Oleh: Ali Thaufan DS
Tertangkap dan dihukum matinya gembong teroris seperti Amrozi, Imam Samudra
dan lainnya ternyata tidak menyurutkan keberadaan teroris. Eksistensi mereka
semakin tampak. Aksi-aksi
para teroris tentu sangat meresahkan masyarakat. Beberapa peristiwa teror
terakhir, justru kerap dilakukan ditempat umum dengan menjadikan polisi sebagai
target sasaran. Hal ini mengindikasikan negara dalam keadaan tidak aman. Data badan
nasional penganggulangan terorisme (BNPT) menunjukkan jumlah kasus teror selama
2011 sebanyak 10 kasus; pada 2012 sebanyak 14 kasus; dan pada 2013 sebanyak 12.
Total jumlah kasus tersebut telah memakan 260 korban terduga teroris (Media
Indonesia 02/01/2014).
Ditengah suka
cita menyambut pergantian tahun baru, masyarakat dikejutkan berita aksi penggerebekan
dan penembakan oknum terduga teroris (31/12/2013). Baku tembak oleh aparat
polisi beriringan dengan suara petasan warga yang mereka menyalakan. Di
Ciputat, sebuah kecamatan perbatasan antara Jakarta dan Banten, peristiwa
tersebut terjadi. Tercatat dua kali sejak 2011-2013, pengerebekan terhadap
terduga teror terjadi di wilayah yang terkenal karena keberadaan Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Penembakan oleh
aparat polisi tersebut menewaskan enam anggota yang diduga teroris. Keenam anggota
teroris tersebut merupakan satu kelompok dengan pelaku kasus penembakan anggota
polisi di Cirendeu, Cilandak, Pondok Aren dan pencurian uang di ATM BRI
Tangerang. Jaringan kelompok teroris tidak berdiri sendiri. Menurut Hendropriyono,
mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), jaringan teroris memiliki ikatan “sel”
satu dengan yang lain dan saling mengkoneksi (Hendropriyono:2009). Demikian juga
seperti terjadi pada kelompok teroris yang tertambak di Ciputat. Hasil
penyelidikan polisi menunjukkan bahwa kelompok tersebut memiliki jaringan
dengan kelompok fa’i Abu Umar dan Abu Roban pimpinan Mujahid Indonesia
Barat (MIB).
Pasca tertembaknya
oknum terduga teroris tersebut, polisi mengungkap akan ada tindakan teror yang
akan terjadi kedepan. Pasalnya, terungkap sebuah blue print oknum
teroris Ciputat. Mereka telah menargetkan beberapa tempat pengeboman. Sejumlah tempat
yang talah mereka targetkan adalah wihara-wihara. Seperti diketahui, sebelumnya
telah terjadi pengeboman di Wihara Ekayana.
Keberadaan kelompok
teroris ditopang dengan kekuatan dana yang cukup besar. Akan sangat mustahil
jika aksi mereka tanpa dukungan dana. Dana tersebut digunakan sebagai pengadaan
persenjataan dan operasional aksi. Selain itu, dalam tradisi teroris, kesejahteraan
baik keluarga dan pelaku telah terjamin. Hal ini oleh banyak pengamat teror
dijadikan daya tarik dalam merekrut anggota baru.
Terkait aksi
teror, Yasraf Amir Piliang mencatat bahwa aksi teror tidak lebih sekedar “simulasi
teror”. Tidak ada terorisme sejati (true terrorrist). Aksi teror
merupakan artifisial dari kekuatan yang berapa dibalikknya. Ia diciptakan
sebagai permainan realitas, psikologi massa, opini kepentingan pihak tertentu
(Piliang:2011). Segudang kepentingan dan tujuan berada dibalik kejahatan teror,
seperti kepentingan politik; penguasaan ekonomi, pemaksaan ideologi serta
ketidakpuasan terhadap relitas real menjadi faktor aksi kejahatan
tersebut.
Melalui
pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Negara Indonesia dalam
bayang-banyang teroris. Artinya, negara dalam kondisi tidak aman. Jaringan kelompok
teroris masih mempunyai akar di Indonesia. Menjelang pemilu 2014 ini, tentu
negara dalam keadaan ketidakpastian diberbagai lini seperti politik, ekonomi
dan keamanan, karenanya perlu adanya penangganan aksi teror. Negara harus
menjamin terciptanya kondisi aman tersebut. Upaya pencegahan aksi teror harus
selalu digalakkan. Pentingnya upaya deradikalisasi paham-paham yang menyimpang
dari mainstream.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar