Oleh: Ali Thaufan DS
Pada penghujung akhir 2013 lalu, pembicaraan tentang CIA (Central
Intelligence Agency) ramai dibicarakan. Ya, hal ini lantaran diungkapnya
dokumen CIA oleh mantan staff CIA sendiri, Edward Snowden. Dalam dokumen
tersebut, Snowden membeberkan upaya Amerika menguasai dunia. Melalui aksi
penyadapan, Amerika dan sekutu –yang tergabung dalam five eyes- menyadap
beberapa negara.
Tulisan ini merupakan pembacaan atas buku “Operasi Gelap CIA; Sepak
Terjang CIA Menguasai Dunia” yang ditulis A. Zaenurrofik. Sebetulnya, buku ini
bukan lah buku baru. Buku dengan tebal 187 halaman itu diterbitkan Penerbit
Garasi pada tahun 2008. Tetapi, membincang CIA menurut saya masih sangat
relevan.
Pada kata pengantar buku, Zaenurrofik mengungkapkan sejarah panjang
CIA dalam “mengobok-obok” demokrasi yang sejatinya di suarakan oleh Amerika
sendiri –yang notebene negara yang melahirkan CIA. Badan inteligen Amerika
tersebut telah melakukan banyak melakukan intervensi dibeberapa negara demokrasi
agar tunduk pada sang negara adikuasa Amerika. Bahkan, upaya penggulingan rezim
atau kudeta kerap menjadi agenda CIA di beberapa negara.
CIA berawal dari Office of Strategic Service (OSS) yang pada
perang dunia II –dibawah pemerintah Presiden Franklin D. Roosevelt- melakukan
kegiatan mengatur strategi perang. Roosevelt menunjuk William J. Donovan
sebagai koordinator utama OSS. Pasca perang dunia II, Amerika menyadari
perlunya badan intelijen khusus yang memberi informasi penting baik dalam
maupun luar negeri. Karena siapa yang ingin menguasai dunia, maka harus
menguasai informasi. Pada bab pertama, Zaenurrofik menjelaskan bahwa motif utama CIA
melakukan invansi militer ke berbagai negara adalah demi kepentingan bisnis. CIA
juga menyebarkan agen ke berbagai negara guna mendekati para konglomerat untuk
mencapai tujuan utamanya, sebuah bisnis.
Para agen tersebut tersebar di
berbagai negara dan berdomisili disana. Mereka menggali informasi seputar kondisi
politik dan bisnis negara tersebut. Informasi yang sangat mencengangkan adalah,
bahwa CIA selalu bermain dibelakang huru-hara politik dinegara-negara lain. Dengan
kata lain, CIA kerap menjadi dalang terjadinya perang saudara di berbagai
negara. CIA menghabisi sosialis dan komunis demi langgengnya misi menguasai
dunia yang menjadi master plan Amerika. Setiap negara yang menjadi musuh
Amerika akan menjadi target sasaran untuk dihancurkan. Kemudian mereka memasang
pemimpin sebagai “boneka” untuk kelancaran eksploitasi sumber daya alam negara
tersebut.
Pada bab dua, Zaenurrofik mengulas tentang negara-negara yang digulingkan
CIA. Dalam catatan William Blum, seperti dikutip Zaenurrofik, CIA telah 71 kali
mencoba mengintervensi berbagai negara dan berupaya menggulingkan pemerintahan
yang sah negara tersebut. Indonesia pun termasuk dalam target CIA. Hal itu
terjadi pada 1957 dan 1965. Maka tidak heran jika banyak asumsi bermunculan
bahwa kudeta Sukarno adalah buah keberhasilan CIA. Melalui Suharto, CIA
menggulingkan Sukarno secara sistematis. Isu yang mereka angkat adalah
kebiadaban komunisme.
Uraian mengenai kepalsuan demokrasi yang digembar-gemborkan Amerika
menjadi suguhan menarik di bab tiga. Zaenurrofik mengungkap kemunafikan Amerika
yang menyuarakan demokrasi. Sesungguhnya, demokrasi yang mereka suarakan sangat
bertolak belakang dengan aksi yang mereka lakukan. Pada bab ini, Zaenurrofik
membeberkan lembaga keuangan yang telah dikuasai CIA, seperti WTO, IMF dan bank
dunia. Dengan kekuatan sumber dana yang sangat besar, CIA tidak tanggung-tanggung
mengeluarkan dana untuk melancarkan misinya, liberalisasi berbagai sektor. Data
yang disuguhkan Zaenurrofik, menunjukkan bahwa CIA telah memberikan bantuan
dana keberbagai LSM di Indonesia untuk menyuarakan “liberalisme”. Selanjutnya pada
empat, Zaenurrofik memaparkan keterlibatan CIA dalam gonjang-ganjing politik di
Pakistan.
Kritik dan hujatan pada CIA tersaji pada bab lima. Zaenurrofik mengurai
kegagalan misi CIA kerap menimbulkan gejolak internal mereka sendiri. CIA,
meski merupakan produk Amerika, namun ia banyak dihujat oleh masyarakat Amerika
sendiri. Ulah CIA yang sering mendistorsi fakta informasi menyulut kemarahan
baik pihak luar dan dalam Amerika. Noam Chomsky –seperti dikatakan Zaenurrofik
sebagai orang waras Amerika- sebagai pemikir Amerika, banyak menghujat
kebodohan CIA karena kerap menghadirkan propaganda media. CIA telah “gila”
karena mendistorsi fakta, serta mengada-ada proyek nuklir Irak. Karena kegilaan
CIA, Amerika melakukan kebodohan dengan menyerang dan menghancurkan Irak. Lantas,
inikah yang disebut sebagai demokrasi?
Pada bab terakir (enam), Zaenurrofik mengulas kembali keterlibatan
CIA dalam menggulingkan Sukarno. Sukarno yang dikenal sebagai “kiri-komunis”
membuat benci CIA. Terlebih saat Sukarno keluar dari PBB dan mencoba membuat
blok baru. Dengan menggunakan PRRI/permesta, CIA menjadikan mereka sebagai alat
untuk membuat kerusuhan dalam negeri. Puncaknya adalah G30S/PKI, CIA
mengendalikan peristiwa tersebut.
Pembacaan atas buku “Operasi Gelap CIA; Sepak Terjang CIA Menguasai
Dunia” membuat mata penulis (saya) terbuka atas berbagai kebiadaban negara yang
disebut sebagai adikuasa. Negara yang oleh sebagian orang dijadikan model ideal
demokrasi. Wajar, jika informasi dalam buku ini membuat banyak orang semakin
anti-Amerika. Melaui pembacaan ini pula, penulis untuk sementara berkesimpulan,
bahwa demokrasi Amerika adalah demokrasi "buta";
ada beberapa LSM di Indonesia menjadi “antek” dan boneka Amerika; beberapa
konglomerat di Indonesia adalah agen-agen CIA; serta kegaduhan politik dalam
negeri, bukan tidak mungkin ada intervensi CIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar