Kamis, 26 September 2013

Jokowi, “Say Bye” to Amin

Oleh: Ali Topan DS

Pada sebuah kuliah umum di Universitas Diponegoro Semarang (24/9/2013), Amin Rais (Ketua Dewan Pertimbangan PAN) menghimbau agar rakyat tidak memilih Jokowi. Ia menyamakan Jokowi dengan sosok mantan Presiden Filipina, Joseph Estrada. Estrada dipilih rakyat hanya karena popularitasnya. Ia dikenal tukang maduk dan hanya memimpin Filipina selama beberapa bulan, sebelum akhirnya dikudeta.

Pernyataan Amin sontak mendapat tanggapan dari beberapa politisi PDI-P. Eva K. Sudanri (politisi PDI-D) menilai kebencian Amin terhadap Jokowi menunjukkan sikap tidak sebagai seorang negarawan. Kebencian Amin seperti menutup matanya sendiri atas apa yang dilakukan Jokowi untuk kebaikan Jakarta. Eva menilai pernyataan Amin sama hal nya seperti saat ia menjegal langkah Megawati pada pencalonan Presiden 1999 lalu. Padahal, saat itu, PDIP sebagai pemenang pemilu. Eva juga membalas pernyataan Amin dengan ajakan untuk mendoakan Amin agar tidak sakit dan tidak mudah emosional.

Politisi PDIP lainnya juga tidak tinggal diam. Hasto Kristianto, Wakil Sekjend PDI-P menilai pernyataan Amin tidaklah tepat. Ia menilai pandangan Amin sangat sempit untuk menentukan presiden. Menurut Hasto, Amin salah menilai jika urusan capres adalah urusan Jokowi. Karena persoalan capres bukan urusan Jokowi secara individu, tetapi merupakan urusan partai secara utuh. Erico Satorduga, Politisi PDIP lainnya juga mempersilahkan Amin agar mengurusi kadernya dan menyiapkannya sebagai calon pemimpin. Bukan mencela kader partai lain.

Sementara itu, seorang politisi PAN justru melakukan pembelaan atas pernyataan Amin. Drajad Wibowo (Wakil Ketua Umum PAN) membenarkan penyataan Amin, karena itu merupakan edukasi politik. Rakyat harus tahu bahwa memilih pemimpin tidak boleh hanya sekedar popularitas. Tetapi yang memiliki visi, misi dan integritas.

Pernyataan negatif dan kritik Amin terhadap Jokowi bisa jadi menjadi bagian dari dinamika politik menjelang pilres 2014. Sebagaimana diketahui sebelumnya, Jokowi selalu berada diurutan teratas hasil survei elektabilitas capres. Pernyataan Amin semakin menjelaskan bahwa ada upaya untuk “menjegal” Jokowi jika ia berniat maju dalam pilres. Jika dicermati dengan rentetan pernyataan Amin sebelumnya, bahwa Amin pernah mempunyai keinginan menduetkan Hatta Rajasa dengan Jokowi di pilpres mendatang. Akan tetapi hal tersebut tidak mendapat respon dari Jokowi maupun PDIP. 

Pernyataan “celaan” Amin baru-baru ini tentang Jokowi bisa diartikan bentuk kekesalannya lantaran ia tidak mendapat tanggapan saat mengulirkan wacana duet Hatta-Jokowi. Tidak tepat bagi Amin yang mencontohkan Jokowi sebagai sosok paling populer. Karena hasil beberapa survei yang dirilis, sosok paling populer adalah Aburizal Bakri. 

Pernyataan Amin tentang Jokowi bisa diartikan black campain meski Jokowi sendiri belum dipastikan mencalonkan diri sebagai Presiden. Ada upaya “pembunuhan karakter” yang dilakukan Amin bahwa Jokowi bukanlah sosok yang tepat menjadi pimimpin. Pernyataan Amin yang mengundang kontroversi dapat menyulutkan “psy war” politisi PDIP dan PAN. Amin terlihat tidak obyektif jika menilai sosok Jokowi sebagai yang paling populer. Karena sosok capres populer adalah Aburizal Bakrie. Hal ini semakin menegaskan “kebencian” Amin akan prestasi yang diukir Jokowi di Jakarta

Atas segala “ocehan” Amin, Jokowi tidak perlu merespon secara berlebihan terhadap kritikus, mengingat banyak “PR” yang masih perlu dibenahi. Jokowi perlu fokus membenahi infrastruktur di Jakarta, karena Jakarta merupakan Ibu Kota yang menjadi daya tarik bagi investor-investor besar. Baik PDIP-PAN, harus lebih fokus menyiapkan diri menjelang pemilu. Mengoptimalkan segenap wakil rakyatnya yang duduk di DPR-RI maupun di DPRD agar bekerja hanya untuk kepentingan rakyatnya, bukan partainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar