Oleh:
Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia,
Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Dinamika
pencalonan presiden-wakil presiden tidak hanya diperankan oleh elit partai
politik. Kelompok civil juga memainkan peranannya mendukung calon presiden
untuk Pemilu 2019. Partisipasi peran civil semakin meneguhkan demokrasi kita
pascareformasi 1998.
Menjelang
pendaftaran capres-cawapres, semua parpol disibukkan dengan lobi membangun
koalisi: “siapa akan berpasangan dengan siapa?”. Kandidat capres di Pemilu 2019
masih wajah lama (seperti Pemilu 2014) yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Keduanya dibuat “bingung” memilih pasangan sebagai cawapres. Kegalauan kedua
pasangan ini adalah antara memilih pasangan cawapres dari parpol atau tokoh di
luar parpol. Di tengah kegalauan kedua bakal calon itu, civil society menawarkan capres-cawapres alternatif. Peran civil
ini antaranya muncul dari kelompok Islam.
Menjelang
pendaftaran capres 2019 penulis mencermati beberapa peran civil Islam dalam
menawarkan dan mengusulkan kandidat yang layak diusung parpol. Peran civil ini
seperti yang dilakukan oleh Presidium Alumni 212, yaitu sebuah gerakan yang
muncul pada tahun 2017 menuntut penegakan hukum terhadap Basuki T. Purnama
(Ahok) atas dugaan penodaan agama. Pada 29 Mei 2018, PA 212 menggelar Rapat
Koordinasi Nasional di Jakarta, dan salah satu hasil kesimpulannya adalah
mengajukan nama-nama capres-cawapres.
Nama
yang direkomendasikan sebagai capres oleh PA 212 adalah: Habib Rizieq Syihab
(Imam FPI), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), Tuan Guru Bajang (Kader Partai
Demokrat/Gubernur NTB), Yusril Ihza Mahendra (Ketum PBB), serta Zulkifli Hasan
(Ketum PAN). Sedangkan nama yang direkomendasikan sebagai cawapres adalah:
Ahmad Heryawan (PKS), Hidayat Nur Wahid (PKS), Yusri Ihza Mahendra (Ketum PBB),
Anies Matta (PKS), Zulkifli Hasan (Ketum PAN), Eggi Sudjana (Tokoh Islam),
Ustadz Bachtiar Nasir (Dai/Penceramah), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), dan
Anies Baswedan (Gubernur Jakarta).
Selain
PA 212, menjelang pendaftaran capres, muncul pula gerakan bernama Presidium
Pusat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama). Gerakan ini dimotori
berbagai ulama dari berbagai ormas Islam. Ulama yang tergabung dalam GNPF Ulama
merupakan ulama yang juga tergabung dalam GNPF MUI, yang turut menuntut
penegakan hukum kepada Ahok.
Pada
27 Juli 2018, GNPF Ulama menggelar rapat yang disebut “Ijtimak Ulama” di
Jakarta. Acara ijtimak ulama ini menurut pengurus GNPF diikuti sebanyak 600
orang ulama. Tak hanya para ulama, ijtimak ulama juga dihadiri tokoh-tokoh
politik, ketua umum parpol, seperti Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo
Subianto, Presiden PKS M. Sohibul Iman, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua
Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, dan Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala
Putra. Ijtimak ulama melahirkan rekomendasi pengusungan capres-cawapres kepada
Koalisi Keummatan (klaim nama bagi koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan PBB) yaitu
simulasi pasangan: Prabowo Subianto-Salim Segaf Al-Jufri dan Prabowo
Subianto-Abdul Somad Batubara (penceramah).
Hasil
rekomendasi ijtimak ulama itu direspons dengan berbagai tanggapan antara lain
seperti dikemukakan Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya meski ijtimak ulama
merekomendasikan dukungan pada Prabowo, tetapi hal itu tidak senantiasa membuat
partinya mendukung Prabowo. Sementara Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB
menyebut ijtimak ulama itu belum mewakili pandangan ulama dari kalangan NU.
Disamping
PA 212 dan GNPF Ulama, beberapa ormas lain juga mengajukan usulan
capres-cawapres. Ormas Islam terbesar Indonesia, PBNU misalnya mengusulkan agar
bakal capres Jokowi meminang kader NU. Di internal PBNU beredar empat nama
yaitu: Ketua Umum (Ketum) PBNU Said Aqil Siroj, Rais Aam PBNU Ma'ruf Amin,
Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketum PPP M Romahurmuziy.
Pada
akhirnya, rekomendasi dari civil Islam tidak selalu dijadikan pilihan. Prabowo
misalnya, tidak memilih satupun dari hasil keputusan PA 212 dan GNPF Ulama.
Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno, kadernya sendiri di Gerindra. Sedangkan
Jokowi memilih salah satu nama yang muncul dari internal NU, Makruf Amin.
Model Pencapresan
Firman
Noor dalam Opini di harian Kompas (6 September 2018) menulis dengan judul
“Kokohnya Elit Partai”. Dalam tulisannya, Firman membagi tiga model pencapresan
yang lazim dilakukan parpol. Pertama, pencapresan parpol diserahkan sepenuhnya
kepada ketua umum parpol. Kedua, pencapresan di dalam parpol ditentukan oleh
sebuah kelompok kecil dan terbatas (baik berupa majelis ataupun badan). Parpol
menyerahkan sepenuhnya pencapresan kepada kelompok kecil itu. Ketiga, parpol
menyerap aspirasi kader yang terpresentasi melalui pengurus tingkat daerah
hingga pusat dalam menentukan pencapresan. Terhadap model pencapresan ini,
Firman mengkritik pola pencapresan Pemilu 2019 yang menurutnya sangat
ditentukan oleh sedikit saja elit parpol.
Firman
juga menyayangkan model pencalonan baik presiden dan kepala daerah yang
dilakukan parpol-parpol, yang justru mementingkan kepentingan bersama rekan
koalisi daripada masukan dan saran kader. Terhadap kasus ini, penulis mencatat
sebagaimana yang terjadi pada koalisi PDIP dengan PPP di Pilgub Sumatera Utara
2018. Ketika itu, kader PPP Sumut tidak menerima hasil kebijakan DPP PPP yang
mendukung pasangan Djarot Saiful Hidayat (PDIP)-Sihar Sitorus (pengusaha).
Kader-kader PPP menyayangkan sikap DPP PPP yang berkoalisi dengan PDIP padahal
bukan kader PPP yang dijadikan calon. Puncak kekesalan kader PPP saat itu
adalah melakukan protes dan membakar foto ketua umumnya, Romahurmuzy.
Partisipasi
civil Islam dalam pengusulan pencapresan adalah bukti bahwa kekuatan Islam
selalu berperan dalam momen-momen politik Indonesia (Pemilu dan Pilkada). Meski
begitu, kekuatan tersebut tidak terkumpul dalam wadah yang mengakomodir seluruh
kekuatan politik Islam. Pasalnya, masing-masing kelompok menonjolkan kekuatan
mereka masing-masing. Ini bukan sesuatu yang mengherankan karena perbedaan
dalam Islam merupakan hal yang lumrah, termasuk dalam pandangan politik.