Oleh Ali Topan DS
Menjelang pemilihan Presiden 2014 mendatang, sejumlah lembaga
survei merilis hasil survei sejauh mana tingkat keterpilihan kandidat calon
Presiden. Beberapa nama yang diajukan tentunya sudah populer, mengingat deretan
nama tersebut banyak menghiasi layar televisi; media cetak; papan reklame atau
spanduk dan lain sebagainya. Beberapa waktu lalu (Rabu 11 September 2013)
Lembaga Konsultan Riset Alvara pun merilis hasil survei yang dilakukannya pada
pertengahan Juli-Agustus 2013 (lihat Kompas.com 11 September 2013).
Berbagai hasil survei yang dirilis tersebut setidaknya menjadi
acuan laju pergerakan para kandidat. Maju atau tidaknya sebagai calon presiden
bisa jadi didasari grafik hasil survei. Dari hasil survei popularitas dan elektabilitas
tersebut, masing-masing kandidat dapat menganalisa kekuatan lawan. Sejauh mana
peta pergerakan lawan dalam meraup simpati masyarakat. Setidaknya, kandidat
yang memiliki popularitas tinggi dapat mendongkrak elektabilitasnya.
Diantara sederet nama yang kerap menghiasi hasil survei adalah Aburizal
Bakrie (selanjutnya Ical). Sebagai ketua umum partai Golkar serta calon
Presiden yang diusung partai ia kerap menjadi perbincangan para analis politik.
Sebagai pengusaha yang terbilang sukses serta didukung dengan kekuatan pengaruh
media yang ia miliki, ia sering kali tampil menghiasi layar televisi. Selain itu
progam road show ke desa-desa yang dilakukan menambah pundi-pundi
popularitasnya. Pada Juli 2013, Pusat Data Bersatu (PDB) bahkan merilis hasil
survei yang menunjukkan bahwa Ical adalah Top
Of Mind. Tidak berbeda jauh dengan apa yang di rilis Lembaga Konsultan
Riset Alvara, bahwa Ical masih nomor wahid
soal popularitasnya. Kemudian disusul calon lainnya: Wiranto, Jusuf Kalla,
Megawati dan lainnya.
Meski popularitas Ical yang tinggi, akan tetapi tidak demikian
dengan elektabilitasnya. Hal ini yang menjadi titik permasalahan yang terus
dikaji oleh pengurus DPP Golkar. Sejumlah pengamat melihat figur Ical masih
menuai kontroversi, seperti kasus lumpur Lapindo yang terlanjur melekat dan
menjadi identitasnya. Selain itu, statusnya yang non jawa. Oleh sebab ini,
menurut Tantowi Yahya, ia disarankan menggandeng cawapres dari suku jawa seperti
Pramono Edhi Wibowo atau Mahfudz MD
Sebetulnya, elektabilitas Ical mengalami peningkatan, meski tidak
secara signifikan. Lihat saja hasil survei Litbang Kompas, elektabilitas Ical
sebelumnya 5,9 persen menjadi 8,8 persen. Jika disandingkan dengan partai
pengusungnya –Golkar-, memang elektabilitas Ical jauh tertinggal. Karena beberapa
hasil survei menunjukkan lambatnya peningkatan elektabilitas Ical, maka
beberapa “dewa-dewa” Golkar pun angkat bicara. Terlebih menjelang Rapimnas
Partai, suasana internal Golkar sepertinya semakin memanas.
Diantara elit partai yang kerap melancarkan manuver kepada Ical
adalah Akbar Tanjung yang juga Ketua Dewan pertimbangan Partai Golkar. Ia
bahkan dituding sebagai “pengusik” internal Golkar, yang menginginkan
peninjauan kembali pencapresan Ical. Selain itu, salah satu ketua DPP, Yoris
Yawerai juga aktif mengkritik kepemimpinan Ical di Golkar. Bahkan ia mengatakan
jika kampanye Ical hanya untuk menguntungkan dirinya, bukan partai Golkar. Terkait
elektabilitas Ical yang lambat, Tantowi mengakui banyak kader yang “galau”.
Kenyataan bahwa elektabilitas Ical yang masih dibawah harapan
harus diterima bagi seluruh kader Golkar yang terlanjur mencapreskannya. Peningkatan
elektabilitas Ical adalah PR (pekerjaan rumah) bersama di Golkar. Hal tersebut secara
real menjadi beban partai. Setidaknya,
hasil survei yang dirilis dari berbagai lembaga survei menjadi warning bagi Ical bahwa ia harus kerja extra hard. Atau warning bagi “Masyarakat Kuning” bahwa pencapresan Ical perlu di
evaluasi dan tinjau kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar