Oleh: Ali Thaufan DS
Bagi kebanyakan orang, buku merupakan sesuatu yang paling berharga
dalam hidupnya. Berapapun harga buku tersebut, jika seseorang telah jatuh hati,
ia pasti akan membelinya. Akan tetapi, tahukah anda bahwa buku pernah menjadi
objek penghancuran oleh orang tak bertanggung jawab atau penguasa tirani? Buku
juga sering menjadi korban bencana alam. Tulisan singkat ini adalah hasil
pembacaan atas buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” karya Fernando Baez.
Buku tersebut merupakan terjemahan dari judul asli “Historia Universal de la
Destruccion de Libros. De las Tablillas Sumerias a la Guerra de Irak” yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Lita Soerjadinata
Buku dengan tebal 370-an halaman itu di cetak pertama kali dalam
edisi bahasa Indonesia pada Juli 2013 oleh penerbit CV Marjin Kiri Tangerang
Selatan. Beberapa tokoh intelektual dunia memberikan komentar pujian atas karya
Fernando tersebut. Bahkan, Noam Chomsky memuji seraya mengatakan bahwa karya
ini adalah terbaik mengenai tema penghancuran buku. Oleh Fernando, isi buku
tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yakni: pertama, penghancuran buku pada
masa dunia kuno; kedua: penghancuran buku dari masa kerajaan Bzantium hingga
abad 19; ketiga: penghancuran buku dari abad 20 hingga sekarang. Sebelumnya,
Rebertus Robet memberi kata pengantar dengan judul “Librisida: Pemurnian
Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat”
Penghancuran buku dikenal dengan istilah bibliosida. Sebagian
lainnya menyebut dengan istilah librisida. Dalam sejarah dunia, hampir
setiap peradaban suatu bangsa mencatatkan kasus pelarangan atau bahkan
vandalisme terhadap buku. Kasus pelarangan itu pun terjadi di Indonesia.
Robertus Robet, yang memberi pengantar buku “Penghancuran Buku dari Masa ke
Masa”, membeberkan fakta pelarangan dan pemusnahan buku yang dilakukan oleh
kolonial Belanda pada masa penjajahan. Sejarah juga mencatat, pada masa Orde
Baru –era Suharto- banyak buku-buku yang di stop peredarannya. Terlebih
buku-buku yang beraroma ajaran PKI.
Pada bagian pertama buku ini, Fernando memaparkan secara detail
tentang asal-usul buku pada peradaban di Sumeria. Fernando mengutip sebuah
temuan arkeologi pada 1942 yang menunjukkan adanya aktivitas penulisan pada
4100-3300 tahun SM. Saat itu, orang menulis menggunakan lempeng tanah yang
sudah dibakar, sehingga dapat digunakan untuk menulis. Dalam buku Fernando,
disebut tablet. Kehancuran tablet (buku) pada saat itu disebabkan
bencana alam yang sangat hebat dan peperangan. Salah satu informasi menarik
pada bagian pertama buku ini adalah, bahwa ditemukan bukti adanya perpustakaan pada
zaman itu. Temuan arkeologi pada 1964 menunjukkan pada 2254-2218 SM terdapat
negeri bernama Ebla (sekarang Suriah) yang menyimpan banyak tablet.
Jika pada peradaban Sumeria tulis menulis menggunakan lempeng tanah
(tablet), pada peradaban manusia selanjutnya manusia menulis di atas papirus.
Hal ini terjadi di Mesir Kuno saat Raja Ramses II berkuasa (sekitar 1304-1237).
Papirus adalah alat tulis yang terbuat dari alang-alang yang dikeringkan cukup
lama sehingga dapat ditulisi. Ramses rupanya gemar mengoleksi papirus. Koleksinya
dikumpulkan pada sebuah kuil yang terdapat perpustakaan. Pada perpustakaan tersebut
terdapat tulisan “Tempat Penyembuhan Jiwa”. Akan tetapi, perpustakaan itu
hancur saat terjadi penyerbuan bangsa Ethopia, Persia dan Assiria.
Budaya menulis terus berkembang. Bahkan di Yunani terdapat satu
masa dimana orang-orang mengembangkan tulisan. Hal ini kemudian mendorong
pembangunan perpustakaan-perpustakaan sebagai tempat menyimpan karya
tulis. Pada 285 SM, Fernando mencatat
bahwa seorang Yunani bernama Demetrius Phalereus mendirikan perpustakaan yang
hingga saat ini dikenal khalayak ramai, yakni perpustakaan Alexanderia di
Mesir. Para raja saat itu sudah memberi perhatian pada ilmu pengetahuan. Disalinnya
beberapa tulisan yang kemudian menjadi inventaris perpustakaan. Namun ada
kebiasaan “lucu” para kolektor buka pada saat itu, yakni mereka memiliki
tradisi peminjam buku dan tidak mengembalikan (hal yang barangkali sama dan
sering terjadi sekaran). Perpustakaan Alexanderia pun pernah mengalami
kehancuran. Ada silang pendapat mengenai hal itu, bahwa orang-orang Kristen lah
yang merusak Alexanderai. Pendapat berbeda menyebut bahwa orang-orang Islam lah
yang menghancurkan Alexanderia.
Pada bagian pertama buku ini, Fernando mencatat banyak perpustakaan
kuno seperti: Perpustakaan Perganum, Ulpia, Pantheon dan banyak lainnya. Hilangnya
buku-buku pada perpustakaan tersebut tidak lain akibat bencana alam dan peperangan.
Vandalisme buku sejak masa Byzantium hingga abad 20 diulas pada
bagian kedua. Fernando memaparkan sejarah kertas yang digunakan pertama kali di
Cina. Pada masa Byzantium, buku mendapat perlakuan sangat spesial. Setiap sampul
buku ditempel sebuah permata. Kehancuran buku dan segala manuskrip pada masa
Byzantium adalah saat pasukan perang salib melakukan penyerbuan. Dirusaklah seluruh
buku; permata yang terdapat pada sampul dicongkel; dan buku-buku akhirnya
dibuang.
Pada bagian kedua ini, Fernando memaparkan perkembangan ilmu
pengetahuan Islam pada masa Khalifah Abbasiyah. Seperti kebanyakan dalam
buku-buku sejarah Islam, kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam ditandai dengan
adanya Baitul Hikmah yang dibangun oleh Khalifah al-Makmun. Menurut Fernando,
inisiatif pembangunan gedung ilmu pengetahuan dilakukan setelah al-Makmun
bermimpi bertemu Aristoletes. Dalam mimpinya, al-Makmun didatangi oleh Aristoteles
dan diberi pesan agar memperhatikan ilmu pengetahuan. Al-Makmun kemudian
melakukan proyek besar-besaran untuk mengembangkan ilmu, salah satunya dengan
menerjemahkan karya-karya Aristoteles.
Pembakaran buku oleh otoritas Gereja juga mendapat perhatian
Fernando dalam bagian kedua bukunya. Ia mengulas tragedi Dante yang mendapat
kekangan Gereja. Buku-bukunya yang dianggap bid’ah oleh mainstrem Gereja
kemudian di bakar. Pada abad 14 M ini banyak dikisahkan upaya Gereja yang
menghancurkan buku-buku yang dianggap tidak sejalan dengan Gereja. Bahkan Gereka
membentuk Inkuisisi untuk menumpas pemikiran yang tidak sejalan dengan Gereja. Kejadian
pada Dante juga menimpa Ibn Hazm (di Spanyol dikenal dengan Ben Hazam). Karya-karya
syairnya harus berakhir dipembakaran kerena bertentangan dengan Raja Sevillah,
al-Mutadid.
Pada bagain ketiga bukunya, Fernando menyuguhkan fakta
penghancurang buku di abad 20 hingga saat ini. Kisah tragis penghancuran buku
antara lain terjadi di Spanyol. Perang saudara Spanyol kala itu banyak mengorbankan
buku-buku dan perpustakaan. Bersusah payah pemerintah mulai memulihkan keadaan
perpustakaan dan koleksi buku pasca perang. Akan tetapi, impian itu sirna
ketika seorang anak kecil “bandel”
bermain korek kemudian membakar arsip dan dokumen negara pada 11 Agustus 1939.
Penghancuran buku pada abad 20 antara lain juga dilakukan oleh
rezim Hitler. Secara membabi buta, mereka membakar buku-buku paham komunis. Joseph
Goebbels, orang kepercayaan Hitler memimpin operasi menyitaan buku. Semua buku
yang disita kemudian dibakar di tempat umum. Atas perlakuannya ini, Hitler
mendapat kecaman dari berbagai negara dan tokoh-tokoh intelekual. Selain cerita
penghancuran buku di Jerman, invansi Amerika ke Irak juga menyisahkan kisah
penghancuran buku. Ribuan bahkan jutaan gudang ilmu pengetahuan di bagdad
lenyap oleh egoisme dan kegilaan Amerika.
Buku “Penghancuran Buku” Fernando Baez menempatkan pada upaya atau
kampanye untuk melestarikan dan menjaga buku. Kediktatoran penguasa; ego
ideologi dan bencana alam selain mengorbankan manusia, juga mengorbankan buku. Ulasan
penghancuran buku dari masa ke masa yang disajikan Fernando telah menyebabkan
kerugian yang amat besar. Karenanya, Fernando dan semua manusia tidak ingin
terulang kejadian-kejadian serupa pada abad ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar