Ali Thaufan Dwi
Saputra (Direktur Program Institute Studi Strategi Indonesia, Peneliti
Parameter Politik Indonesia)
Tokoh senior Partai
Amanat Nasional (PAN) Amin Rais, telah resmi dideklarasikan oleh Koalisi Umat
Madani (KUM) setelah ia sendiri bersedia dicalonkan sebagai capres 2019.
Deklarasi tersebut dilaksanakan pada 30 Juni 2018, sehingga masih memungkinkan
Amin untuk mencari pasangan cawapres yang dinilai pantas mendampingi sebelum
masa pendaftaran capres-cawapres pada 4 Agustus 2018. Dengan siapakah Amin akan
berpasangan? Mungkinkan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang selama ini
rajin berkampanye sebagai cawapres?
Munculnya Amin dalam
bursa capres 2019 sebetulnya bukan hal yang mengagetkan. Pasalnya, ia kerap
mengkritik kepemimpinan presiden Joko Widodo dan lantang menyuarakan "2019
ganti presiden". Sebagai tokoh senior PAN, Amin juga mempunyai modal
sosial yaitu sebagai Penasehat Persaudaraan Alumni 212 (PA 212). Organisasi PA
212 merupakan gerakan beberapa ormas Islam yang menuntut penegakan hukum
terhadap Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus
penodaan agama Islam menjelang Pilkada 2017.
Sebagai sebuah
organisasi, PA 212 cukup aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Di tahun
politik menjelang pilpres 2019, PA 212 bahkan mengeluarkan nama-nama yang diusulkan
sebagai capres, yaitu Habib Rizieq Syihab, Prabowo Subianto, Tuan Guru Bajang,
Yusril Ihza Mahendra, Zulkifli Hasan. Nama Amin sebagai penasehat tidak
direkomendasikan oleh PA 212.
Ketua KUM Syarwan
Hamid menyebutkan bahwa pencapresan Amin sebagai capres 2019 terinspirasi dari kemenangan
tokoh senior Mahatir Muhammad di Pemilu Malaysia. Menurut Syarwan, Mahatir
menang Pemilu lantaran dukungan umat Islam. Oleh sebab itu, Syarwan ingin
“menduplikat” apa yang terjadi di Malaysia untuk diterapkan di Indonesia dengan
mencalonkan Amin.
Pencapresan Amin
tentu berkonsekuensi pada dua hal penting: partai pengusung dan menentukan cawapres.
Pertama, dalam hal partai pengusung,
Amin sebagai tokoh senior PAN paling tidak memiliki modal dukungan partai.
Setidaknya, gerbong PAN bisa menjatuhkan pilihan untuk mendukungnya. Di
internal PAN sendiri, untuk menghadapi pilpres 2019 telah memunculkan empat
nama kader dan tokohnya, yaitu Sutrisno Bachir, Hatta Rajasa, Zulkifli Hasan
dan Amin sendiri. Dibanding ketiga tokoh PAN itu, nama Amin terbilang lebih
popular. Ia adalah pendiri PAN. Oleh sebab itu, kans Amin mendapat dukungan cukup besar. Amin juga disebut sebagai
“Bapak Reformasi” meski gelar itu sempat ingin ditinjau oleh para mantan
aktivis 1998. Pesaing utama Amin bisa dibilang hanya Zulkifli Hasan, Ketua Umum
PAN.
Kedua, dalam
menentukan cawapres, Amin punya banyak alternatif pendamping. Salah satu nama
yang bisa saja dipertimbangkan adalah nama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Menjelang pilpres 2019 Cak Imin terus
berakselerasi merebut kursi cawapres. Ia berharap agar Presiden Jokowi yang
akan mencalonkan diri kembali pada 2019 menggaetnya sebagai cawapres. Bahkan,
relawan Cak Imin telah membentuk “JOIN”, istilah yang dimaksudkan sebagai
Jokowi-Imin.
Seperti diketahui,
Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu menyebut bahwa syarat pencapresan
adalah dukungan 20 persen kursi DPR RI dan atau 25 persen perolehan suara
nasional Pemilu 2014 lalu. Jika menghitung jumlah suara PAN dan PKB, total perolehan
suara keduanya sebesar 16,63 persen dari total suara sah nasional 2014.
Sementara itu, pada Pemilu 2014 lalu, PAN memperoleh sebanyak 49 kursi di DPR
RI dan PKB sebanyak 47 kursi. Jika digabungkan maka jumlahnya mencapai sekitar
17 persen. Angka tersebut memang belum memenuhi syarat dan ketentuan yang
berlaku, tetapi ini menjadi modal bagi PAN dan PKB untuk menggalang koalisi
(apapun namanya).
Koalisi Amin-Imin
secara basis massa cukup memiliki modal kuat. Sejak reformasi 1998, parpol
Islam memiliki kecenderungan mendapat dukungan massa pemilih dari ormas Islam
tertentu. Sebagai contoh, masyarakat Nahdatul Ulama (NU) memiliki kecenderungan
memilih PKB dan PPP. Sedangkan masyarakat Muhammadiyah memiliki afiliasi
politik ke PAN. Oleh sebab itu, dukungan massa bukan sesuatu yang menyulitkan
pasangan Amin-Imin.
Idiom Amin-Imin juga
memiliki keunikan dalam pelafalan. Istilah ini juga sepertinya akan mudah diingat
dalam benak pemilih. Istilah dan sebutan pasangan capres-cawapres tidak bisa
diabaikan begitu saja karena istilah yang unik akan menarik perhatian. Selain
itu, istilah yang unik secara market memiliki nilai jual sendiri, mudah dipasarkan,
diingat orang (pemilih) sehingga diharapkan dipilih banyak pemilih.
Namun demikian,
terbentuknya koalisi PAN dengan PKB bukan perkara mudah. Keduanya mempunyai
sejarah dalam politik Indonesia pasca reformasi, yang hubungan keduanya lebih
sering diliputi ketegangan dibanding keselarasan. Keduanya didukung oleh basis
massa pemilih muslim tetapi pada saat yang sama, juga dipisahkan oleh doktrin
politik Islam yang berbeda. Keduanya, PAN dan PKB, didukung pemilih dari ormas
Islam Muhammadiyah dan NU tetapi dalam pemahaman keagamaan, Muhammadiyah dan NU
kerap berseberangan. Narasi politik Indonesia telah mencatat Masyumi mengalami
konflik internal akibat perbedaan pandangan unsur ormas Islam yang tergabung di
dalamnya. Demikian halnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang selalu
dirundung konflik internal akibat perbedaan dari unsur fusi PPP.
Pengalaman Masyumi
dan PPP dalam menghadapi dan mengelola konflik bisa menjadi pelajaran bagi
koalisi Amin-Imin jika memang keduanya betul-betul bisa bertemu, bertemu untuk
kepentingan pilpres. Menurut penulis, bukan sesuatu yang aneh jika koalisi
mereka disebut koalisi Umat Islam Indonesia karena kedua tokoh tersebut adalah
representasi umat Islam yang sangat beragam di Indonesia.
Dalam sebuah
koalisi, bukan sesuatu yang mustahil apabila Amin (sebagai representasi Muhammadiyah)
dan Cak Imin (sebagai representasi NU) berkoalisi dalam pilpres. Seperti
pengalaman pilpres beberapa tahun sebelumnya, setiap pasangan calon selalu mengidentikkan
dirinya pasangan nasionalis-religius. Pada Pemilu 2004 misalnya, pasangan ini
dapat dilihat pada duet Megawati (PDIP)-Hasyim Muzadi (NU), juga pasangan
Hamzah Haz (PPP)-Agum Gumelar (TNI/Nasionalis). Mayoritas umat Islam tentu
mendamba persatuan Muhammadiyah dan NU. Pemilu bisa menjadi momentum bersatunya
kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu. Dalam politik, kita sering
mendengar istilah “Politics is the art of
the possible”. Oleh sebab itu, pertanyaan mungkinkan koalisi Amin-Imin
bukan sesuatu yang aneh dalam konteks politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar