapar, dan sesuatu yang bermanfaat membuatnya jinak.”
Disamping dua perkataan tersebut masih banyak lagi perkataan lainnya.
Apresiasi
atas Pemikiran Tasawuf al-Junaid
Seorang
tokoh yang memiliki gagasan besar kerap mendapat apresiasi, sanjungan hingga
kritikan dari para tokoh sesudahnya. Hal demikian juga terjadi pada al-Junaid.
Pemikirannya tasawuf yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah mendapat tempat
tersendiri pada bangunan ilmu tasawuf. Pemikirannya tasawufnya telah menjadi
warisan bagi para sufi sesudahnya.
Para
pengkaji tasawuf menempatkannya sebagai tokoh sufi sunni, sufi yang mendasarkan
amalannya kepada al-Qur’an dan sunnah. Setidaknya hal ini dapat terlihat dari
ucapan al-Junaid bahwa landasan tawasuf yang utama adalah harus didasarkan pada
al-Qur’an dan Sunnah. Orang-orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis
Hadis, maka tidak boleh dijadikan panutan dalam tasawuf. Hal ini dikarenakan
tasawuf sangat terkait dengan keduanya, al-Qur’an dan Hadis.
Hal yang paling menonjol dalam pembahasan mengenai pemikiran tawsuf al-Junadi
adalah bahwa setiap pengkaji sepakat jika pijakan pemikiran al-Junaid
didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah.
Tasawuf
sunni adalah sebuah aliran tasawuf yang mendasarkan pemikiran dan tindakannya
pada syariah (al-Qur’an dan Hadis). Dalam pidato pengukuhan guru besar bidang
tasawuf, Alwan Khairi membuka makalahnya dengan pernyataan bahwa ajaran tasawuf
yang sejalan dengan syari’ah adalah tasawuf Sunni. Ia menyatakan bahwa:
“Tasawuf Sunni
yakni tasawuf yang ajarannya sampai pada tingkat ma’rifah. Syari’ah dan tasawuf
Sunni merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena corak tasawuf ini
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Ajarannya menekankan aspek pembinaan
akhlak yang terpuji dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam
hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya; (2). Ajarannya diselaraskan
sepenuhnya dengan ilmu syari’ah; (3). Ajarannya tidak mengandung syathahat yang
dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut ulama syari’ah; (4).
Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan
bunyi teks al-Qur’an dan hadis; dan (5) Dalam ajaran tasawuf Sunni masih
terlihat jelas perbedaan antara ‘abid dan ma’bud serta khaliq dan makhluk,
sehingga tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah maupun dalam
ibadah.”
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa dalam tasawuf untuk mendekati al-Qur’an dan Sunnah
harus dilakukan dengan cara takwil. Jika takwil tersebut dekat dengan bunyi
teks al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk tasawuf Sunni. Tetapi jika takwil
tersebut jauh dari al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk non Sunni. Adapun
ciri tasawuf Sunni adalah: Dalam tasawuf Sunni amal hati, lidah dan fisik
ketika melaksanakan syari’ah harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah;
dalam Sunni tidak terdapat unsur syirik baik akidah maupun ibadah; tasawuf
Sunni tidak memperkenankan tarekat suluk, uzlah, qonaah, zuhud dan lain-lain
tanpa ikhtiar sama sekali; ilmu laduni yang diraih melalui dzauq tidak
diakui sah apabila bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah; tasawuf Sunni
menekankan akhlak dan sopan santun dalam hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan sesamanya.
Apa
yang dikemukakan oleh Alwan sepertinya hendak menegaskan bahwa tasawuf yang
“legal” dan sah adalah tasawufnya para sufi Sunni. Sedangkan praktik tasawuf
kalangan sufi falsafi bukanlah tasawuf sejati. Pembeda yang paling menonjol dan
menjadi sasaran kritik para sufi Sunni terhadap kalangan sufi falsafi adalah
dalam persoalan kemanunggalan dengan Tuhan yang esa.
Sekalipun
antara tasawuf Sunni dan falsafi terdapat banyak perbedaan, tetapi terdapat
juga persamaan keduanya. Persamaan yang paling pokok adalah bahwa sumber kedua
aliran tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya tetap konsisten
mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Keduanya juga menginginkan untuk mencapai
kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang bersifat spiritual.
Kebesaran al-Junaid telah menjadikannya sebagai
seorang sufi yang diakui pada zamannya, bahkan hingga saat ini. Hal ini
setidaknya dapat dilihat dari surat-surat al-Junaid kepada para sufi
sezamannya. Pada zamannya pula, sufi “kontroversial” al-Hallaj tercatat pernah
berguru dengannya.
Imam al-Ghazali juga mengakui bahwa ia banyak terinspirasi oleh pemikiran
tasawuf al-Junaid.
Sedangkan kebesaran al-Junaid dan pengaruhnya hingga
saat ini setidaknya merujuk pada pendapat Said Aqil Siraj, bahwa corak tasawuf warga
Nahdhiyin (NU) adalah pengaruh dari dua imam sufi besar yaitu al-Junaid dan
Imam Ghazali.
Kebesaran al-Junaid sebagai seorang sufi membuatnya mendapat beberapa sebutan
seperti “Sayyid al-Thâifah”, “Syehk Masyayîkh”, “Tâj al-Arifîn” (mahkota
orang-orang arif) hingga “al-Junaidiyah” bagi orang-orang yang belajar
bersamanya.
Hikayat
hidup seorang al-Junaid banyak ditulis oleh para pengkaji ilmu tasawuf. Cerita
tentang kehidupan al-Junaid memberikan teladan bagi setiap orang. Sebagai
contoh, cerita al-Junaid yang dapat dijadikan teladan adalah ketika meminta
para muridnya menyembelih ayam, tetapi dengan syarat tidak ada yang melihatnya.
Beberapa muridnya membeli ayam di pasar lalu menyembelihnya dengan cara
bermacam-macam. Ada yang menyembelih di dalam kamar, di tengah hutan dan
lain-lain. Tetapi ada seorang murid yang tidak menyembelihnya karena ia merasa
tidak mampu dengan syarat yang diminta oleh al-Junaid. Si murid tersebut
berkata:
“Aku membawa
ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allah) tak
melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih bersamaku. Bahkan di tengah
gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Padahal aku tak bisa pergi ke
tempat di mana tak ada yang melihatku”.
Cerita
lain dari al-Junaid yang patut dicontoh adalah tatkala ia belajar tauhid dari
seorang tukang cukur rambut. Pada suatu ketika, al-Junaid melakukan perjalanan
ke Makkah. Ia melihat tukang cukur rambut yang sedang mencukur rambut
seseorang, lalu kemudian al-Junaid menghampirinya dan berkata “Jika karena
Allah, bisakah kau mencukur rambutku”. Seketika pula, si pencukur rambut
menghentikan mencukur rambut seseorang tadi dan menyilahkan al-Junaid untuk dicukur.
Begitu selesai mencukur rambut al-Junaid, si tukang cukur justru memberikan
kepingan uang untuk al-Junaid. Hal ini membuatnya keheranan. Sambil pergi,
al-Junaid berjanji ia mendapat rezeki (uang) akan memberikan kepada tukang
cukur rambut tersebut.
Pada
kemudian hari, al-Junaid mendapat hadiah sekantong uang dari sahabatnya. Ia pun
memenuhi janjinya jika mendapat uang akan memberikan kepada tukang cukur.
Al-Junaid pun pergi kepada tukang cukur dan memberikan uang tersebut. Tukang
cukur menolak pemberian al-Junaid tersebut dan berkata:
“Tidakkah engkau
malu kepada Allah. Engkau telah mengatakan kepadaku ‘Demi Allah cukurlah
rambutku’, tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau
menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta
bayaran?”.
Perkataan
tukang cukur tersebut membuat al-Junaid terdiam tanpa kata.
Penutup
Simpulan
dari tulisan ini adalah, al-Junaid termasuk juga sebagai ahli tasawuf yang
membalutkan corak kesufiannya dengan begitu dalam. Beberapa ulasan tentang
ketauhidan, al-Junaid menunjukkan kata-kata yang sarat makna untuk
menggambarkan ketauhidan yang selaras dengan al-Qur’an dan Sunnah. Meski
al-Junaid tak memiliki karya “buku”, tetapi surat-suratnya kepada para
sahabatnya serta perkataan-perkataan hikmahnya telah menempatkan diri sebagai
sufi agung. Pembahasan tauhid yang diulas dalam Rasail al-Junaid memberi
gambaran bahwa al-Junaid cukup dalam dalam memahami tauhid. Ia menggunakan term
(الإتصال) untuk mengambarkan bagaimana seorang hamba dapat menuju sang
Khalik.
Daftar Pustaka