Kamis, 12 September 2013

Elektabilitas Tak Sebanding Popularitas, Pencapresan Ical Perlu Ditinjau Kembali?



Oleh Ali Topan DS

Menjelang pemilihan Presiden 2014 mendatang, sejumlah lembaga survei merilis hasil survei sejauh mana tingkat keterpilihan kandidat calon Presiden. Beberapa nama yang diajukan tentunya sudah populer, mengingat deretan nama tersebut banyak menghiasi layar televisi; media cetak; papan reklame atau spanduk dan lain sebagainya. Beberapa waktu lalu (Rabu 11 September 2013) Lembaga Konsultan Riset Alvara pun merilis hasil survei yang dilakukannya pada pertengahan Juli-Agustus 2013 (lihat Kompas.com 11 September 2013).

Berbagai hasil survei yang dirilis tersebut setidaknya menjadi acuan laju pergerakan para kandidat. Maju atau tidaknya sebagai calon presiden bisa jadi didasari grafik hasil survei. Dari hasil survei popularitas dan elektabilitas tersebut, masing-masing kandidat dapat menganalisa kekuatan lawan. Sejauh mana peta pergerakan lawan dalam meraup simpati masyarakat. Setidaknya, kandidat yang memiliki popularitas tinggi dapat mendongkrak elektabilitasnya.

Diantara sederet nama yang kerap menghiasi hasil survei adalah Aburizal Bakrie (selanjutnya Ical). Sebagai ketua umum partai Golkar serta calon Presiden yang diusung partai ia kerap menjadi perbincangan para analis politik. Sebagai pengusaha yang terbilang sukses serta didukung dengan kekuatan pengaruh media yang ia miliki, ia sering kali tampil menghiasi layar televisi. Selain itu progam road show ke desa-desa yang dilakukan menambah pundi-pundi popularitasnya. Pada Juli 2013, Pusat Data Bersatu (PDB) bahkan merilis hasil survei yang menunjukkan bahwa Ical adalah Top Of Mind. Tidak berbeda jauh dengan apa yang di rilis Lembaga Konsultan Riset Alvara, bahwa Ical masih nomor wahid soal popularitasnya. Kemudian disusul calon lainnya: Wiranto, Jusuf Kalla, Megawati dan lainnya.

Meski popularitas Ical yang tinggi, akan tetapi tidak demikian dengan elektabilitasnya. Hal ini yang menjadi titik permasalahan yang terus dikaji oleh pengurus DPP Golkar. Sejumlah pengamat melihat figur Ical masih menuai kontroversi, seperti kasus lumpur Lapindo yang terlanjur melekat dan menjadi identitasnya. Selain itu, statusnya yang non jawa. Oleh sebab ini, menurut Tantowi Yahya, ia disarankan menggandeng cawapres dari suku jawa seperti Pramono Edhi Wibowo atau Mahfudz MD

Sebetulnya, elektabilitas Ical mengalami peningkatan, meski tidak secara signifikan. Lihat saja hasil survei Litbang Kompas, elektabilitas Ical sebelumnya 5,9 persen menjadi 8,8 persen. Jika disandingkan dengan partai pengusungnya –Golkar-, memang elektabilitas Ical jauh tertinggal. Karena beberapa hasil survei menunjukkan lambatnya peningkatan elektabilitas Ical, maka beberapa “dewa-dewa” Golkar pun angkat bicara. Terlebih menjelang Rapimnas Partai, suasana internal Golkar sepertinya semakin memanas.

Diantara elit partai yang kerap melancarkan manuver kepada Ical adalah Akbar Tanjung yang juga Ketua Dewan pertimbangan Partai Golkar. Ia bahkan dituding sebagai “pengusik” internal Golkar, yang menginginkan peninjauan kembali pencapresan Ical. Selain itu, salah satu ketua DPP, Yoris Yawerai juga aktif mengkritik kepemimpinan Ical di Golkar. Bahkan ia mengatakan jika kampanye Ical hanya untuk menguntungkan dirinya, bukan partai Golkar. Terkait elektabilitas Ical yang lambat, Tantowi mengakui banyak kader yang “galau”.

Kenyataan bahwa elektabilitas Ical yang masih dibawah harapan harus diterima bagi seluruh kader Golkar yang terlanjur mencapreskannya. Peningkatan elektabilitas Ical adalah PR (pekerjaan rumah) bersama di Golkar. Hal tersebut secara real menjadi beban partai. Setidaknya, hasil survei yang dirilis dari berbagai lembaga survei menjadi warning bagi Ical bahwa ia harus kerja extra hard. Atau warning bagi “Masyarakat Kuning” bahwa pencapresan Ical perlu di evaluasi dan tinjau kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar