Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter
Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi partai
politik pendukung koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Keduanya adalah ketua
dewan dan wakil ketua dewan pembina Partai Gerindra. Tuluskah PKS mendukung
keduanya? Pasalnya, Pemilihan Umum 2019 dilaksanakan serentak antara pemilihan
anggota legislatif dan presiden. Selain itu, PKS sebelumnya telah mengajukan
sembilan nama kadernya pada Prabowo (mengerucut menjadi satu nama: Salim Segaf
Al-Jufri, Ketua Majelis Syura PKS). Dengan mendukung Prabowo tanpa pamrih
(kursi cawapres), akankah PKS mendapat cottail
efect dari dukungan terhadap Prabowo?
Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak
2018, PKS di beberapa daerah menjalin koalisi dengan Gerindra. Harapan mereka,
koalisi ini bisa diteruskan hingga pilpres 2019, yaitu Prabowo menjadikan kader
PKS menjadi pendampingnya. Akan tetapi, detik-detik jelang penutupan
pendaftaran capres-cawapres berkata lain, Prabowo meminang kadernya sendiri:
Sandiaga. Dalam benak hati kader PKS tentu terbesit rasa kecewa, meski tidak
ditunjukkan ke muka publik.
Kekecawaan itu dapat terbaca mudah. Jika ditarik
sedikit ke belakang, dalam banyak kesempatan elit PKS bermanuver mengingatkan
Prabowo agar mengambil satu dari sembilan kader usulan PKS. Bahkan, beberapa
elit PKS sempat “mengancam”, akan meninggalkan Prabowo jika tidak menjadikan
kader PKS sebagai cawapres.
Keikhlasan PKS berkoalisi dengan Prabowo diwarnai
isu politik transaksional. Hal ini seperti dikemukakan politisi Partai
Demokrat, Andi Arief yang menyebut PKS dan PAN menerima imbalan sebesar Rp. 500
miliar dari Sandiaga agar tetap mendukung Prabowo-Sandi meski kader kedua
parpol itu tidak mendampingi Prabowo sebagai cawapres. Andi kemudian
mengistilahkan Prabowo sebagai “Jenderal Kardus”, kardus dianggap sebagai
tempat menaruh uang berjumlah miliaran.
Isu ini memang mengagetkan dan seperti tidak
rasional. Bagaimana mungkin, parpol yang selama ini mencitrakan diri sebagai
pembela umat dan ulama bisa menerima fulus
itu. Prabowo, PKS, dan PAN sendiri membantah isu miring itu. PKS misalnya,
membantah tuduhan dan siap membawa ke ranah hukum. Bantahan mereka berbuah
konflik antarpartai menjelang pilpres. Beberapa politisi Gerindra kemudian
menyindir Susilo Bambang Yudhoyono (Ketua Umum Partai Demokrat) dengan sebutan
“Jenderal Baper”. Sebetulnya ini situasi yang tidak menguntungkan keduanya,
karena keduanya sedang dalam upaya membangun koalisi.
Isu Politik
Uang Terulang
Sistem politik Indonesia mulai menata agar praktik
politik uang bisa diminimalisir hingga dihilangkan. Berbagai pengaturan
regulasi memperketat dan menindak tegas praktik politik uang. Dalam
Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, praktik “mahar politik” dilarang
keras. Pada pasal 228 disebutkan “Partai
politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan
presiden dan wakil presiden”. Jika parpol terbukti melalui putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap, maka parpol bersangkutan dilarang mengajukan presiden
pada Pemilu yang akan datang. Sedemikian ketat aturan dibuat agar praktik haram
politik uang ini bisa dihindari.
Isu praktik politik uang yang diberikan kepada PKS
bukan kali ini saja terjadi. Menjelang pilpres 2004, isu serupa juga berhembus
menimpa PKS. Yusuf Supendi dalam Replik
Pengadilan: Yusuf Supendi Menggugat Elit PKS, menyebut adanya indikasi uang
yang mengalir ke PKS. Pada Pilpres 2004, PKS telah menentukan sikap mendukung
paslon Amin Rais-Siswono Yudho Husodo. Akan tetapi, Ketua Majelis Syura, Hilmi
Aminuddin membuat keputusan lain, mendukung Wiranto-Sholahudin Wahid. Keputusan
Majelis Syura itu diwarnai dengan adanya aliran dana sebesar Rp. 21 miliar ke
PKS. Tidak hanya dari Wiranto, menurut Yusuf, aliran dana juga mengalir dari
Ketua Umum PAN, Sutrisno Bachir.
Munculnya isu mahar Rp. 500 miliar kepada PKS dan
PAN ini menguatkan praktik politik uang bisa terjadi kapan dan kepada siapa
saja. Makna politik semakin tereduksi hingga menjadi sesuatu yang negatif
(kotor). Urusan politik semakin disimplifikasi dengan kekuatan uang. Parpol
yang memiliki ideologi seolah bisa dibeli dengan kekuatan finansial. Kondisi
seperti ini semakin menguatkan tesis Kuntowijoyo (2018:142) yang menyebut bahwa
parpol sejak orde baru telah bergerak dari ideologis menjadi pragmatis. Kondisi
semacam ini menurut Nurcholish Madjid kian menjauhkan parpol Islam dari
cita-citanya.
Munculnya isu praktik mahar politik dalam
pencalonan Prabowo-Sandiaga bisa merugikan citra Gerindra, PKS dan PAN.
Pasalnya, selama ini praktik politik uang dalam kontestasi politik (Pilkada dan
Pemilu) dianggap sebagai biang korupsi, baik di eksekutif (terutama kepala
daerah) maupun legislatif. Praktik kotor politik uang akan membuat cita-cita
politik PKS dan PAN (parpol Islam) semakin jauh dari esensi. Jika isu ini terus
direproduksi, elektabilitas kedua parpol ini bisa tergerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar