Kamis, 23 Januari 2014

Demokrasi Buta Amerika (Pembacaan Atas Buku “Operasi Gelap CIA”)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada penghujung akhir 2013 lalu, pembicaraan tentang CIA (Central Intelligence Agency) ramai dibicarakan. Ya, hal ini lantaran diungkapnya dokumen CIA oleh mantan staff CIA sendiri, Edward Snowden. Dalam dokumen tersebut, Snowden membeberkan upaya Amerika menguasai dunia. Melalui aksi penyadapan, Amerika dan sekutu –yang tergabung dalam five eyes- menyadap beberapa negara.

Tulisan ini merupakan pembacaan atas buku “Operasi Gelap CIA; Sepak Terjang CIA Menguasai Dunia” yang ditulis A. Zaenurrofik. Sebetulnya, buku ini bukan lah buku baru. Buku dengan tebal 187 halaman itu diterbitkan Penerbit Garasi pada tahun 2008. Tetapi, membincang CIA menurut saya masih sangat relevan.

Pada kata pengantar buku, Zaenurrofik mengungkapkan sejarah panjang CIA dalam “mengobok-obok” demokrasi yang sejatinya di suarakan oleh Amerika sendiri –yang notebene negara yang melahirkan CIA. Badan inteligen Amerika tersebut telah melakukan banyak melakukan intervensi dibeberapa negara demokrasi agar tunduk pada sang negara adikuasa Amerika. Bahkan, upaya penggulingan rezim atau kudeta kerap menjadi agenda CIA di beberapa negara.

CIA berawal dari Office of Strategic Service (OSS) yang pada perang dunia II –dibawah pemerintah Presiden Franklin D. Roosevelt- melakukan kegiatan mengatur strategi perang. Roosevelt menunjuk William J. Donovan sebagai koordinator utama OSS. Pasca perang dunia II, Amerika menyadari perlunya badan intelijen khusus yang memberi informasi penting baik dalam maupun luar negeri. Karena siapa yang ingin menguasai dunia, maka harus menguasai informasi. Pada bab pertama, Zaenurrofik menjelaskan bahwa motif utama CIA melakukan invansi militer ke berbagai negara adalah demi kepentingan bisnis. CIA juga menyebarkan agen ke berbagai negara guna mendekati para konglomerat untuk mencapai tujuan utamanya, sebuah bisnis. 

Para agen tersebut tersebar di berbagai negara dan berdomisili disana. Mereka menggali informasi seputar kondisi politik dan bisnis negara tersebut. Informasi yang sangat mencengangkan adalah, bahwa CIA selalu bermain dibelakang huru-hara politik dinegara-negara lain. Dengan kata lain, CIA kerap menjadi dalang terjadinya perang saudara di berbagai negara. CIA menghabisi sosialis dan komunis demi langgengnya misi menguasai dunia yang menjadi master plan Amerika. Setiap negara yang menjadi musuh Amerika akan menjadi target sasaran untuk dihancurkan. Kemudian mereka memasang pemimpin sebagai “boneka” untuk kelancaran eksploitasi sumber daya alam negara tersebut.

Pada bab dua, Zaenurrofik mengulas tentang negara-negara yang digulingkan CIA. Dalam catatan William Blum, seperti dikutip Zaenurrofik, CIA telah 71 kali mencoba mengintervensi berbagai negara dan berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah negara tersebut. Indonesia pun termasuk dalam target CIA. Hal itu terjadi pada 1957 dan 1965. Maka tidak heran jika banyak asumsi bermunculan bahwa kudeta Sukarno adalah buah keberhasilan CIA. Melalui Suharto, CIA menggulingkan Sukarno secara sistematis. Isu yang mereka angkat adalah kebiadaban komunisme.

Uraian mengenai kepalsuan demokrasi yang digembar-gemborkan Amerika menjadi suguhan menarik di bab tiga. Zaenurrofik mengungkap kemunafikan Amerika yang menyuarakan demokrasi. Sesungguhnya, demokrasi yang mereka suarakan sangat bertolak belakang dengan aksi yang mereka lakukan. Pada bab ini, Zaenurrofik membeberkan lembaga keuangan yang telah dikuasai CIA, seperti WTO, IMF dan bank dunia. Dengan kekuatan sumber dana yang sangat besar, CIA tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana untuk melancarkan misinya, liberalisasi berbagai sektor. Data yang disuguhkan Zaenurrofik, menunjukkan bahwa CIA telah memberikan bantuan dana keberbagai LSM di Indonesia untuk menyuarakan “liberalisme”. Selanjutnya pada empat, Zaenurrofik memaparkan keterlibatan CIA dalam gonjang-ganjing politik di Pakistan.

Kritik dan hujatan pada CIA tersaji pada bab lima. Zaenurrofik mengurai kegagalan misi CIA kerap menimbulkan gejolak internal mereka sendiri. CIA, meski merupakan produk Amerika, namun ia banyak dihujat oleh masyarakat Amerika sendiri. Ulah CIA yang sering mendistorsi fakta informasi menyulut kemarahan baik pihak luar dan dalam Amerika. Noam Chomsky –seperti dikatakan Zaenurrofik sebagai orang waras Amerika- sebagai pemikir Amerika, banyak menghujat kebodohan CIA karena kerap menghadirkan propaganda media. CIA telah “gila” karena mendistorsi fakta, serta mengada-ada proyek nuklir Irak. Karena kegilaan CIA, Amerika melakukan kebodohan dengan menyerang dan menghancurkan Irak. Lantas, inikah yang disebut sebagai demokrasi?

Pada bab terakir (enam), Zaenurrofik mengulas kembali keterlibatan CIA dalam menggulingkan Sukarno. Sukarno yang dikenal sebagai “kiri-komunis” membuat benci CIA. Terlebih saat Sukarno keluar dari PBB dan mencoba membuat blok baru. Dengan menggunakan PRRI/permesta, CIA menjadikan mereka sebagai alat untuk membuat kerusuhan dalam negeri. Puncaknya adalah G30S/PKI, CIA mengendalikan peristiwa tersebut.


Pembacaan atas buku “Operasi Gelap CIA; Sepak Terjang CIA Menguasai Dunia” membuat mata penulis (saya) terbuka atas berbagai kebiadaban negara yang disebut sebagai adikuasa. Negara yang oleh sebagian orang dijadikan model ideal demokrasi. Wajar, jika informasi dalam buku ini membuat banyak orang semakin anti-Amerika. Melaui pembacaan ini pula, penulis untuk sementara berkesimpulan, bahwa  demokrasi Amerika adalah demokrasi "buta"; ada beberapa LSM di Indonesia menjadi “antek” dan boneka Amerika; beberapa konglomerat di Indonesia adalah agen-agen CIA; serta kegaduhan politik dalam negeri, bukan tidak mungkin ada intervensi CIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar