Selasa, 14 Januari 2014

Harmoni Islam dan Sains

Oleh: Ali Thaufan DS

Fakta memprihatinkan dari hasil survei yang dilakukan Abdul Salam, seorang ilmuwan muslim asal Amerika, bahwa negara muslim sangat tertinggal dalam bidang sains.[i] Kenyataan ini harus diterima oleh para ilmuwan muslim di penjuru dunia. Ketertinggalan tersebut diakibatkan minimnya perhatian negara muslim pada kemajuan sains teknologi. Fakta demikian bisa saja terjadi sebagai eskes dari perdebatan panjang antara agama dan sains dikalangan sarjana muslim.

Diskursus mengenai perpaduan antara agama dan sains menjadi perbincangan menarik bagi kalangan sarjana lintas agama, termasuk sarjana muslim. Keraguan muncul karena upaya perpaduan antara agama dan sains hanya utopi belaka. Tetapi pada saat yang sama, optimisme muncul bahwa agama dan ilmu pengetahuan mampu dipadukan dan diselaraskan. Atas perdebatan ini, muncul anggapan bahwa sains ingin menundukkan agama dihadapannya. Begitu juga agama, ingin menundukkan sains.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan tercatat bahwa agama pernah melakukan “pengekangan” terhadap ilmu atau sains. Sejarah tersebut tidak mungkin bisa dihapuskan dari tradisi kesejarahan umat Kristiani. Saat itu, Galileo mendobrak pemahaman Gereja yang kukuh dengan pendirian bahwa bumi adalah pusat tata surya. Galileo dengan penemuannya menyatakan bahwa matahari lah yang menjadi pusat tata surya.

Upaya perpaduan sains dan agama yang diserukan oleh sarjana muslim memang memberi sumbangsih pengetahuan baru. Munculnya istilah “integrasi keilmuan”, “islamisasi ilmu”, “dewesternisasi ilmu” atau bahkan “naturalisasi” adalah buah dari diskursus agama dan sains dikalangan sarjana muslim. Beberapa sarjana muslim semisal Naquib al-Attas dan Ismail Faruqi, tak henti-henti dalam kampanye menyelaraskan agama dan sains.[ii]

Berkaitan dengan perdebatan antara agama dan sains, telah banyak penulis yang menaruh konsen bidang tersebut. Menurut Ian G. Barbour sebagaimana dikutip Hujair Sanaky, dalam menjelaskan hubungan agama dan sains ia membagi menjadi empat pendekatan. Yakni: konflik, perpisahan, dialog dan integritas. Dalam penjelasan hubungan agama dan sains dengan empat pendekatan tersebut, Barbour sepertinya menaruh optimisme akan adanya perpaduan agama dan sains dengan memadukan (integritas) keduanya. Meski ia tidak menafikan adanya pertentangan.[iii] Optimisme lahir dari Barbour jika keduanya –antara agama dan ilmu- disatukan melalui sistem filsafat.

Selain Barbour, pandangan terhadap agama dan sains juga dikemukakan oleh John F. Haugth. Bagi Haugth, pendekatan agama dan sains dapat dilihat dari empat pendekatan, yakni: pendekatan konflik, kontras, kontak dan konfirmasi. Tidak jauh perbeda dengan Barbour, pendekatan konfirmasi ala Haugth juga optimis terhadap integrasi agama dan sains. Pendekatan konflik sebagai satu tipologi Haugth, menyimpulkan bahwa agama dan sains tidak akan pernah bisa dipadukan. Bagi Haugth, ilmu atau sains menguji kebenaran berdasarkan empirisisme, sedangkan agama berlandaskan keyakinan atau dogma teologis. Tetapi, pada tipologi pendekatan konfirmasi, Haugth meninginkan adanya “simbiosis mutualisme” antara agama dan sains. Temuan-temuan sains diharapkan menguatkan teologis. Sedangkan agama diharapkan mendukung kemajuan sains.[iv]

Jika melihat sejarah ke belakang, Islam sebenarnya sangat memberikan perhatian pada ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbasiyah, perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat besar. Hal ini dikuatkan dengan dibangunnya Bait al-Hikmah sebagai tempat para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa Fatimiyah. Seorang menteri bahkan rela membayar dan memberi kesejahteraan bagi para ilmuwan agar terus mengembangkan temuan-temuan saintifiknya.[v]

Kitab suci al-Qur’an mengisyaratkan agar melakukan penelitian terhadap alam semesta ciptaan Tuhan. Tidak ditemukan dalam al-Qur’an ayat-ayat yang membatasi untuk menemukan temuan-temuan sains terbaru. Tetapi, menurut Quraish Shihab, tidak dibenarkan oleh para ilmuwan menggunakan al-Qur’an untuk melegitimasi temuan-temuannya. Hal itu merupakan bagian menjaga relevansi al-Qur’an. Karena sifat ilmu pengetahuan adalah dapat “diruntuhkan”, maka jika hal tersebut disandarkan pada al-Qur’an, berarti kebenaran al-Qur’an pun dapat diruntuhkan. Hal demikian ini yang dilarang.[vi]

Kesimpulan uraian di atas adalah, bahwa Islam sejalan dengan semangat pengembangan sains. Spirit al-Qur’an adalah mendorong agar umat Islam senantiasa “membaca” ciptaan-ciptaan Tuhan, sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Negara-negara muslim perlu meningkatkan perhatiannya di bidang sains dan teknologi. Mendorong agar tercipta ilmuwan-ilmuwan muslim seperti era keemasan Abbasiyah. Kemajuan zaman yang terus bergulir meniscayakan manusia pada kebutuhan pada agama dan temuan sains.


[i] Muhammad Wayong, “Sinergi Agama dan Sains: Suatu Paradigma Menuju Era Globalisasi Pendidikan”, Jurnal Lentera Pendidikan, Edisi 10, No 2, Desember 2007, h. 130
[ii] Abdul Ghaffar, “Sains dan Agama, Bertengkar atau Berkawan?”. Diunduh dari situs: kotasantri.com. 14 Januari 2014.
[iii] Hujair sanaky, Makalah “Integrasi Sains dan Agama”, disampaikan pada mata kuliah Agama, Budaya dan sains, Progam Doktor S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[iv] Hujair sanaky, Makalah “Integrasi Sains dan Agama”
[v] Edwin Syarif, “Pergulatan Sains dan Agama”, Jurnal Refleksi, Vol. XII, No. 1, 2010, h. 113
[vi] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Putaka, 2013), h. 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar