Oleh Ali Topan DS
“Hukum di Indonesia tajam
kebawa, tumpul ke atas”, demikian adagium berkenaan potret buram dan
lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pencuri ayam bisa tewas dihakimi warga,
sementara koruptor miliyaran rupiah hanya dijatuhkan hukuman ringan. Hal ini
tidak lepas dari kualitas sang hakim.
“Lobi-lobi toilet” istilah yang sedang populer ditengah proses uji
kelayakan hakim yang dilakukan DPR. Pasalnya, seorang petugas hakim Sudrajat
Dimyati diduga terlibat upaya suap terhadap oknum anggota DPR dari F-PKB, Bahruddin
Nasori. Lobi-lobi yang mereka lakukan di toilet terdengar oleh seorang wartawan
berinisial MM. Suderajat kepergok sedang memberi amplop pada Bahruddin. Hal ini
sontak menjadi perhatian, karena hakim yang selama ini diharapkan sebagai
penegak hukum justru menyuap anggota dewan.
Seakan tidak mau “kebakaran Jenggot” sendiri, Komisi Yudisial (KY)
mengungkap adanya praktik suap dalam proses seleksi hakim agung pada tahun 2012
oleh anggota DPR. Ada oknum anggota dewan yang “pesan” agar meloloskan hakim
yang diinginkan. Kasus ini menambah catatan buram hukum di Indonesia. Pada saat
yang sama, citra anggota DPR pun juga semakin buram. Mengingat banyaknya kasus
korupsi yang melibatkan oknum anggota dewan.
Komisioner KY, Imam Ansori mengatakan bahwa ada oknum anggota
dewan yang menjanjikan akan memberi uang 1,4 miliar jika hakim yang “dipesan”
oleh anggota tersebut diloloskan. Akan tetapi, ia menolak. Penolakan ini tak
ayal membuat oknum anggota dewan marah. Pasca kejadian tersebut, DPR “menjegal”
KY dengan sempat menolak melanjutkan proses seleksi hakim agung.
Politisi partai Demokrat, Saan mendesak agar KY bersedia membuka
nama-nama anggota DPR yang minta agar calon hakim yang ia pesan diloloskan. Ketua
Badan Kehormatan DPR, Trimedya Panjaitan pun akan memanggil KY guna memintai
keterangan. Hal ini dimaksudkan agar KY membeberkan nama-nama anggota dewan
yang terlibat upaya praktik suap.
Melalui pembacaan fakta di atas, praktik suap mewarnai proses
seleksi hakim agung. Seleksi hakim yang dilakukan dengan melibatkan DPR juga sarat
dengan unsur politik. Pernyataan komisioner KY terkait adanya anggota dewan
yang hendak menyuap membuktikan bahwa DPR sebagai institusi negara masih sarat
dengan praktik suap menyuap dan korupsi.
Keterlibatan DPR dalam proses
seleksi hakim agung perlu ditinjau kembali. Jika tidak ada relevansi dengan
DPR, DPR tidak harus dilibatkan dalam proses seleksi hakim agung. Karena segala
keputusan yang diambil melalui DPR sarat dengan unsur politik, maka perlu ada
kebijakan baru dari Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim agung. Hal ini
dimaksud agar hakim-hakim yang lahir bukan “hakim transaksional”, melainkan
hakim yang memiliki kapabilitas sebagai penegak keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar