Senin, 03 Februari 2014

Ketika Buku Menjadi Korban (Pembacaan atas Buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”)

Oleh: Ali Thaufan DS

Bagi kebanyakan orang, buku merupakan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Berapapun harga buku tersebut, jika seseorang telah jatuh hati, ia pasti akan membelinya. Akan tetapi, tahukah anda bahwa buku pernah menjadi objek penghancuran oleh orang tak bertanggung jawab atau penguasa tirani? Buku juga sering menjadi korban bencana alam. Tulisan singkat ini adalah hasil pembacaan atas buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” karya Fernando Baez. Buku tersebut merupakan terjemahan dari judul asli “Historia Universal de la Destruccion de Libros. De las Tablillas Sumerias a la Guerra de Irak” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Lita Soerjadinata

Buku dengan tebal 370-an halaman itu di cetak pertama kali dalam edisi bahasa Indonesia pada Juli 2013 oleh penerbit CV Marjin Kiri Tangerang Selatan. Beberapa tokoh intelektual dunia memberikan komentar pujian atas karya Fernando tersebut. Bahkan, Noam Chomsky memuji seraya mengatakan bahwa karya ini adalah terbaik mengenai tema penghancuran buku. Oleh Fernando, isi buku tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yakni: pertama, penghancuran buku pada masa dunia kuno; kedua: penghancuran buku dari masa kerajaan Bzantium hingga abad 19; ketiga: penghancuran buku dari abad 20 hingga sekarang. Sebelumnya, Rebertus Robet memberi kata pengantar dengan judul “Librisida: Pemurnian Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat”

Penghancuran buku dikenal dengan istilah bibliosida. Sebagian lainnya menyebut dengan istilah librisida. Dalam sejarah dunia, hampir setiap peradaban suatu bangsa mencatatkan kasus pelarangan atau bahkan vandalisme terhadap buku. Kasus pelarangan itu pun terjadi di Indonesia. Robertus Robet, yang memberi pengantar buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”, membeberkan fakta pelarangan dan pemusnahan buku yang dilakukan oleh kolonial Belanda pada masa penjajahan. Sejarah juga mencatat, pada masa Orde Baru –era Suharto- banyak buku-buku yang di stop peredarannya. Terlebih buku-buku yang beraroma ajaran PKI.

Pada bagian pertama buku ini, Fernando memaparkan secara detail tentang asal-usul buku pada peradaban di Sumeria. Fernando mengutip sebuah temuan arkeologi pada 1942 yang menunjukkan adanya aktivitas penulisan pada 4100-3300 tahun SM. Saat itu, orang menulis menggunakan lempeng tanah yang sudah dibakar, sehingga dapat digunakan untuk menulis. Dalam buku Fernando, disebut tablet. Kehancuran tablet (buku) pada saat itu disebabkan bencana alam yang sangat hebat dan peperangan. Salah satu informasi menarik pada bagian pertama buku ini adalah, bahwa ditemukan bukti adanya perpustakaan pada zaman itu. Temuan arkeologi pada 1964 menunjukkan pada 2254-2218 SM terdapat negeri bernama Ebla (sekarang Suriah) yang menyimpan banyak tablet.

Jika pada peradaban Sumeria tulis menulis menggunakan lempeng tanah (tablet), pada peradaban manusia selanjutnya manusia menulis di atas papirus. Hal ini terjadi di Mesir Kuno saat Raja Ramses II berkuasa (sekitar 1304-1237). Papirus adalah alat tulis yang terbuat dari alang-alang yang dikeringkan cukup lama sehingga dapat ditulisi. Ramses rupanya gemar mengoleksi papirus. Koleksinya dikumpulkan pada sebuah kuil yang terdapat perpustakaan. Pada perpustakaan tersebut terdapat tulisan “Tempat Penyembuhan Jiwa”. Akan tetapi, perpustakaan itu hancur saat terjadi penyerbuan bangsa Ethopia, Persia dan Assiria.

Budaya menulis terus berkembang. Bahkan di Yunani terdapat satu masa dimana orang-orang mengembangkan tulisan. Hal ini kemudian mendorong pembangunan perpustakaan-perpustakaan sebagai tempat menyimpan karya tulis.  Pada 285 SM, Fernando mencatat bahwa seorang Yunani bernama Demetrius Phalereus mendirikan perpustakaan yang hingga saat ini dikenal khalayak ramai, yakni perpustakaan Alexanderia di Mesir. Para raja saat itu sudah memberi perhatian pada ilmu pengetahuan. Disalinnya beberapa tulisan yang kemudian menjadi inventaris perpustakaan. Namun ada kebiasaan “lucu” para kolektor buka pada saat itu, yakni mereka memiliki tradisi peminjam buku dan tidak mengembalikan (hal yang barangkali sama dan sering terjadi sekaran). Perpustakaan Alexanderia pun pernah mengalami kehancuran. Ada silang pendapat mengenai hal itu, bahwa orang-orang Kristen lah yang merusak Alexanderai. Pendapat berbeda menyebut bahwa orang-orang Islam lah yang menghancurkan Alexanderia.

Pada bagian pertama buku ini, Fernando mencatat banyak perpustakaan kuno seperti: Perpustakaan Perganum, Ulpia, Pantheon dan banyak lainnya. Hilangnya buku-buku pada perpustakaan tersebut tidak lain akibat bencana alam dan peperangan.

Vandalisme buku sejak masa Byzantium hingga abad 20 diulas pada bagian kedua. Fernando memaparkan sejarah kertas yang digunakan pertama kali di Cina. Pada masa Byzantium, buku mendapat perlakuan sangat spesial. Setiap sampul buku ditempel sebuah permata. Kehancuran buku dan segala manuskrip pada masa Byzantium adalah saat pasukan perang salib melakukan penyerbuan. Dirusaklah seluruh buku; permata yang terdapat pada sampul dicongkel; dan buku-buku akhirnya dibuang.

Pada bagian kedua ini, Fernando memaparkan perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa Khalifah Abbasiyah. Seperti kebanyakan dalam buku-buku sejarah Islam, kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam ditandai dengan adanya Baitul Hikmah yang dibangun oleh Khalifah al-Makmun. Menurut Fernando, inisiatif pembangunan gedung ilmu pengetahuan dilakukan setelah al-Makmun bermimpi bertemu Aristoletes. Dalam mimpinya, al-Makmun didatangi oleh Aristoteles dan diberi pesan agar memperhatikan ilmu pengetahuan. Al-Makmun kemudian melakukan proyek besar-besaran untuk mengembangkan ilmu, salah satunya dengan menerjemahkan karya-karya Aristoteles.

Pembakaran buku oleh otoritas Gereja juga mendapat perhatian Fernando dalam bagian kedua bukunya. Ia mengulas tragedi Dante yang mendapat kekangan Gereja. Buku-bukunya yang dianggap bid’ah oleh mainstrem Gereja kemudian di bakar. Pada abad 14 M ini banyak dikisahkan upaya Gereja yang menghancurkan buku-buku yang dianggap tidak sejalan dengan Gereja. Bahkan Gereka membentuk Inkuisisi untuk menumpas pemikiran yang tidak sejalan dengan Gereja. Kejadian pada Dante juga menimpa Ibn Hazm (di Spanyol dikenal dengan Ben Hazam). Karya-karya syairnya harus berakhir dipembakaran kerena bertentangan dengan Raja Sevillah, al-Mutadid.

Pada bagain ketiga bukunya, Fernando menyuguhkan fakta penghancurang buku di abad 20 hingga saat ini. Kisah tragis penghancuran buku antara lain terjadi di Spanyol. Perang saudara Spanyol kala itu banyak mengorbankan buku-buku dan perpustakaan. Bersusah payah pemerintah mulai memulihkan keadaan perpustakaan dan koleksi buku pasca perang. Akan tetapi, impian itu sirna ketika seorang anak kecil  “bandel” bermain korek kemudian membakar arsip dan dokumen negara pada 11 Agustus 1939.

Penghancuran buku pada abad 20 antara lain juga dilakukan oleh rezim Hitler. Secara membabi buta, mereka membakar buku-buku paham komunis. Joseph Goebbels, orang kepercayaan Hitler memimpin operasi menyitaan buku. Semua buku yang disita kemudian dibakar di tempat umum. Atas perlakuannya ini, Hitler mendapat kecaman dari berbagai negara dan tokoh-tokoh intelekual. Selain cerita penghancuran buku di Jerman, invansi Amerika ke Irak juga menyisahkan kisah penghancuran buku. Ribuan bahkan jutaan gudang ilmu pengetahuan di bagdad lenyap oleh egoisme dan kegilaan Amerika.


Buku “Penghancuran Buku” Fernando Baez menempatkan pada upaya atau kampanye untuk melestarikan dan menjaga buku. Kediktatoran penguasa; ego ideologi dan bencana alam selain mengorbankan manusia, juga mengorbankan buku. Ulasan penghancuran buku dari masa ke masa yang disajikan Fernando telah menyebabkan kerugian yang amat besar. Karenanya, Fernando dan semua manusia tidak ingin terulang kejadian-kejadian serupa pada abad ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar