Minggu, 05 Agustus 2018

Fenomena Pindah Partai dan Lepasnya Sekat Ideologi Politik


Oleh: Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia)

Sesaat setelah pendaftaran calon anggota legislatif, publik dapat dengan mudah mengetahui kader-kader yang dicalonkan partai politik. Dua puluh (20) parpol telah mencalonkan kader-kader yang menurut mereka terbaik. Ada hal yang sedikit mengagetkan, perpindahan kader dari parpol satu ke parpol lain. Fenomena ini hampir terjadi disemua parpol. Ada kader datang, ada pula kader pergi.

Di era “kebrutalan” politik kita, sekat-sekat ideologi partai politik mulai terkikis dengan sendirinya. Nuansa pertarungan ideologi politik Indonesia kini tidak sekeras fase awal kemerdekaan. Saat ini, ideologi Islam mengalami pertentangan keras dengan komunis dan ideologi-ideologi lainnya. Fase ini seolah berakhir setelah Presiden Suharto mengambil kebijakan fusi parpol. Ideologi Islam disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ideologi Marhein menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI) dan ideologi nasionalis-kekaryaan dihimpun dalam wadah Golongan Karya (Golkar). Golkar juga menyediakan kanal-kanal bagi cendekiawan muslim (tokoh-tokoh agama Islam) dengan membentuk lembaga sayap partai berbasis Islam untuk menguatkan posisi Golkar pada pemilih muslim.

Puncak meleburnya sekat ideologi politik adalah ketika Pemerintah Suharto menerapkan kebijakan asas tunggal Pancasila. Semua organisasi sosial politik harus tunduk dan mengadopsi ideologi Pancasila. Meski sekat ideologi politik telah disatukan oleh Presiden Suharto melalui ideologi Pancasila, namun pertentangan itu belum berakhir. Setelah Presiden Suharto berhenti dari jabatan, ideologi partai politik bersemi kembali. Pada 1999, muncul banyak sekali parpol dengan beragam ideologi.

Ideologi parpol adalah bagian terpenting parpol karena menjadi pelita dalam pengkaderan dan mengambil kebijakan. Tanpa ideologi, perjalanan parpol akan mengalami kebutaan, berjalan tanpa arah. Ibarat sebuah makanan, ideologi adalah garam atau bumbu, demikian menurut Firmanzah (2008:83).

Pada dekade kedua pascareformasi, ideologi politik masih belum terinstitusionalisasi dengan baik di internal parpol. Hal ini setidaknya terlihat dari sikap dan pandangan politik parpol dalam mengambil sebuah keputusan (sebagai legislatif maupun eksekutif). Fenomena maraknya kader lompat parpol juga menunjukkan bahwa ideologi politik nilai-nilai luhur parpol belum menjadi dasar pijakan kader untuk mengabdi melalui parpol. Kader sering memanfaatkan parpol sebagai alat, dan begitu sebaliknya: parpol hanya memanfaatkan kader-kadernya untuk meraup suara. Ini terlihat jelas ketika misalnya parpol berlomba-lomba merekrut kader dari kalangan artis sebagai strategi mendongkrak elektabilitas di Pemilu.

Ridho Imawan (Kompas, 2018:6) melihat bahwa orientasi ideologis parpol bukan menjadi dasar perekrutan kader. Semua orang bisa masuk dalam sebuah parpol asalnya telah memenuhi persyaratan yang diundangkan. Adanya beberapa kesamaan dan kemiripan visi-misi parpol membuat kader-kader seolah ringan langkah untuk berpindah dari satu parpol ke lain parpol. Kondisi seperti ini sebetulnya tidak membutuhkan multipartai. Itulah sebabnya muncul diskursus untuk memperkecil jumlah parpol di Indonesia, meski hal ini sebetulnya bertentangan dengan prinsip kebebasan politik demokrasi.

Menjelang Pemilu 2019, fenomeda kader lompat parpol terjadi kembali, terulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Okky Asokawati misalnya, dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berasas Islam pindah ke Nasional Demokrat (Nasdem) yang berasas Pancasila. Lucky Hakim, seorang artis dan politisi Partai Amanat Nasional (PAN), partai berbasis pemilih muslim, pindah ke Nasdem. Bahkan berhembus isu bahwa kepindahan Lucky akibat konflik dirinya dengan elit PAN dan adanya aliran dana ke dirinya agar mau pindah. Tokoh yang cukup menyita perhatian adalah Yusuf Supendi. Ia adalah pendiri Partai Keadilan (yang kemudian berubah Partai Keadilan Sejahtera) yang dipecat dari PKS. Pada Pemilu 2014, Yusuf bergabung ke Partai Hati Nurani Rakyat, dan jelang Pemilu 2019, berpindah kembali ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pilihan pindah parpol bukan tanpa alasan. Ketidakcocokan dengan elit berkuasa di parpol bisa menjadi alasan utama. Faktor lain juga akibat ajakan dari rekan sesama politisi yang berbeda parpol. Tentu saja ini cara yang instans bagi parpol dalam upaya meraup sebanyak-banyaknya suara dan memenuhi parliementary threshold (ambang batas parlemen). Terlebih, ambang batas parlemen untuk Pemilu 2019 ditetapkan cukup tinggi, sebesar 4 persen. Jika suara parpol tidak sampai pada batas minimal 4 persen dari total suara sah nasional, maka parpol yang bersangkutan akan gagal masuk DPR RI.

Fenomena kader lompat parpol jelang Pemilu 2019 telah meruntuhkan sekat-sekat ideologi. Terlebih, migrasi dilakukan oleh kader parpol Islam ke parpol nasionalis, begitu juga sebaliknya. Rekrutmen caleg dari kader-kader lintas parpol memiliki kecenderungan untuk peningkatan elektabilitas semata. Penataan regulasi tentang keanggotaan parpol perlu pembenahan. Jika fenomena ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi parpol: parpol akan mengarah pada oligaki ketimbang meritokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar