Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter
Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia)
Teka-teki siapa yang akan mendampingi Joko Widodo
sebagai calon wakil presiden terjawab sudah. Jokowi bersama partai koalisi
memilih Makruf Amin sebagai cawapres. Pilihan ini sebetulnya tidak begitu
mengagetkan meskipun calon yang kerap disebutkan akan menjadi cawapres Jokowi
adalah Mahfud MD.
Pemilihan cawapres Jokowi memang penuh dilema bahkan
seperti drama. Terlebih, jelang deklarasi, Mahfud MD sempat bakal ditunjuk akan
mendampingi Jokowi. Tetapi, dalam hitungan menit, cawapres Jokowi berubah
menjadi Makruf Amin.
Nama Makruf Amin sendiri memang termasuk dalam
tokoh-tokoh yang diprediksi mendampingi Jokowi. Sebelumnya, Jokowi menyampaikan
jika calon pendampingnya berinisial M. Inisial ini merujuk pada beberapa nama
yaitu: Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), M. Romahurmuzy (Ketua Umum PPP),
Mahfud MD (mantan Ketua MK), dan Makruf Amin (Rois ‘Am PBNU yang juga Ketua
Majelis Ulama Indonesia).
Pemilihan Makruf Amin memang sudah diprediksi
karena yang bersangkutan juga termasuk dalam rekomendasi yang diusulkan ormas
Islam terbesar, PBNU. Makruf sendiri sebelumnya memang menyatakan kesiapannya
jika yang bersangkutan “dipanggil” untuk menunaikan tugas menjadi cawapres
meski dirinya sudah nyaman menjadi ulama, kyai dan tokoh umat Islam.
Jokowi dan partai koalisi mempertimbangkan secara
matang sebelum memilih Makruf. Dalam keterangannya, Jokowi menyebut Makruf
sebagai sosok yang tidak diragukan lagi karena memiliki segudang pengalaman,
menjadi Anggota DPRD, DPR RI, Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
hingga Ketua Umum MUI. Melihat rekam jejak ini, Makruf terbilang cukup banyak
pengalaman politik.
Pada 2017 lalu, menjelang Pilkada Jakarta, nama
Makruf kian dikenal karena sempat bersaksi dalam sidang kasus penodaan agama
yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (calon Gubernur Jakarta). Saat
itu, Ahok dianggap bersikap tidak sopan pada Makruf yang akhirnya semakin
membuatnya tidak disukai banyak kalangan. Meski begitu, Makruf dengan
kerendahan hati, memaafkan Ahok. Tapi ibarat “nasi menjadi bubur”, Ahok semakin
tidak disukai, elektabilitasnya melorot dan akhirnya kalah dalam putaran kedua
Pilgub.
Makruf tidak saja dikenal sebagai ulama (kyai),
tapi juga seorang negarawan. Dalam kondisi menguatnya politik identitas, Makruf
sering meredam panasnya isu-isu SARA (terutama agama) di Pilkada 2018.
Kedudukannya sebagai tokoh Islam sangat dihormati dan petuahnya sangat
diperhatikan banyak pihak. Ibarat mesin pendingin, itulah Makruf Amin.
Nasionalis-Religius
Pasangan Jokowi-Makruf Amin merupakan duet
kolaborasi nasionalis-religius. Jokowi yang merupakan kader PDI-Perjuangan
selalu mengidentikkan citra sebagai representasi nasionalis. Sementara Makruf
yang merupakan kader NU, representasi Islam (religius). Duet
nasionalis-religius sebetulnya bukan strategi baru dalam pilpres di Indonesia.
Dalam setiap Pemilu langsung pascareformasi, pasangan seperti ini selalu
muncul. Pada Pemilu 2004 misalnya, Megawati (PDI-Perjuangan) berpasangan dengan
Hasyim Muzadi (NU). Pasangan ini mencitrakan dirinya sebagai representasi
nasionalis-religius.
Kolaborasi tersebut merupakan strategi untuk
mengantisipasi isu-isu miring kampanye terutama menyangkut agama. Meski dalam
beberapa survei menyebut bahwa pertimbangan utama pemilih dalam memilih adalah
berbasis kinerja, tetapi faktor “kesamaan keyakinan (agama)” masih menjadi isu
yang diperhitungkan. Dalam suasana politik identitas yang menguat jelang Pemilu
2019, pilihan berpasangan dengan Makruf menjadi sangat rasional bagi Jokowi.
Akan tetapi, patut menjadi pelajaran bahwa
kolaborasi nasionalis-religius tidak menjamin paslon bersangkutan meraih
kemenangan. Justru, pada Pemilu 2004, paslon kolaborasi tersebut “keok”.
Megawati-Hazim Muzadi, Hamzah Haz-Agum Gumelar dan Wiranto-Sholahuddin Wahid,
yang merupakan paslon nasionalis-religius, semuanya kalah dengan paslon Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (pasangan yang bukan merupakan duet
nasionalis-religius).
Oleh sebab itu, meski kolaborasi
nasionalis-religius kerap menjadi pilihan dalam penentuan koalisi, tetapi bukan
jaminan mulus meraih suara, menang Pemilu. Hal ini merupakan bukti bahwa meski
politik identitas dihembuskan sebagai bagian strategi kampanye, namun hasilnya
tidak sepenuhnya berhasil.
Market Lama:
Atas Nama Umat
Dalam beberapa kasus, baik Pemilu dan Pilkada,
paslon duet nasionalis-religius mencoba merebut suara umat Islam melalui peran ormas-ormas
Islam. Mereka tidak segan-segan melegitimasi strategi dengan doktrin agama
dalam kampanye. Ini semua dilakukan dalam rangka merebut suara dan meraih
kemenangan.
Terdapat hal yang lebih penting dari sekedar
memasarkan isu-isu duet nasionalis-religius ini, yaitu mengkonversi suara umat
Islam menjadi produk kebijakan yang menguntungkan umat dan bangsa secara
keseluruhan. Hal ini telah lama didengungkan Kuntowijoyo, agar umat mengambil
peran dalam kontestasi Pemilu dan berkontribusi pada perbaikan bangsa.
Model kolaborasi nasionalis-religius jangan hanya
menjadi alat kampanye, memasarkan citra lalu mengabaikan kepentingan bangsa
yang lebih besar. Jika politik kita masih mementingkan pakaian kolaborasi,
tanpa disertai penyelesaian persoalan bangsa yang mendasar, maka politik
identitas tidak akan pernah usai. Demokrasi politik kita masih akan disibukkan
pada dua pengelompokan atau dikotomis seperti: nasionalis-religus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar