Jumat, 07 September 2018

PBB yang Ditinggal Gerbong Koalisi


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Adagium tidak ada teman dan musuh abadi dalam politik memang benar adanya. Politik membuat ketidakpastian kesetiaan teman dan musuh. Hal ini mungkin yang dialami Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.

Menjelang tenggat waktu pendaftaran capres-cawepres untuk Pemilu serentak 2019 yang berakhir pada 10 Agustus 2018, semua partai politik membangun komunikasi intens sesamanya. Mereka mencari kesepakatan untuk membangun koalisi mengusung pasangan calon capres-cawapres. Membangun koalisi lebih kepada kesamaan kepentingan, dan mengabaikan kesamaan asas dan ideologi parpol. Hal ini dibuktikan dengan adanya koalisi parpol-parpol berasas Pancasila dan agama (dalam hal ini Islam).

Untuk Pilpres 2019, parpol-parpol telah membentuk koalisi dan memunculkan dua paslon: Joko Widodo-Makruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Paslon Jokowi-Makruf diusung enam parpol yang berada di parlemen (DPR RI) yaitu PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP dan Hanura. Dukungan enam parpol lebih dari cukup untuk mengusung Jokowi-Makruf. Di luar itu, Jokowi-Makruf juga didukung parpol non parlemen (DPR RI) dan parpol baru: PKPI, PSI dan Perindo.

Sementara itu Prabowo-Sandiaga diusung empat parpol yang ada di parlemen: Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS, serta parpol baru yaitu Beringin Karya. Dengan komposisi tersebut di atas, kedua paslon mendapat dukungan parpol Islam, PKB dan PPP mendukung Jokowi-Makruf. Sedangkan PAN dan PKS mendukung Prabowo-Sandiaga.

Koalisi Prabowo yang sebelumnya sering disebut “Koalisi Keumatan” memang cukup mengejutkan ketika Prabowo memilih Sandiaga. Pasalnya ijtimak ulama (sebuah forum kelompok ulama tertentu) merekomendasikan Prabowo agar berpasangan dengan Salim Segaf (Ketua Majelis Syura PKS) atau Abdul Somad (seorang penceramah). Namun apa mau dikata, Prabowo sudah berketetapan hati memilih Sandiaga.

Pasca penentuan paslon Prabowo-Sandiaga, Partai Bulan Bintang (PBB) melalui ketumnya Yusril buka suara soal koalisi tersebut. Yusril bersama PBB yang selama ini kerap sependapat terhadap koalisi Prabowo ternyata merasa ditinggalkan. Padahal, dalam banyak pandangan terhadap kebijakan pemerintah, Yusril sering memposisikan diri bersama barisan oposan (Gerindra dan PKS). Akan tetapi dalam konteks pencapresan, takdir politik berkata lain.

Merasa tidak diajak berkoalisi, Yusril menyebut bahwa parpol Koalisi Keumatan itu ingin agar PBB masuk “liang lahat”. Ia kecewa kepada koalisi itu karena sejak dalam proses pendaftaran parpol peserta Pemilu, PBB yang kerap mendapat kendala-kendala teknis terhadap aturan penyelenggara (KPU), merasa tidak ada simpati sedikitpun dari Gerindra, PAN dan PKS. Terlebih saat hendak mengusung capres-cawapres, PBB merasa ditinggalkan.

Cukup Presidential Threshold

Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengatur bahwa syarat pencalonan presiden dan wakil presiden adalah diusung parpol atau koalisi parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI dan atau 25 persen perolehan suara sah nasional dari hasil Pemilu 2014 lalu. Dengan aturan ini, praktis saja PBB tidak begitu diperhitungkan parpol koalisi. Terlebih, pada 2014 lalu PBB hanya memperoleh suara sebanyak 1,8 juta (1,46 persen) dan ini memaksa PBB tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang saat itu ditetapkan 3,5 persen.

Dalam membangun koalisi, tentu saja aspek ambang batas parlemen menjadi pertimbangan yang sangat penting. Ketiadaan PBB di DPR RI periode 2014-2019 bisa menjadi alasan mengapa Gerindra dan koalisinya meninggalkannya begitu saja. Tingginya angka ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 nanti, sebesar 4 persen, juga bisa saja menjadi pertimbangan koalisi Prabowo tidak menarik gabung PBB. Pasalnya, merujuk survei, PBB diperkirakan tidak lolos ambang batas parlemen yang diberlakukan khusus tingkat DPR RI itu.

Hal lain yang mungkin menyebabkan tidak diajak bergabungnya PBB dengan koalisi Prabowo adalah terkait logistik Pemilu. Harus diakui, sistem Pemilu terbuka yang kita terapkan saat ini berkonsekuensi pada mahalnya biaya politik. Sebagai parpol “menengah ke bawah”, besar kemungkinan PBB tidak memiliki kemampuan logistik yang memadai untuk menjadi daya tawar dalam koalisi.

Fokus Pileg

PBB telah mengalami kegagalan penempatkan calegnya di DPR pada Pemilu 2014 lalu. Ini menjadi pelajaran bagi partai yang sering disebut sebagai next Masyumi atau partai Keluarga Bulan Bintang. Dengan tidak bergabungnya PBB pada koalisi paslon capres-cawapres tertentu, sebetulnya bisa membuat PBB lebih fokus pada Pileg. Dengan ditetapkannya ambang batas parlemen sebesar 4 persen tentu memaksa PBB berkerja ekstra keras jika ingin kembali masuk di parlemen (DPR RI) seperti hasil Pemilu 1999 lalu.

Dukungan parpol pada paslon belum tentu diikuti dengan adanya cottail effect (efek jas ekor) pada perolehan suara parpol. Misalnya, Golkar yang mendukung Jokowi-Makruf, belum mendapat jaminan pemilih memilih Golkar karena Jokowi merupakan kader PDIP. Sama halnya dengan PAN yang mengusung Prabowo-Sandi, belum mendapat jaminan pemilih memilih PAN karena Prabowo merupakan Ketum Gerindra. Oleh sebab itu, bagi PBB, Pemilu 2019 nanti sejatinya bukan menjadi soal untuk menentukan dukungan terhadap capres-cawapres karena yang terpenting adalah meraih suara sebanyak mungkin agar lolos ambang batas parlemen, dan menempatkan wakilnya di DPR RI. Dengan demikian, PBB akan kian eksis dalam kancah perpolitikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar