Oleh: Ali Thaufan
Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Sejak 2018 lalu,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami konflik internal. Bahkan konflik
mencapai titik nadir saat partai berlambang Ka’bah ini terpecah dua kubu,
mengalami dualisme kepengurusan, kubu Romahurmuzy (Romy) dan Djan Faridz. Kedua
kubu mengklaim sebagai PPP yang sah. Bahkan sampai melegitimasi keabsahannya
berdasarkan “sabda” ulama-ulama sepuh (tua yang dihormati).
Jika dicermati, konflik
antarkubu PPP bermula dari perbedaan dukungan pencapresan pada 2014 lalu. Faksi
Romy mendukung Joko Widodo, dan faksi Suryadharma Ali (Ketum PPP saat itu)
bersama Djan Faridz mendukung Prabowo Subianto. Sejak saat itu, konflik
internal PPP semakin keras hingga melahirkan kepengurusan PPP versi Surabaya
dan versi Jakarta. Langkah islah diupayakan dengan “Muktamar Islah” di Asrama
Haji Pondok Gede. Tapi Muktamar ini tidak dihadiri kelompok Djan.
Kekacauan konflik
internal ini berdampak fungsi kedewanan anggota fraksi PPP baik di DPR RI
maupun di DPRD. Selain itu konflik juga pasti mengganggu konsolidasi PPP.
Pasalnya, sejak berkonflik, PPP menghadapi tiga kali Pilkada serentak, 2015,
2017 dan 2018.
Konflik internal
sebetulnya mulai surut pasca putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan kubu
Romy. Sejak saat itu, kubu Djan mulai meredup. Beberapa loyalis Djan mulai
mundur, seperti Sekretaris Jenderalnya Dimyati Natakusumah. Sementara itu,
individu-individu yang tidak terakomodir di dua kubu, mencoba membuat gerbong
baru: “PPP Khittah”.
Setelah terlibat
dalam konflik panjang, akhirnya Djan memutuskan mengundurkan diri dari jabatan
Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta, tepatnya pada 30 Juli 2018. Alasannyan
ia gagal memenuhi amanat menyatukan dan menyelesaikan konflik dualisme.
Mundurnya Djan seolah menjadi isyarat persatuan kembali kader PPP menjelang
Pemilu 2019. Meski ditinggal Djan, PPP versi Jakarta itu menunjuk Plt Ketua
Umum, Hamprey Djemat. Plt ini yang akan mengantarkan pada Muktamar Luar Biasa untuk
memilih ketua umum kembali.
PPP Jakarta
sepertinya kehilangan momentum politik nasional. Pasalnya, pada verifikasi
parpol peserta Pemilu 2019, PPP yang diverifikasi adalah di bawah Ketua Umum
Romy. Kepengurusan Romy yang pada saat berkonflik berkantor di kawasan Tebet
kini kembali ke kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro Menteng. Saat terjadi
konflik internal. Kantor PPP sempat vakum dan pernah terjadi kerusuhan.
Keputusan untuk
tetap berkubu “PPP Jakarta” adalah sebuah kerugian bagi mereka. Pasalnya, setelah
kehilangan politik, mereka tetap "ngotot" menunjukkan eksistensi
tanpa pengakuan dari pihak lain, pemerintah (terutama penyelenggara Pemilu). Di
sisi lain, PPP Jakarta yang ingin menunjukkan eksistensi juga bisa menjadi batu
sandungan bagi PPP di bawah kepengurusan Romy. Suka atau tidak, PPP Jakarta
bisa menggembosi perolehan suara PPP sendiri dalam Pemilu. Inilah yang harus
diwaspadai PPP.
Masih adanya
perkubuan “dualisme” di PPP jelang Pemilu tentu menambah beban PPP. Pasalnya,
Pemilu 2019 memberlakukan ketentuan ambang batas parlemen yang cukup besar,
empat persen (4%) dari total suara pemilih. Besarnya PT ini tentu memaksa
parpol lebih keras dalam meraih suara. Terlebih lagi, dalam beberapa hasil
survei elektabilitas parpol, PPP terancam tidak lolos ambang batas parlemen.
Jika tidak lolos, ini adalah “kuburan PPP” dan menjadi sejarah karena PPP
sendiri merupakan parpol Islam tertua yang berdiri sejak 1973.
Menurut Lili Romli
(2016), salah satu penyebab kader parpol keluar dan berpindah adalah akibat
adanya konflik. Hal ini yang juga terjadi di PPP. Ujian PPP jelang Pemilu juga
adanya "migrasi" beberapa elit PPP yang memutuskan keluar parpol dan
bergabung dengan parpol lain. Beberapa politisi PPP yang tidak tergabung kubu
Romy dan Djan, seperti Ahmad Yani, berpindah ke Partai Bulan Bintang (PBB).
Yani sendiri mengakui jika alasan keluarnya karena konflik PPP yang begitu
lama.
Politisi PPP lain,
yang dinilai tidak punya masalah dalam struktur kepengurusan, seperti Okky
Asokawati (juga anggota Fraksi PPP DPR) juga memutuskan berpindah parpol.
Keadaan ini tentu sangat merugikan PPP karena di tengah parpol berupaya berebut
suara, justru kader PPP yang sudah memiliki basis massa berpindah ke lain
parpol.
Hofmeister dan
Grabow (2011:51) menyadari betul bahwa konflik internal parpol amat sulit
dihindari. Akan tetapi, konflik bukan tanpa penyelesaian. Kerasnya konflik
tetap dapat diselesaikan melalui musyawarah antarpihak yang terlibat konflik.
Dengan demikian, akan didapatkan titik temu penyelesaian.
Mundurnya Djan
sebetulnya menjadi momentum Romy untuk mengajak kader PPP Jakarta untuk “kembali
pulang ke rumah” dan menyudahi konflik mereka. Hanya saja, kubu Romy tentu
dihadapkan pada dilematis karena tidak mampu mengakomodir mereka dalam
pencalegan karena terbatas waktu. Tentu saja, dengan semangat musyawarah akan
tercapai titik temu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar