Senin, 13 Januari 2014

Menggugat Hadis Misogini (Pembacaan atas Buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih” karya Ahmad Fudhaili)

Oleh: Ali Thaufan DS

Upaya memahami pesan agama baik yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis terus dilakukan sarjana muslim. Hal ini merupakan tuntutan zaman dan kemajuan teknologi yang berkembang begitu cepat. Pada saat bersamaan, sarjana muslim berupaya mendobrak pemahaman “kaku” ulama klasik dalam memahami al-Qur’an dan Hadis. Demikian, apa yang dilakukan Ahmad Fudhaili dalam buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih”. Melalui kritik matn, ia mengkritik pandangan dan pemahaman misogini hadis Nabi.

Term “hadis misogini” menjadi kajian yang menarik bagi pengiat hadis dan juga kalangan “Muslim feminis”. Secara bahasa, misogini dipahami sebagai pandangan “sebelah mata” terhadap perempuan. Dengan demikian, hadis misogini yang dimaksud oleh Fudhaili adalah semua perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan Nabi yang dan mempunyai konotasi pemahaman kebencian pada perempuan. Misonigi yang dimaksud Fudhaili bukanlah kebencian Nabi terhadap perempuan, mengingat hal itu tidak mungkin dilakukan seorang Nabi. Hanya saja, pemahaman yang tidak utuh seseorang terhadap hadis Nabi menyebabkan “salah kaprah” sehingga memunculkan stereotip bahwa Nabi membenci perempuan. Ironisnya, hal ini “diamini” oleh sebagian kalangan umat Islam sendiri. Sehingga perempuan dianggapnya selalu berada dibawah laki-laki.

Dalam sejarah panjang dunia ini, misogini lahir dari mitologi-mitologi agama. Khususnya berkaitan dengan penciptaan. Hampir semua agama sebelum Islam datang, pesan pendeskritan perempuan ditemukan dalam kitab suci agama mereka. Sebagai contoh pada tradisi agama Majusi, penciptaan laki-laki mendahului perempuan. Setelah perempuan diciptakan, ia hanya dianggap sebagai “pemuas” laki-laki. Seperti halnya Majusi, agama Zoroaster pun demikian. Dalam pandangan keagamaannya, perempuan diibaratkan sebagai ladang. Siapa saja bisa menanam didalamnya. Perempuan disewakan pada laki-laki lain sekalipun mereka telah bersuami. Bagi mereka, hal demikian adalah bentuk solidaritas. Demikian juga dalam pandangan Kristen yang merendahkan posisi perempuan. Agama tersebut menyampaikan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.

Selain pandangan keagamaan, terdapat beberapa orang yang memiliki pandangan bahwa perempuan hanya sebagai “penggoda” laki-laki. Diantara adalah Agustine, Origen dan Tertullian. Ketiga tokoh tersebut secara senonoh menganggap perempuan sebagai makhluk rendah tidak punya harga diri. Perempuan kerap disamakan dengan barang kepemilikan. Bahkan, Tertullian menganggap perempuan sebagai aktor diturunkannya Adam dari surga. Hal ini lantaran Hawa menggoda Adam untuk memakan buah terlarang di Surga. Sehingga Adam mendapat hukuman.

Dalam bukunya, Fudhaili menyajikan beberapa hadis yang bernada misogini. Hadis tersebut secara harfiah dianggap menyudutkan perempuan, seperti: kaum perempuan dianggap sebagai ahli neraka; perempuan sebagai penyebab putusnya salat; perempuan pembawa kesialan; penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok; perempuan dilarang menjadi pemimpin; serta perempuan sebagai pelayan suaminya. Tentu saja, penyudutan perempuan seperti tersebut diatas adalah fakta mencengangkan bagi aktivis feminisme. Terlebih hal itu berdasarkan hadis Nabi. Jika hadis tersebut hanya dipahami secara tekstual, maka akan muncul pandangan bahwa Islam sebagai agama yang mendiskritkan perempuan.

Fudhaili menggunakan kritik matn hadis dan pendekatan hermeneutik dalam membaca ulang hadis-hadis yang secara teks bernada menyudutkan perempuan. Upaya yang dilakukan oleh Fudhaili terbilang cukup berani karena kitab yang menjadi objek penelitiannya adalah Sahih Bukhari. Seperti diketahui, kitab tersebut dianggap paling otoritatif di bidang hadis.

Sebagai contoh, dalam menanggapi hadis yang secara teks bernada bahwa perempuan adalah ahli neraka, Fudhaili memberi jawaban yang jelas sesuai konteks. Riwayat hadis tersebut menceritakan saat Nabi hendak pergi salat idul fitri, Nabi melewati tempat para perempuan berkumpul. Nabi lalu berkata “Wahai perempuan, bersedekahlah, sesungguhnya aku diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka”. Saat perempuan balik bertanya terkait apa yang menyebabkannya masuk neraka, Nabi berkata “Kalian banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suami”.

Menurut Fudhaili, hadis tersebut tidak dimaksudnya merendahkan perempuan sebagai makhluk Tuhan. Nabi memberi pelajaran dan peringatan pada perempuan yang pada saat itu mulai berani melawan suami. Konteks hadis tersebut adalah saat perempuan kalangan Muhajirin mulai berani terhadap suaminya. Umar ibn Khattab sempat “gerang” dibuat ulah perempuan saat itu. Bahkan Nabi sendiri juga mengalami, namun Nabi mentolelir sikap istri-istrinya tersebut. Peristiwa itu adalah buah dari pergaulan perempuan dari kalangan Muhajirin dengan Ansor. Fudhaili menyatakan bahwa hadis tersebut bersifat temporal, sesuai pada saat hadis tersebut diucapkan Nabi.

Contoh lain dari hadis bernada misogini adalah hadis yang menyebutkan bahwa penyebab terputusnya salat adalah, Anjing, himar dan perempuan. Secara tekstual, hadis ini tentu saja menyudutkan perempuan karena dianggap sebagai biang terputusnya salat. Dalam melihat hadis tersebut, Fudhaili menampilkan hadis-hadis lain yang saling berkaitan. Ia menggunakan metode tarjih dan takwil. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa hadis yang dimaksud bukankah memutuskan atau membatalkan salat, tetapi mengurangi kekhusu’an salat.

Selain hadis diatas, Fudhaili juga mengkritisi hadis yang secara teks melarang kepemimpinan perempuan. Ia menampilkan secara utuh serta penjelasan setting historis (asbab wurud al-hadis). Bahwa hadis tersebut adalah informasi dan sumpah Nabi pada Kisra yang telah merobek-robek surat dari Nabi. Ketika Nabi mendengar bahwa Kisra tersebut dalam kekalutan sehingga mengakat putrinya sebagai raja, Nabi pun mengatakan bahwa akan ada kehancuran bangsa yang dipimpin perempuan. Mengabaikan kepemimpinan perempuan tentu tidak sejalan dengan misi al-Qur’an yang sangat egaliter.

Bagi Fudhaili, istilah “hadis misogini” sebetulnya tidak ada. Tetapi ia tidak menafikan pandangan dan pemahaman misogini dalam hadis. Hal ini sangat berkaitan dari cara pandang seseorang dalam melihat hadis. Secara tegas Fudhaili mengkritik pandangan Fatimah Mernisi yang terlampau “sinis” terhadap hadis yang dinilainya misogini. Bahkan ia menyayangkan Imam Bukhari yang membukukan hadis-hadis bernada misogini. Menurutnya, hadis-hadis misogini harus dihilangkan dari literatur Islam. Kritik terhadap Fatimah Mernisi inilah yang menurut penulis sebagai kelebihan isi buku Fudhaili.


Dalam buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih”, Fudhaili telah menampilkan upaya kesetaraan gender berlandaskan pada nash-nash hadis. Ia menampilkan hadis yang terkesan misogini dengan memberi penjelasan fakta sejarah, dalil al-Qur’an dan mengkomparasikan dengan matn hadis lainnya. Atas penjelasannya, ia mengantarkan pembaca pada pemahaman hadis secara utuh. Menghindarkan pada anggapan Islam sebagai agama yang menyudutkan perempuan. Dikalangan akademisi, buku ini menjadi pelengkap “Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an” karya Nasaruddin Umar. Bagi penulis, buku Fudhaili telah memberi sumbangan pada upaya kesetaraan gender. Ia menjunjung posisi perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar