Oleh Ali Topan DS
Persoalan seperti kesenjangan sosial; kekerasan atas nama agama;
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kerap terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi
perhatian utama The Wahid Institute (selanjutnya disingkat WI) sejak berdirinya
pada 7 September 2004. Melalui berbagai dialog, WI mengupayakan agar
persoalan-persoalan di atas dapat diatasi, atau paling tidak berkurang. WI
ingin mewujudkan cita-cita Abdurahman Wahid untuk membangun bangsa yang adil, sejahtera
dan damai.
Pada 26 September 2013, WI merayakan hari jadinya yang ke sembilan.
Beberapa tokoh nasional turut hadir baik dari kalangan intelektual dan politisi.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Said Agil Siroj; Ketua Umum Partai
Hanura, Wiranto; Menteri Perumahan Rakyat, Dzan Farid; Akbar Tanjung serta
Gubernur DKI Jakarta, Jokowi hadir dalam acara tersebut.
Dalam acara yang bertema “Menyebar Islam Damai dan Beragam”, Yeni
Wahid –ketua WI- menyampaikan bahwa kepemimpinan yang baik akan mampu mengatasi
persoalan intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Ia berharap agar pemimpin
bangsa ini selalu berpegang pada konstitusi dan berpihak pada rakyat lemah. Satu
hal yang menjadi sorotan media pada acara tersebut adalah pemberian peci rotan
milik almarhum Gus Dur kepada Jokowi yang bertindak sebagai keynote speaker.
Penulis melihat ada dua media yang kontradiktif memberitakan
pernyataan Yeni terkait pemberian peci Gus Dur kepada Jokowi. Pertama adala
Kompas.com media online harian Kompas dan Media Indonesia. Berikut kutipan
berita yang tertulis di kedua media tersebut;
Kompas.com:
Kutipan pernyataan Yeni: “Kalau mencalonkan diri, kita siap mendukung.
Pak Jokowi layak didukung”.
“Yenny mengungkapkan, dukungan terhadap Jokowi bukan mengalir kali
ini saja. Menurutnya, keluarga Wahid juga mendukung ketika Jokowi mencalonkan
diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia mengatakan, perbedaan partai politik tak
menjadi persoalan karena masyarakat bisa membedakan antara kualitas figur
dengan partainya.” (sumber Kompas.com 27 September 2013)
Media Indonesia:
“Dalam acara yang dihadiri Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo itu, istri
almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, memberikan peci khas suaminya. Tidak jelas apa
maksud Sinta Nuriyah memberi peci tersebut di tengah pamor Jokowi yang terus
digadang-gadang akan menjadi presiden itu. Sebab, Yeni pun menolak jika hal itu
merupakan cara keluarganya untuk merestui mantan Walikota Surakarta tersebut
menjadi orang nomer satu di negeri ini”
Kutipan pernyataan Yeni: “Tidak ada maksud apapun baik mendukung
Jokowi dalam pilpres. Kami memberikan apresiasi kepada Jokowi sebagai pemimpin,
dia mempunyai komitmen yang luar biasa terhadap teleransi agama dan dia banyak
kesamaan dengan Gus Dur”. (Sumber: Media Indonesia 27 September 2013)
Penulis melihat ada pernyataan berbeda dari Yeni yang diberitakan
Kompas.com dan Media Indonesia. Berita pada Kompas.com memberikan kesan bahwa
Yeni bersama keluarganya mendukung Jokowi jika mencalonkan sebagai presiden. Sementara
berita di Media Indonesia justru sebaliknya, tidak ada maksud apapun antara
peci dan restu nyapresnya Jokowi. Pembaca
media tersebut perlu membongkar makna yang tersirat dari dua pemberitaan, atau
dalam analisis media disebut analisis konstruktivisme.
Pendekatan konstruktivisme
menghendaki bahwa pembaca mempunyai hak dalam menafsirkan sebuah berita yang
dibaca, dengar dan ditonton. Perlu dicermati, kalangan konstruksionis
menganggap berita adalah produk yang subyektif. Berita adalah hasil bangunan
dari realitas yang diusung oleh si penulis berita, wartawan. Bahkan, wartawan
tidak hanya sebagai pelapor berita, ia adalah agen konstruksi sebuah berita. Pada
titik ini, etika dan moral wartawan yang sesungguhnya diuji.
Terkait pernyataan Yeni yang kontradiktif dalam dua media di atas,
perlu dibuktikan otentisitas pernyataan yang benar. Pertama, bisa jadi Yeni
memberi pernyataan berbeda kepada dua media dalam waktu yang tidak bersamaan. Kedua,
agen konstruksi (wartawan) yang membuat berita tidak sebagaimana mestinya. Jika
demikian, penulis berita dianggap telah memberitakan tidak berdasarkan fakta.
Terlepas dari berita di atas, penulis melihat
ada kesan dari kelompok tertentu –dalam hal ini WI- yang mengapresiasi kinerja
Jokowi sebagai Gubernur. Pemberian peci kepada Jokowi tersebut merupakan
penghargaan yang cukup tinggi. Peci merupakan indentitas keIslaman orang Melayu.
Peci atau dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan songkok juga merupakan simbol nasionalisme. Maka tidak heran,
Jokowi sebagai kader partai nasionalis –PDIP- mendapat “hadiah” peci dari
seorang yang sangat kental dengan nuasa keIslaman dan keIndonesiaan –almarhum Gus
Dur- meski melalui istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar