Oleh: Ali Thaufan DS
Fakta memprihatinkan dari
hasil survei yang dilakukan Abdul Salam, seorang ilmuwan muslim asal Amerika, bahwa
negara muslim sangat tertinggal dalam bidang sains.[i]
Kenyataan ini harus diterima oleh para ilmuwan muslim di penjuru dunia. Ketertinggalan
tersebut diakibatkan minimnya perhatian negara muslim pada kemajuan sains
teknologi. Fakta demikian bisa saja terjadi sebagai eskes dari perdebatan
panjang antara agama dan sains dikalangan sarjana muslim.
Diskursus mengenai
perpaduan antara agama dan sains menjadi perbincangan menarik bagi kalangan
sarjana lintas agama, termasuk sarjana muslim. Keraguan muncul karena upaya
perpaduan antara agama dan sains hanya utopi belaka. Tetapi pada saat
yang sama, optimisme muncul bahwa agama dan ilmu pengetahuan mampu dipadukan
dan diselaraskan. Atas perdebatan ini, muncul anggapan bahwa sains ingin
menundukkan agama dihadapannya. Begitu juga agama, ingin menundukkan sains.
Dalam sejarah ilmu
pengetahuan tercatat bahwa agama pernah melakukan “pengekangan” terhadap ilmu
atau sains. Sejarah tersebut tidak mungkin bisa dihapuskan dari tradisi kesejarahan
umat Kristiani. Saat itu, Galileo mendobrak pemahaman Gereja yang kukuh dengan
pendirian bahwa bumi adalah pusat tata surya. Galileo dengan penemuannya
menyatakan bahwa matahari lah yang menjadi pusat tata surya.
Upaya perpaduan sains
dan agama yang diserukan oleh sarjana muslim memang memberi sumbangsih pengetahuan
baru. Munculnya istilah “integrasi keilmuan”, “islamisasi ilmu”,
“dewesternisasi ilmu” atau bahkan “naturalisasi” adalah buah dari diskursus
agama dan sains dikalangan sarjana muslim. Beberapa sarjana muslim semisal
Naquib al-Attas dan Ismail Faruqi, tak henti-henti dalam kampanye menyelaraskan
agama dan sains.[ii]
Berkaitan dengan
perdebatan antara agama dan sains, telah banyak penulis yang menaruh konsen
bidang tersebut. Menurut Ian G. Barbour sebagaimana dikutip Hujair Sanaky,
dalam menjelaskan hubungan agama dan sains ia membagi menjadi empat pendekatan.
Yakni: konflik, perpisahan, dialog dan integritas. Dalam penjelasan hubungan
agama dan sains dengan empat pendekatan tersebut, Barbour sepertinya menaruh
optimisme akan adanya perpaduan agama dan sains dengan memadukan (integritas)
keduanya. Meski ia tidak menafikan adanya pertentangan.[iii]
Optimisme lahir dari Barbour jika keduanya –antara agama dan ilmu- disatukan
melalui sistem filsafat.
Selain Barbour,
pandangan terhadap agama dan sains juga dikemukakan oleh John F. Haugth. Bagi
Haugth, pendekatan agama dan sains dapat dilihat dari empat pendekatan, yakni:
pendekatan konflik, kontras, kontak dan konfirmasi. Tidak jauh perbeda dengan
Barbour, pendekatan konfirmasi ala Haugth juga optimis terhadap integrasi agama
dan sains. Pendekatan konflik sebagai satu tipologi Haugth, menyimpulkan bahwa
agama dan sains tidak akan pernah bisa dipadukan. Bagi Haugth, ilmu atau sains
menguji kebenaran berdasarkan empirisisme, sedangkan agama berlandaskan
keyakinan atau dogma teologis. Tetapi, pada tipologi pendekatan konfirmasi,
Haugth meninginkan adanya “simbiosis mutualisme” antara agama dan sains.
Temuan-temuan sains diharapkan menguatkan teologis. Sedangkan agama diharapkan
mendukung kemajuan sains.[iv]
Jika melihat sejarah ke
belakang, Islam sebenarnya sangat memberikan perhatian pada ilmu pengetahuan.
Pada masa Bani Abbasiyah, perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat
besar. Hal ini dikuatkan dengan dibangunnya Bait al-Hikmah sebagai
tempat para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu. Hal yang sama juga dilakukan pada
masa Fatimiyah. Seorang menteri bahkan rela membayar dan memberi kesejahteraan
bagi para ilmuwan agar terus mengembangkan temuan-temuan saintifiknya.[v]
Kitab suci al-Qur’an
mengisyaratkan agar melakukan penelitian terhadap alam semesta ciptaan Tuhan.
Tidak ditemukan dalam al-Qur’an ayat-ayat yang membatasi untuk menemukan
temuan-temuan sains terbaru. Tetapi, menurut Quraish Shihab, tidak dibenarkan
oleh para ilmuwan menggunakan al-Qur’an untuk melegitimasi temuan-temuannya.
Hal itu merupakan bagian menjaga relevansi al-Qur’an. Karena sifat ilmu
pengetahuan adalah dapat “diruntuhkan”, maka jika hal tersebut disandarkan pada
al-Qur’an, berarti kebenaran al-Qur’an pun dapat diruntuhkan. Hal demikian ini
yang dilarang.[vi]
Kesimpulan uraian di
atas adalah, bahwa Islam sejalan dengan semangat pengembangan sains. Spirit al-Qur’an
adalah mendorong agar umat Islam senantiasa “membaca” ciptaan-ciptaan Tuhan,
sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Negara-negara muslim perlu meningkatkan
perhatiannya di bidang sains dan teknologi. Mendorong agar tercipta
ilmuwan-ilmuwan muslim seperti era keemasan Abbasiyah. Kemajuan zaman yang
terus bergulir meniscayakan manusia pada kebutuhan pada agama dan temuan sains.
[i] Muhammad Wayong, “Sinergi Agama
dan Sains: Suatu Paradigma Menuju Era Globalisasi Pendidikan”, Jurnal Lentera
Pendidikan, Edisi 10, No 2, Desember 2007, h. 130
[ii] Abdul Ghaffar, “Sains dan Agama,
Bertengkar atau Berkawan?”. Diunduh dari situs: kotasantri.com. 14 Januari
2014.
[iii] Hujair sanaky, Makalah
“Integrasi Sains dan Agama”, disampaikan pada mata kuliah Agama, Budaya dan
sains, Progam Doktor S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[iv] Hujair sanaky, Makalah
“Integrasi Sains dan Agama”
[v] Edwin Syarif, “Pergulatan Sains
dan Agama”, Jurnal Refleksi, Vol. XII, No. 1, 2010, h. 113
[vi] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, (Bandung: PT Mizan
Putaka, 2013), h. 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar