Senin, 27 Januari 2014

Somasi dan Runtuhnya Wibawa SBY (Legacy Akhir Pemerintahan SBY)

Oleh: Ali Thaufan DS

Saat kasus penyadapan Australia kepada Indonesia, saya (penulis) membuat catatan kecil tentang “keruntuhan wibawa” negara Indonesia. Catatan itu penulis himpun dari berbagai sumber media cetak maupun elektronik. Satu kesimpulan yang penulis nyatakan, bahwa negara Indonesia kini tidak lagi berwibawa dihadapan negara lain; negara Indonesia “dilecehkan”; serta pemerintah lambat dalam mengambil keputusan.

Kini, giliran kepala negara Indonesia, Presiden SBY yang mengalami “keruntuhan wibawa”. Diakhir pemerintahannya, ia harus menerima sikap banyak orang terkait kinerja yang tidak memuaskan. Terlepas dari banyaknya penghargaan baik dalam maupun luar negeri, SBY dinilai gagal dalam banyak hal, terutama menyangkut problematika bangsa. Dalam catatan ini, penulis mencatat ada beberapa hal yang menurut penulis telah meruntuhkan wibawa seorang SBY. Penulis mengamati pemberitaan seputar SBY dari awal 2013 hingga 2014.

Hal yang dapat dinilai sebagai indikasi runtuhnya wibawa seorang presiden SBY adalah: Pertama, SBY kembali mengambil tapuk kepemimpinan di partai yang dibesarkan, Partai Demokrat. Kemelut internal partai Demokrat saat dipimpin Anas Urbaningrum sangat keras. Elit partai saling “sikut” terkait merosotnya elektabilitas partai. Hal ini disebabkan beberapa kader dan bahkan sang Ketua Umum Demokrat terjerat kasus korupsi. Dengan dalih ini, SBY kemudian “melempar” Anas ke KPK dan mengambil alih kepemimpinan partai. Tentu saja, peristiwa ini sangat sarat unsur politik. SBY pun terkesan “serakah” jabatan partainya. Selain sebagai ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, ia pun kini sebagai ketua umum partai.

Kedua, adalah aksi penolakan Ruhut Sitompul sebagai ketua komisi III DPR RI. Penolakan atas diusulkannya Ruhut sebagai ketua komisi gencar disuarakan oleh anggota komisi III. Keberatan dan kritik disampaikan pada Ruhut jika ia menjadi ketua komisi. Ya, keputusan mengganti Pasek Gede Suardika dengan Ruhut adalah keputusan Demokrat. Tentu saja keputusan itu didasarkan atas pertimbangan SBY sebagai ketua umum partai dengan ketua fraksi Demokrat DPR. Tetapi, keputusan SBY dan fraksi ditolak mentah-mentah oleh anggota komisi. Hal ini dapat dinilai sebagai keputusan SBY yang tidak diindahkan lagi. Maka, kesimpulan yang terbangun adalah SBY tak lagi berwibawa dihadapan anggota komisi III.

Ketiga adalah pernyataan emosional SBY saat dituduh Lutfi Hasan Ishaq (LHI) sebagai orang yang kenal dengan Bunda Putri. SBY menunjukkan marahnya. Sebelumnya, LHI mengungkap nama Bunda Putri dalam sidang kasus suap impor daging sapi. Lutfi mengungkap hubungan SBY-Bunda Putri. Menurut LHI, Bunda Putri punya hubungan spesial dengan SBY, termasuk pengetahuan soal rencana reshuffle kabinet SBY. SBY yang dikenal santun bicara sontak marah. Dalam konferensi pers, ia menantang LHI untuk membuktikan pengakuannya tersebut. “Seribu persen saya ndak tau bunda putri”, begitulah tanggapan SBY. Sayangnya, KPK kemudian tidak mendalami siapa sosok Bunda Putri. Muncul dugaan Bunda Putri sengaja disembunyikan. Atas pernyataan emosional tersebut, SBY telah menurunkan wibawanya. Seharusnya, ia membuktikan ketidak-kenalannya dengan Bunda Putri secara hukum.

Keempat, runtuhnya wibawa SBY dalam catatan penulis adalah seputar somasi yang dilakukan oleh pengacara yang ditunjuk SBY untuk “lawan” yang mengkritiknya. SBY menunjuk pengacara Otto Hasibuan untuk menuntaskan secara hukum berbagai miring yang dialamatkan pada dirinya. Soal somasi yang dilakukan pengacara SBY menjadi topik menarik berbagai media. Seperti diketahui, beberapa orang yang tersomasi antara lain: Sri Mulyono (aktivis Pergerakan Perhimpunan Indonesia); Fahri Hamzah (politisi PKS) dan Rizal Ramli (Mantan Menteri Perekonomian)

Ketiga orang di atas tidak tinggal diam atas somasi yang dialamatkan padanya. Sri Mulyono disomasi akibat tulisannya yang provokatif, bahwa Ibas dan SBY juga harus diperikasa KPK karena dianggap terlibat kasus Hambalang. Atas somasinya yang ditujukan pada Sri, ia malah menantang SBY agar membuat tulisan jawaban guna menandingi tulisan Sri. Fahri Hamzah pun demikian. Ia memang terkenal “banyak omong” mendesak agar KPK memeriksa Ibas karena keterkaitannya dalam kasus Hambalang.

Somasi selanjutnya diperuntukan pada Rizal Ramli. Mantan menteri perekonomian tersebut melontarkan pernyataan bahwa jabatan Wapres Budiono adalah gratifikasi dari kasus Century. Tentu saja, pernyataan itu amat kontroversial. Tetapi somasi pengacara SBY balik ditantang oleh Rizal. Ia menghimpun 200 pengacara untuk mengadapi somasi tersebut. Rizal berdalih bahwa penyataannya tersebut adalah bagian dari kebebesan berpendapat. Karena pendapatannya di somasi pengacara SBY, maka Rizal pun menggalang dukungan 200 pengacara melawan kekuatan anti demokrasi. Perlawanan Rizal ini jelas-jelas meruntuhkan wibawa presiden SBY. Pengacara bentukannya seakan dibuat tak berdaya dengan perlawanan 200 pengacara Rizal.

Tim kuasa hukum yang dibentuk SBY bahkan memunculkan spekulasi dan anggapan bahwa SBY pasang tameng guna menghadapi berbagai tuduhan pasca lengsernya nanti. Sejak saat ini ia mempersiapkan pengacara untuk melindungi dari berbagai tuduhan hukum atas dirinya dan keluarga. Menurut penulis, tentu saja anggapan ini sangat subjektif jika.


Keempat catatan penulis di atas adalah sedikit dari banyaknya wibawa SBY yang runtuh. Berbagai fenomena terkait dengan SBY yang dianggap meruntuhkan wibawanya tentu masih banyak. Tergantung penilaian orang lain yang melihatnya. Perlawanan Anas pada SBY juga dianggap sebagai runtuhnya wibawa SBY; demo dengan mencoret-coret muka SBY bisa dinilai sebagai indikasi runtuhnya wibawa SBY; dan pernyataan-pernyataan bernada keluhan juga bagian dari runtuhnya wibawa SBY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar