Minggu, 05 Agustus 2018

Konflik Internal PKS dan Wacana Partai Arah Baru Indonesia


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Konflik internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) antara kelompok dan loyalis Sohibul Iman dengan Anis Matta semakin tajam. Beberapa loyalis Anis Matta mewacanakan untuk hijrah dari PKS dan membentuk partai baru bernama Partai Arah Baru Indonesia (Partai ABI). Bagaimana masa depan PKS dan rencana ABI sendiri?

Wacana pembentukan Partai ABI tentu cukup menganggu internal PKS, terlebih menjelang Pemilu Legislatif 2019, dan PKS sendiri sedang berupaya mencalonkan kadernya sebagai capres/cawapres berkoalisi dengan parpol lain. Tentu saja, PKS akan merasa digembosi oleh oknum kadernya sendiri.

Praktik keluarnya kader-kader parpol lalu kemudian mendirikan parpol baru bukan hal baru dan tabu dalam narasi politik Indonesia. Pascareformasi, bermunculan parpol baru. Kemunculan parpol baru tersebut ternyata diwarnai konflik internal antaranggota sehingga menyebabkan fregmentasi dan melahirkan parpol baru. Fenomena ini sering terjadi terutama pada dekade pertama pascareformasi. Hal ini mungkin bisa kita maklumi, bahwa sistem parpol dan upaya pelembagaan parpol di Indonesia sedang mencari format baru yang ideal.

Tidak dapat disangkal bahwa konflik yang kerap terjadi di internal parpol sering kali berujung pada keluarnya kader yang terlibat konflik. Keluarnya kader itu juga diikuti oleh kader lain. Terkadang, kelompok kader yang terlibat konflik keluar secara bersama-sama lalu mendirikan parpol baru. Pada dekade pertama pascareformasi, kasus ini pernah terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada tahun 2003, kader-kader yang berada pada kelompok Zainuddin MZ terlibat konflik dengan Hamzah Haz mendirikan parpol baru, Partai Bintang Reformasi (PBR). Kondisi tersebut sangat merugikan PPP karena dekatnya waktu Pemilu 2004. Padahal, PPP saat itu juga mencapreskan Ketua Umumnya, Hamzah Haz.

Tim Penulis Litbang Kompas (2016) dalam “Partai Politik Indonesia 1999-2019” mengulas konflik internal parpol yang kemudian melahirkan parpol baru juga terjadi di Partai Golkar. Selepas reformasi 1998, Partai Golkar telah mengalami beberapa konflik, dan pada umumnya konflik tersebut melahirkan parpol baru, sebut saja Gerindra, Hanura, Nasdem (semua adalah partai yang didirikan oleh kader Golkar yang terlibat konflik internal). Lahirnya parpol baru akibat konflik internal juga dialami PDI-Perjuangan. Menjelang Pemilu 2002, akibat konflik internal, muncul parpol “pecahan” PDI-Perjuangan yaitu: Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Indonesia Tanah Airku (PITA), dan Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR). Apa yang terjadi pada PPP, Golkar serta PDIP di atas dapat saja terjadi pada parpol manapun, termasuk PKS.

Konflik internal PKS yang terjadi telah menciptakan istilah. Misalnya, konflik menjelang Pemilu 2004 telah memunculkan istilah kubu keadillan (yang dikenal idealis dalam pandangan politik), dan kubu kesejahtera (yang dikenal pragmatis dalam sikap politik). Meski memunculkan istilah baru akibat konflik, kader-kader PKS selalu solid sehingga tidak terpecah melahirkan parpol baru.

Sejak Sohibul Iman menjadi Presiden PKS pada 2015, soliditas internal PKS kembali diuji. Pasalnya, sejak kepemimpinannya, konflik internal muncul dalam skala yang cukup besar. Para loyalis Presiden PKS sebelumnya, Anis Matta mulai diganti pada jabatan-jabatan tertentu, baik di tingkat pusat maupun pengurus daerah hingga fraksi PKS di DPR. Penggantian jabatan/posisi tersebut menuai perlawanan.

Para kader yang merasa diganti melakukan perlawanan, contohnya perlawanan yang dilakukan Fahri Hamzah karena posisinya sebagai Wakil Ketua DPR hendak digantikan oleh DPP PKS. Fahri bahkan melakukan pembelaan melalui upaya hukum, melalui pengadilan. Di berbagai daerah, pengurus yang tiba-tiba diberhentikan juga melakukan perlawanan terbuka melalui media.

Sebagai sosok yang banyak dihormati para kader PKS, Anis Matta cukup memiliki banyak loyalis. Ketika namanya dimunculkan sebagai satu diantara sembilan kader PKS untuk capres/cawapres Pemilu 2019, sosok Anis paling menonjol karena memiliki jaringan relawan “Anis untuk Presiden” diberbagai daerah. Dibandingkan capres/cawapres usulan PKS lainnya, Anis relatif cepat melakukan pergerakan sosialisasi. Akan tetapi, gerakan Anis tersebut sepertinya tidak diinginkan oleh DPP PKS. Bahkan ketika Relawan Anis hendak melakukan deklarasi di Bandung, DPW PKS Jabar justru meminta kader PKS tidak mengikuti deklarasi itu. Alasanya, PKS harus fokus memenangkan paslon yang diusung di Pilkada 2018, daripada melakukan “kampanye kadernya” untuk Pemilu 2019.

Kebijakan PKS Jabar semakin mempertajam konflik internal PKS. Dua kelompok yang sedang berkonflik memunculkan dua istilah baru. Pertama ,Osan berarti “orang sana”, yaitu kelompok Anis dan loyalisnya. Kedua, Osin berarti “orang sini”, yaitu orang-orang yang berada di kolompok (kubu) DPP PKS (kelompok Sohibul Iman). Konflik internal PKS ini berpotensi pada perpecahan dan pregmentasi partai baru. Hal ini misalnya dibuktikan adanya loyalis Anis sendiri yang mengemukakan wacana pembentukan parpol baru loyalis Anis, yaitu ABI.

Merujuk pendapat Wilhelm Hofmeister dan Karsten Grabow (2011:51), konflik internal parpol tidak mungkin dihindari. Namun Hofmeister-Grabow menekankan pentingnya musyawarah dalam penyelesaian konflik dan menyarankan pihak yang berkonflik tidak mudah “loncat” parpol. Menurutnya, kader yang mudah loncat parpol tidak baik dalam iklim demokratisasi parpol. Konflik internal PKS antara Osan dan Osin seharusnya bisa diselesaikan melalui musyawarah. Dalam Anggaran Dasar (AD) PKS juga telah diatur keberadaan Mahkamah Partai (istilah PKS adalah majelis tahkim) sehingga semua konflik dapat diselesaikan di internal. Konflik tidak membesar hingga membuat fregmentasi.

Rencana loyalis Anis Matta yang hendak mendirikan parpol baru, menurut penulis perlu ditinjau kembali. Betapapun, Anis adalah tokoh politik muda yang besar dan membesarkan PKS. Di tangan Anis, PKS terselamatkan dari keterpurukan meraih suara Pemilu 2014 karena setahun sebelumnya Presiden PKS menjadi tersangka kasus korupsi. Mendirikan parpol baru bukan hanya akan membuat citra Anis terkesan bernafsu pada kekuasaan.

Pendirian parpol baru juga belum menjadi keikutsertaan pada Pemilu ke depan, tahun 2024. Pasalnya, syarat parpol menjadi peserta Pemilu kian lami kian berat. Itulah sebabnya banyak parpol bermunculan, tetapi banyak pula yang gugur dalam verifikasi sebagai parpol peserta Pemilu. sebagai contoh menjelang Pemilu 2019, Partai Idaman, partainya Raja Dangdut Rhoma Irama dinyatakan tidak lolos sebagai peserta Pemilu.

Tantangan lain dari pendirian parpol adalah image parpol sendiri di mata publik. Harus diakui, sebagai lembaga politik, parpol kerap mendapat sorotan publik karena banyak kader yang menjadi tersangka, baik sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif. Tantangan lain adalah berkenaan substansi dan spirit perjuangan parpol itu sendiri. Menurut Kuntowijoyo dalam “Identitas Politik Umat Islam” (2018:142), terdapat perubahan sifat parpol yang sangat menonjol, dari ideologis ke pragmatis. Parpol hanya mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya tetapi hanya sedikit saja terdapat korelasi positif antara hasil suara dengan perubahan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Oleh sebab itu, baik Anis dan loyalisnya sedapat mungkin menahan diri untuk keluar dari PKS dan mendirikan parpol baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar