Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program
Institut Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Adagium tidak ada teman dan musuh abadi dalam politik
memang benar adanya. Politik membuat ketidakpastian kesetiaan teman dan musuh.
Hal ini mungkin yang dialami Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza
Mahendra.
Menjelang tenggat waktu pendaftaran capres-cawepres
untuk Pemilu serentak 2019 yang berakhir pada 10 Agustus 2018, semua partai
politik membangun komunikasi intens sesamanya. Mereka mencari kesepakatan untuk
membangun koalisi mengusung pasangan calon capres-cawapres. Membangun koalisi
lebih kepada kesamaan kepentingan, dan mengabaikan kesamaan asas dan ideologi
parpol. Hal ini dibuktikan dengan adanya koalisi parpol-parpol berasas
Pancasila dan agama (dalam hal ini Islam).
Untuk Pilpres 2019, parpol-parpol telah membentuk
koalisi dan memunculkan dua paslon: Joko Widodo-Makruf Amin dan Prabowo
Subianto-Sandiaga Uno. Paslon Jokowi-Makruf diusung enam parpol yang berada di
parlemen (DPR RI) yaitu PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP dan Hanura. Dukungan
enam parpol lebih dari cukup untuk mengusung Jokowi-Makruf. Di luar itu,
Jokowi-Makruf juga didukung parpol non parlemen (DPR RI) dan parpol baru: PKPI,
PSI dan Perindo.
Sementara itu Prabowo-Sandiaga diusung empat parpol
yang ada di parlemen: Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS, serta parpol baru yaitu
Beringin Karya. Dengan komposisi tersebut di atas, kedua paslon mendapat
dukungan parpol Islam, PKB dan PPP mendukung Jokowi-Makruf. Sedangkan PAN dan
PKS mendukung Prabowo-Sandiaga.
Koalisi Prabowo yang sebelumnya sering disebut
“Koalisi Keumatan” memang cukup mengejutkan ketika Prabowo memilih Sandiaga.
Pasalnya ijtimak ulama (sebuah forum kelompok ulama tertentu) merekomendasikan
Prabowo agar berpasangan dengan Salim Segaf (Ketua Majelis Syura PKS) atau
Abdul Somad (seorang penceramah). Namun apa mau dikata, Prabowo sudah
berketetapan hati memilih Sandiaga.
Pasca penentuan paslon Prabowo-Sandiaga, Partai Bulan
Bintang (PBB) melalui ketumnya Yusril buka suara soal koalisi tersebut. Yusril
bersama PBB yang selama ini kerap sependapat terhadap koalisi Prabowo ternyata
merasa ditinggalkan. Padahal, dalam banyak pandangan terhadap kebijakan pemerintah,
Yusril sering memposisikan diri bersama barisan oposan (Gerindra dan PKS). Akan
tetapi dalam konteks pencapresan, takdir politik berkata lain.
Merasa tidak diajak berkoalisi, Yusril menyebut bahwa
parpol Koalisi Keumatan itu ingin agar PBB masuk “liang lahat”. Ia kecewa
kepada koalisi itu karena sejak dalam proses pendaftaran parpol peserta Pemilu,
PBB yang kerap mendapat kendala-kendala teknis terhadap aturan penyelenggara
(KPU), merasa tidak ada simpati sedikitpun dari Gerindra, PAN dan PKS. Terlebih
saat hendak mengusung capres-cawapres, PBB merasa ditinggalkan.
Cukup
Presidential Threshold
Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu
mengatur bahwa syarat pencalonan presiden dan wakil presiden adalah diusung
parpol atau koalisi parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI dan atau 25
persen perolehan suara sah nasional dari hasil Pemilu 2014 lalu. Dengan aturan
ini, praktis saja PBB tidak begitu diperhitungkan parpol koalisi. Terlebih,
pada 2014 lalu PBB hanya memperoleh suara sebanyak 1,8 juta (1,46 persen) dan
ini memaksa PBB tidak lolos parliamentary
threshold (ambang batas parlemen) yang saat itu ditetapkan 3,5 persen.
Dalam membangun koalisi, tentu saja aspek ambang batas
parlemen menjadi pertimbangan yang sangat penting. Ketiadaan PBB di DPR RI
periode 2014-2019 bisa menjadi alasan mengapa Gerindra dan koalisinya
meninggalkannya begitu saja. Tingginya angka ambang batas parlemen pada Pemilu
2019 nanti, sebesar 4 persen, juga bisa saja menjadi pertimbangan koalisi
Prabowo tidak menarik gabung PBB. Pasalnya, merujuk survei, PBB diperkirakan
tidak lolos ambang batas parlemen yang diberlakukan khusus tingkat DPR RI itu.
Hal lain yang mungkin menyebabkan tidak diajak
bergabungnya PBB dengan koalisi Prabowo adalah terkait logistik Pemilu. Harus
diakui, sistem Pemilu terbuka yang kita terapkan saat ini berkonsekuensi pada
mahalnya biaya politik. Sebagai parpol “menengah ke bawah”, besar kemungkinan
PBB tidak memiliki kemampuan logistik yang memadai untuk menjadi daya tawar
dalam koalisi.
Fokus
Pileg
PBB telah mengalami kegagalan penempatkan calegnya di
DPR pada Pemilu 2014 lalu. Ini menjadi pelajaran bagi partai yang sering
disebut sebagai next Masyumi atau
partai Keluarga Bulan Bintang. Dengan tidak bergabungnya PBB pada koalisi paslon
capres-cawapres tertentu, sebetulnya bisa membuat PBB lebih fokus pada Pileg.
Dengan ditetapkannya ambang batas parlemen sebesar 4 persen tentu memaksa PBB
berkerja ekstra keras jika ingin kembali masuk di parlemen (DPR RI) seperti
hasil Pemilu 1999 lalu.
Dukungan parpol pada paslon belum tentu diikuti dengan
adanya cottail effect (efek jas ekor) pada perolehan suara parpol. Misalnya,
Golkar yang mendukung Jokowi-Makruf, belum mendapat jaminan pemilih memilih
Golkar karena Jokowi merupakan kader PDIP. Sama halnya dengan PAN yang
mengusung Prabowo-Sandi, belum mendapat jaminan pemilih memilih PAN karena
Prabowo merupakan Ketum Gerindra. Oleh sebab itu, bagi PBB, Pemilu 2019 nanti
sejatinya bukan menjadi soal untuk menentukan dukungan terhadap capres-cawapres
karena yang terpenting adalah meraih suara sebanyak mungkin agar lolos ambang
batas parlemen, dan menempatkan wakilnya di DPR RI. Dengan demikian, PBB akan
kian eksis dalam kancah perpolitikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar