Senin, 23 September 2013

“Lobi-lobi Toilet” Hingga Potret Buram Hukum Indonesia



Oleh Ali Topan DS
 
Hukum di Indonesia tajam kebawa, tumpul ke atas”, demikian adagium berkenaan potret buram dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pencuri ayam bisa tewas dihakimi warga, sementara koruptor miliyaran rupiah hanya dijatuhkan hukuman ringan. Hal ini tidak lepas dari kualitas sang hakim. 

“Lobi-lobi toilet” istilah yang sedang populer ditengah proses uji kelayakan hakim yang dilakukan DPR. Pasalnya, seorang petugas hakim Sudrajat Dimyati diduga terlibat upaya suap terhadap oknum anggota DPR dari F-PKB, Bahruddin Nasori. Lobi-lobi yang mereka lakukan di toilet terdengar oleh seorang wartawan berinisial MM. Suderajat kepergok sedang memberi amplop pada Bahruddin. Hal ini sontak menjadi perhatian, karena hakim yang selama ini diharapkan sebagai penegak hukum justru menyuap anggota dewan.

Seakan tidak mau “kebakaran Jenggot” sendiri, Komisi Yudisial (KY) mengungkap adanya praktik suap dalam proses seleksi hakim agung pada tahun 2012 oleh anggota DPR. Ada oknum anggota dewan yang “pesan” agar meloloskan hakim yang diinginkan. Kasus ini menambah catatan buram hukum di Indonesia. Pada saat yang sama, citra anggota DPR pun juga semakin buram. Mengingat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan oknum anggota dewan.

Komisioner KY, Imam Ansori mengatakan bahwa ada oknum anggota dewan yang menjanjikan akan memberi uang 1,4 miliar jika hakim yang “dipesan” oleh anggota tersebut diloloskan. Akan tetapi, ia menolak. Penolakan ini tak ayal membuat oknum anggota dewan marah. Pasca kejadian tersebut, DPR “menjegal” KY dengan sempat menolak melanjutkan proses seleksi hakim agung.

Politisi partai Demokrat, Saan mendesak agar KY bersedia membuka nama-nama anggota DPR yang minta agar calon hakim yang ia pesan diloloskan. Ketua Badan Kehormatan DPR, Trimedya Panjaitan pun akan memanggil KY guna memintai keterangan. Hal ini dimaksudkan agar KY membeberkan nama-nama anggota dewan yang terlibat upaya praktik suap.

Melalui pembacaan fakta di atas, praktik suap mewarnai proses seleksi hakim agung. Seleksi hakim yang dilakukan dengan melibatkan DPR juga sarat dengan unsur politik. Pernyataan komisioner KY terkait adanya anggota dewan yang hendak menyuap membuktikan bahwa DPR sebagai institusi negara masih sarat dengan praktik suap menyuap dan korupsi.

Keterlibatan DPR dalam proses seleksi hakim agung perlu ditinjau kembali. Jika tidak ada relevansi dengan DPR, DPR tidak harus dilibatkan dalam proses seleksi hakim agung. Karena segala keputusan yang diambil melalui DPR sarat dengan unsur politik, maka perlu ada kebijakan baru dari Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim agung. Hal ini dimaksud agar hakim-hakim yang lahir bukan “hakim transaksional”, melainkan hakim yang memiliki kapabilitas sebagai penegak keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar