Minggu, 05 Agustus 2018

Koalisi Amin-Imin di Pilpres 2019, Mungkinkah?


Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institute Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Tokoh senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amin Rais, telah resmi dideklarasikan oleh Koalisi Umat Madani (KUM) setelah ia sendiri bersedia dicalonkan sebagai capres 2019. Deklarasi tersebut dilaksanakan pada 30 Juni 2018, sehingga masih memungkinkan Amin untuk mencari pasangan cawapres yang dinilai pantas mendampingi sebelum masa pendaftaran capres-cawapres pada 4 Agustus 2018. Dengan siapakah Amin akan berpasangan? Mungkinkan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang selama ini rajin berkampanye sebagai cawapres?

Munculnya Amin dalam bursa capres 2019 sebetulnya bukan hal yang mengagetkan. Pasalnya, ia kerap mengkritik kepemimpinan presiden Joko Widodo dan lantang menyuarakan "2019 ganti presiden". Sebagai tokoh senior PAN, Amin juga mempunyai modal sosial yaitu sebagai Penasehat Persaudaraan Alumni 212 (PA 212). Organisasi PA 212 merupakan gerakan beberapa ormas Islam yang menuntut penegakan hukum terhadap Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus penodaan agama Islam menjelang Pilkada 2017.

Sebagai sebuah organisasi, PA 212 cukup aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Di tahun politik menjelang pilpres 2019, PA 212 bahkan mengeluarkan nama-nama yang diusulkan sebagai capres, yaitu Habib Rizieq Syihab, Prabowo Subianto, Tuan Guru Bajang, Yusril Ihza Mahendra, Zulkifli Hasan. Nama Amin sebagai penasehat tidak direkomendasikan oleh PA 212.

Ketua KUM Syarwan Hamid menyebutkan bahwa pencapresan Amin sebagai capres 2019 terinspirasi dari kemenangan tokoh senior Mahatir Muhammad di Pemilu Malaysia. Menurut Syarwan, Mahatir menang Pemilu lantaran dukungan umat Islam. Oleh sebab itu, Syarwan ingin “menduplikat” apa yang terjadi di Malaysia untuk diterapkan di Indonesia dengan mencalonkan Amin.

Pencapresan Amin tentu berkonsekuensi pada dua hal penting: partai pengusung dan menentukan cawapres. Pertama, dalam hal partai pengusung, Amin sebagai tokoh senior PAN paling tidak memiliki modal dukungan partai. Setidaknya, gerbong PAN bisa menjatuhkan pilihan untuk mendukungnya. Di internal PAN sendiri, untuk menghadapi pilpres 2019 telah memunculkan empat nama kader dan tokohnya, yaitu Sutrisno Bachir, Hatta Rajasa, Zulkifli Hasan dan Amin sendiri. Dibanding ketiga tokoh PAN itu, nama Amin terbilang lebih popular. Ia adalah pendiri PAN. Oleh sebab itu, kans Amin mendapat dukungan cukup besar. Amin juga disebut sebagai “Bapak Reformasi” meski gelar itu sempat ingin ditinjau oleh para mantan aktivis 1998. Pesaing utama Amin bisa dibilang hanya Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN.

Kedua, dalam menentukan cawapres, Amin punya banyak alternatif pendamping. Salah satu nama yang bisa saja dipertimbangkan adalah nama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Menjelang pilpres 2019 Cak Imin terus berakselerasi merebut kursi cawapres. Ia berharap agar Presiden Jokowi yang akan mencalonkan diri kembali pada 2019 menggaetnya sebagai cawapres. Bahkan, relawan Cak Imin telah membentuk “JOIN”, istilah yang dimaksudkan sebagai Jokowi-Imin.

Seperti diketahui, Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu menyebut bahwa syarat pencapresan adalah dukungan 20 persen kursi DPR RI dan atau 25 persen perolehan suara nasional Pemilu 2014 lalu. Jika menghitung jumlah suara PAN dan PKB, total perolehan suara keduanya sebesar 16,63 persen dari total suara sah nasional 2014. Sementara itu, pada Pemilu 2014 lalu, PAN memperoleh sebanyak 49 kursi di DPR RI dan PKB sebanyak 47 kursi. Jika digabungkan maka jumlahnya mencapai sekitar 17 persen. Angka tersebut memang belum memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, tetapi ini menjadi modal bagi PAN dan PKB untuk menggalang koalisi (apapun namanya).

Koalisi Amin-Imin secara basis massa cukup memiliki modal kuat. Sejak reformasi 1998, parpol Islam memiliki kecenderungan mendapat dukungan massa pemilih dari ormas Islam tertentu. Sebagai contoh, masyarakat Nahdatul Ulama (NU) memiliki kecenderungan memilih PKB dan PPP. Sedangkan masyarakat Muhammadiyah memiliki afiliasi politik ke PAN. Oleh sebab itu, dukungan massa bukan sesuatu yang menyulitkan pasangan Amin-Imin.

Idiom Amin-Imin juga memiliki keunikan dalam pelafalan. Istilah ini juga sepertinya akan mudah diingat dalam benak pemilih. Istilah dan sebutan pasangan capres-cawapres tidak bisa diabaikan begitu saja karena istilah yang unik akan menarik perhatian. Selain itu, istilah yang unik secara market memiliki nilai jual sendiri, mudah dipasarkan, diingat orang (pemilih) sehingga diharapkan dipilih banyak pemilih.

Namun demikian, terbentuknya koalisi PAN dengan PKB bukan perkara mudah. Keduanya mempunyai sejarah dalam politik Indonesia pasca reformasi, yang hubungan keduanya lebih sering diliputi ketegangan dibanding keselarasan. Keduanya didukung oleh basis massa pemilih muslim tetapi pada saat yang sama, juga dipisahkan oleh doktrin politik Islam yang berbeda. Keduanya, PAN dan PKB, didukung pemilih dari ormas Islam Muhammadiyah dan NU tetapi dalam pemahaman keagamaan, Muhammadiyah dan NU kerap berseberangan. Narasi politik Indonesia telah mencatat Masyumi mengalami konflik internal akibat perbedaan pandangan unsur ormas Islam yang tergabung di dalamnya. Demikian halnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang selalu dirundung konflik internal akibat perbedaan dari unsur fusi PPP.

Pengalaman Masyumi dan PPP dalam menghadapi dan mengelola konflik bisa menjadi pelajaran bagi koalisi Amin-Imin jika memang keduanya betul-betul bisa bertemu, bertemu untuk kepentingan pilpres. Menurut penulis, bukan sesuatu yang aneh jika koalisi mereka disebut koalisi Umat Islam Indonesia karena kedua tokoh tersebut adalah representasi umat Islam yang sangat beragam di Indonesia.

Dalam sebuah koalisi, bukan sesuatu yang mustahil apabila Amin (sebagai representasi Muhammadiyah) dan Cak Imin (sebagai representasi NU) berkoalisi dalam pilpres. Seperti pengalaman pilpres beberapa tahun sebelumnya, setiap pasangan calon selalu mengidentikkan dirinya pasangan nasionalis-religius. Pada Pemilu 2004 misalnya, pasangan ini dapat dilihat pada duet Megawati (PDIP)-Hasyim Muzadi (NU), juga pasangan Hamzah Haz (PPP)-Agum Gumelar (TNI/Nasionalis). Mayoritas umat Islam tentu mendamba persatuan Muhammadiyah dan NU. Pemilu bisa menjadi momentum bersatunya kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu. Dalam politik, kita sering mendengar istilah “Politics is the art of the possible”. Oleh sebab itu, pertanyaan mungkinkan koalisi Amin-Imin bukan sesuatu yang aneh dalam konteks politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar