Jumat, 07 September 2018

Meredam Politik Identitas di Pilpres 2019


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia)

Teka-teki siapa yang akan mendampingi Joko Widodo sebagai calon wakil presiden terjawab sudah. Jokowi bersama partai koalisi memilih Makruf Amin sebagai cawapres. Pilihan ini sebetulnya tidak begitu mengagetkan meskipun calon yang kerap disebutkan akan menjadi cawapres Jokowi adalah Mahfud MD.

Pemilihan cawapres Jokowi memang penuh dilema bahkan seperti drama. Terlebih, jelang deklarasi, Mahfud MD sempat bakal ditunjuk akan mendampingi Jokowi. Tetapi, dalam hitungan menit, cawapres Jokowi berubah menjadi Makruf Amin.

Nama Makruf Amin sendiri memang termasuk dalam tokoh-tokoh yang diprediksi mendampingi Jokowi. Sebelumnya, Jokowi menyampaikan jika calon pendampingnya berinisial M. Inisial ini merujuk pada beberapa nama yaitu: Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), M. Romahurmuzy (Ketua Umum PPP), Mahfud MD (mantan Ketua MK), dan Makruf Amin (Rois ‘Am PBNU yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia).

Pemilihan Makruf Amin memang sudah diprediksi karena yang bersangkutan juga termasuk dalam rekomendasi yang diusulkan ormas Islam terbesar, PBNU. Makruf sendiri sebelumnya memang menyatakan kesiapannya jika yang bersangkutan “dipanggil” untuk menunaikan tugas menjadi cawapres meski dirinya sudah nyaman menjadi ulama, kyai dan tokoh umat Islam.

Jokowi dan partai koalisi mempertimbangkan secara matang sebelum memilih Makruf. Dalam keterangannya, Jokowi menyebut Makruf sebagai sosok yang tidak diragukan lagi karena memiliki segudang pengalaman, menjadi Anggota DPRD, DPR RI, Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila hingga Ketua Umum MUI. Melihat rekam jejak ini, Makruf terbilang cukup banyak pengalaman politik.

Pada 2017 lalu, menjelang Pilkada Jakarta, nama Makruf kian dikenal karena sempat bersaksi dalam sidang kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (calon Gubernur Jakarta). Saat itu, Ahok dianggap bersikap tidak sopan pada Makruf yang akhirnya semakin membuatnya tidak disukai banyak kalangan. Meski begitu, Makruf dengan kerendahan hati, memaafkan Ahok. Tapi ibarat “nasi menjadi bubur”, Ahok semakin tidak disukai, elektabilitasnya melorot dan akhirnya kalah dalam putaran kedua Pilgub.

Makruf tidak saja dikenal sebagai ulama (kyai), tapi juga seorang negarawan. Dalam kondisi menguatnya politik identitas, Makruf sering meredam panasnya isu-isu SARA (terutama agama) di Pilkada 2018. Kedudukannya sebagai tokoh Islam sangat dihormati dan petuahnya sangat diperhatikan banyak pihak. Ibarat mesin pendingin, itulah Makruf Amin.

Nasionalis-Religius

Pasangan Jokowi-Makruf Amin merupakan duet kolaborasi nasionalis-religius. Jokowi yang merupakan kader PDI-Perjuangan selalu mengidentikkan citra sebagai representasi nasionalis. Sementara Makruf yang merupakan kader NU, representasi Islam (religius). Duet nasionalis-religius sebetulnya bukan strategi baru dalam pilpres di Indonesia. Dalam setiap Pemilu langsung pascareformasi, pasangan seperti ini selalu muncul. Pada Pemilu 2004 misalnya, Megawati (PDI-Perjuangan) berpasangan dengan Hasyim Muzadi (NU). Pasangan ini mencitrakan dirinya sebagai representasi nasionalis-religius.

Kolaborasi tersebut merupakan strategi untuk mengantisipasi isu-isu miring kampanye terutama menyangkut agama. Meski dalam beberapa survei menyebut bahwa pertimbangan utama pemilih dalam memilih adalah berbasis kinerja, tetapi faktor “kesamaan keyakinan (agama)” masih menjadi isu yang diperhitungkan. Dalam suasana politik identitas yang menguat jelang Pemilu 2019, pilihan berpasangan dengan Makruf menjadi sangat rasional bagi Jokowi.

Akan tetapi, patut menjadi pelajaran bahwa kolaborasi nasionalis-religius tidak menjamin paslon bersangkutan meraih kemenangan. Justru, pada Pemilu 2004, paslon kolaborasi tersebut “keok”. Megawati-Hazim Muzadi, Hamzah Haz-Agum Gumelar dan Wiranto-Sholahuddin Wahid, yang merupakan paslon nasionalis-religius, semuanya kalah dengan paslon Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (pasangan yang bukan merupakan duet nasionalis-religius).

Oleh sebab itu, meski kolaborasi nasionalis-religius kerap menjadi pilihan dalam penentuan koalisi, tetapi bukan jaminan mulus meraih suara, menang Pemilu. Hal ini merupakan bukti bahwa meski politik identitas dihembuskan sebagai bagian strategi kampanye, namun hasilnya tidak sepenuhnya berhasil.

Market Lama: Atas Nama Umat

Dalam beberapa kasus, baik Pemilu dan Pilkada, paslon duet nasionalis-religius mencoba merebut suara umat Islam melalui peran ormas-ormas Islam. Mereka tidak segan-segan melegitimasi strategi dengan doktrin agama dalam kampanye. Ini semua dilakukan dalam rangka merebut suara dan meraih kemenangan.

Terdapat hal yang lebih penting dari sekedar memasarkan isu-isu duet nasionalis-religius ini, yaitu mengkonversi suara umat Islam menjadi produk kebijakan yang menguntungkan umat dan bangsa secara keseluruhan. Hal ini telah lama didengungkan Kuntowijoyo, agar umat mengambil peran dalam kontestasi Pemilu dan berkontribusi pada perbaikan bangsa.

Model kolaborasi nasionalis-religius jangan hanya menjadi alat kampanye, memasarkan citra lalu mengabaikan kepentingan bangsa yang lebih besar. Jika politik kita masih mementingkan pakaian kolaborasi, tanpa disertai penyelesaian persoalan bangsa yang mendasar, maka politik identitas tidak akan pernah usai. Demokrasi politik kita masih akan disibukkan pada dua pengelompokan atau dikotomis seperti: nasionalis-religus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar