Jumat, 27 September 2013

Pemberian Peci Gus Dur untuk Jokowi (Membaca Pernyataan Kontradiktif Yenny Wahid dalam Pemberitaan Kompas.com dan Media Indonesia)

Oleh Ali Topan DS

Persoalan seperti kesenjangan sosial; kekerasan atas nama agama; pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kerap terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian utama The Wahid Institute (selanjutnya disingkat WI) sejak berdirinya pada 7 September 2004. Melalui berbagai dialog, WI mengupayakan agar persoalan-persoalan di atas dapat diatasi, atau paling tidak berkurang. WI ingin mewujudkan cita-cita Abdurahman Wahid untuk membangun bangsa yang adil, sejahtera dan damai.

Pada 26 September 2013, WI merayakan hari jadinya yang ke sembilan. Beberapa tokoh nasional turut hadir baik dari kalangan intelektual dan politisi. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Said Agil Siroj; Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto; Menteri Perumahan Rakyat, Dzan Farid; Akbar Tanjung serta Gubernur DKI Jakarta, Jokowi hadir dalam acara tersebut. 

Dalam acara yang bertema “Menyebar Islam Damai dan Beragam”, Yeni Wahid –ketua WI- menyampaikan bahwa kepemimpinan yang baik akan mampu mengatasi persoalan intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Ia berharap agar pemimpin bangsa ini selalu berpegang pada konstitusi dan berpihak pada rakyat lemah. Satu hal yang menjadi sorotan media pada acara tersebut adalah pemberian peci rotan milik almarhum Gus Dur kepada Jokowi yang bertindak sebagai keynote speaker.

Penulis melihat ada dua media yang kontradiktif memberitakan pernyataan Yeni terkait pemberian peci Gus Dur kepada Jokowi. Pertama adala Kompas.com media online harian Kompas dan Media Indonesia. Berikut kutipan berita yang tertulis di kedua media tersebut;
Kompas.com:
Kutipan pernyataan Yeni: “Kalau mencalonkan diri, kita siap mendukung. Pak Jokowi layak didukung”.
“Yenny mengungkapkan, dukungan terhadap Jokowi bukan mengalir kali ini saja. Menurutnya, keluarga Wahid juga mendukung ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia mengatakan, perbedaan partai politik tak menjadi persoalan karena masyarakat bisa membedakan antara kualitas figur dengan partainya.” (sumber Kompas.com 27 September 2013)

Media Indonesia:
“Dalam acara yang dihadiri Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo itu, istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, memberikan peci khas suaminya. Tidak jelas apa maksud Sinta Nuriyah memberi peci tersebut di tengah pamor Jokowi yang terus digadang-gadang akan menjadi presiden itu. Sebab, Yeni pun menolak jika hal itu merupakan cara keluarganya untuk merestui mantan Walikota Surakarta tersebut menjadi orang nomer satu di negeri ini”
Kutipan pernyataan Yeni: “Tidak ada maksud apapun baik mendukung Jokowi dalam pilpres. Kami memberikan apresiasi kepada Jokowi sebagai pemimpin, dia mempunyai komitmen yang luar biasa terhadap teleransi agama dan dia banyak kesamaan dengan Gus Dur”. (Sumber: Media Indonesia 27 September 2013)

Penulis melihat ada pernyataan berbeda dari Yeni yang diberitakan Kompas.com dan Media Indonesia. Berita pada Kompas.com memberikan kesan bahwa Yeni bersama keluarganya mendukung Jokowi jika mencalonkan sebagai presiden. Sementara berita di Media Indonesia justru sebaliknya, tidak ada maksud apapun antara peci dan restu nyapresnya Jokowi. Pembaca media tersebut perlu membongkar makna yang tersirat dari dua pemberitaan, atau dalam analisis media disebut analisis konstruktivisme.

Pendekatan konstruktivisme menghendaki bahwa pembaca mempunyai hak dalam menafsirkan sebuah berita yang dibaca, dengar dan ditonton. Perlu dicermati, kalangan konstruksionis menganggap berita adalah produk yang subyektif. Berita adalah hasil bangunan dari realitas yang diusung oleh si penulis berita, wartawan. Bahkan, wartawan tidak hanya sebagai pelapor berita, ia adalah agen konstruksi sebuah berita. Pada titik ini, etika dan moral wartawan yang sesungguhnya diuji. 

Terkait pernyataan Yeni yang kontradiktif dalam dua media di atas, perlu dibuktikan otentisitas pernyataan yang benar. Pertama, bisa jadi Yeni memberi pernyataan berbeda kepada dua media dalam waktu yang tidak bersamaan. Kedua, agen konstruksi (wartawan) yang membuat berita tidak sebagaimana mestinya. Jika demikian, penulis berita dianggap telah memberitakan tidak berdasarkan fakta. 

Terlepas dari berita di atas, penulis melihat ada kesan dari kelompok tertentu –dalam hal ini WI- yang mengapresiasi kinerja Jokowi sebagai Gubernur. Pemberian peci kepada Jokowi tersebut merupakan penghargaan yang cukup tinggi. Peci merupakan indentitas keIslaman orang Melayu. Peci atau dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan songkok juga merupakan simbol nasionalisme. Maka tidak heran, Jokowi sebagai kader partai nasionalis –PDIP- mendapat “hadiah” peci dari seorang yang sangat kental dengan nuasa keIslaman dan keIndonesiaan –almarhum Gus Dur- meski melalui istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar