Selasa, 31 Desember 2013

Membaca Indonesia 2013 (Sebuah Catatan Politik Refleksi Akhir Tahun

Oleh: Ali Thaufan DS

Dalam catatan harian penulis, ada banyak peristiwa penting yang terjadi di tahun 2013. Pada berbagai bidang: politik, sosial, ekonomi dan hukum. Keempatnya sangat bertautan satu sama lain. Kejadian demi kejadian selalu dikaitkan dengan satu bidang yang cukup “seksi”, politik. sebuah misal, kesenjangan sosial sebagai ekses dari kerakusan elit politik negara ini; pengambilan kebijakan seperti naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sangat erat dengan situasi politik –seperti tercermin dalam sidang paripurna DPR; serta penetapan hukum bagi terduga tersangka korupsi juga dianggap berkaitan dengan politik nasional. Wajar jika setiap insan menaruh sinis pada “politik”. Segala peristiwa yang terjadi di negara ini kerap dijawab dengan satu kata, politik. Tetapi yang demikian tidak pada terjadinya sebuah bencana alam, karena hal tersebut merupakan kuasa Tuhan.

Dalam tulisan singkat ini, penulis berusaha secara ekplisit untuk menyoroti berbagai peristiwa dan persoalan politik. Beberapa peristiwa tersebut adalah: peristiwa politik-hukum yang menimpa Anas Urbaningrum; hasil berbagai lembaga survei yang menempatkan nama Joko Widodo diurutan pertama; kemelut internal partai Golkar dalam menghadapi Pemilu Presiden; dan kegagalan partai politik di era reformasi

Peristiwa pertama coba penulis ulas adalah penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi. Penetapan status tersangka Anas Urbaningrum kala itu menjadi topik menarik dalam berbagai pemberitaan media. Keterlibatan Anas dalam dugaan korupsi membuat beberapa petinggi partai Demokrat “gerah”. Mereka kemudian menawarkan opsi-opsi agar Anas mengundurkan diri, karena pada saat itu ia masih menjabat sebagai ketua umum partai. Kegerahan beberapa petinggi secara gamblang disampaikan terlebih saat melihat elektabilitas partai yang terus merosot. Anas tetap pada keyakinan bahwa kemerosotan elektabilitas partai bukan disebabkan oleh kasusnya. Tetapi lebih dari itu, ia menganggap bahwa lemahnya kinerja pemerintah SBY sebagai rumus utama kemerosotan elektabilitas partai. Maklum saja, kabinet SBY diisi oleh kader partai Demokrat dan beberapa partai koalisi.

Kegigihan Anas sebagai ketua umum partai Demokrat mendapat tantangan dari para petinggi partai yang berada di garis SBY. Lalu, muncul istilah “Dinasti Cikeas”. Sebuah dinasti besar yang ingin merebut kursi ketua umum partai yang diduduki Anas. Setelah lama dalam kemelut dan ketidakpastian hukum, Anas pun mendapatkan “gelar”, tersangka KPK. Penetapan Anas sebagai tersangka seperti dirancang sangat sistematis. Hal ini bisa dilihat dari penyataan SBY saat masih di pesawat dari tanah suci yang meninta KPK segera memberi kejelasan status. Selain itu, penjeblosan Luthfi Hasan Ishaq sebagai tersangka KPK juga bisa dipahami sebagai rentetan dari upaya “orang kuat” yang ingin mengiring Anas ke KPK. Bagaimana bisa, menurut penulis penangkapan LHI sekaligus penetapannya sebagai tersangka secara langsung akan memberikan dorongan kepada KPK bahwa ketua partai bukanlah orang yang kebal hukum. Karenanya, hal tersebut juga berlaku dalam menetapkan Anas. Masih banyak lagi agenda “orang kuat” yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai bagian rentetan pembunuhan karakter Anas.

Pasca penetapannya, Anas seperti tak tinggal dia. Beberapa pengamat membaca langkah-langkah Anas. Sehari pasca penetapan sebagai tersangka, ia pun berhenti sebagai ketua umum partai Demokrat. Berhentinya Anas dari jabatan ketua umum tak membuatnya lantas menghilang. Beberapa elit politik lintas partai dan tokoh-tokoh nasional berdatangan membesuk Anas di rumahnya. Eksistensinya sebagai aktor politik tetap mendapat pengakuan. Ia sempat menghadiri acara kampanye calon kepala daerah di Padang; muncul dalam beberapa kesempatan diskusi publik; dan puncaknya, ia mendeklarasikan organisasi masyarakat Perhimpunan pergerakan Indonesia (PPI). Saat ini, dengan PPI-nya, Anas lebih dikenal khalayak ramai. Sebagaian pengamat menilai Anas akan melakukan perlawanan kepada SBY-Demokrat dengan organisasi tersebut. Langkah Anas di tahun mendatang masih menjadi teka-teki. Apa yang akan ia lakukan bersama PPI.

Peristiwa politik 2013 lainnya adalah fenomena kepemimpinan Joko Widodo atau yang akrab dengan panggilan Jokowi. Kehadirannya dari sebagai Gubernur DKI Jakarta tersebut menyita perhatian banyak pihak. Media cetak dan elektronik tak pernah luput memberitaknnya. Gaya blusukan sebagai jurus ampunya dalam menjalankan tugas sebagai orang nomor 1 Jakarta membuat banyak orang terpukau. Gaya sederhana, sedikit bertutur kata, tegas bertindak  dan merakyat menjadi topik menarik dalam berbagai perbincangan.

Langkah real yang dilakukannya sebagai gubernur, membuat banyak calon presiden yang berupaya mendekatinya. Dalam berbagai survei nama Jokowi bahkan unggul diantara capres lainnya yang telah mendeklarasikan diri, sebut saja Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto dan Wiranto. Banyak pengamat yang menyoroti sedikit keberhasilan Jokowi sebagai gubernur Jakarta. Mereka pulalah yang akhirnya menawarkan bahwa Jokowi adalah pemimpin ideal untuk Indonesia. Atau, dengan kata lain, Jokowi adalah capres 2014 yang paling potensial. Jelas, fenomena Jokowi telah mencuri pemerhati politik negeri ini. Meski demikian, ia tak luput dari kritikan dan bahkan “hantaman” lawan-lawan politiknya. Beberapa politisi partai lain tak henti-henti “menjatuhkan” Jokowi. Tetapi ironis. Karena mereka –penghujat Jokowi- justru mendapat hantaman palu godam masyarakat seraca luas. Sebut saja nama seperti: Ruhut Sitompul, Nurhayati assegaf dan Ramadhan Pohan. Ketiganya pernah melontarkan kritik pedas terhadap Jokowi. Alih-alih mendapat jawaban dari Jokowi, ia justru mendapat hujatan dari banyak masyarakat.

Dinamika dan kemelut politik di internal partai Golkar juga menjadi catatan penting penulis. Alasannya, penulis yakin bahwa Golkar adalah partai besar dan berpengalaman. Karenanya, penting untuk mendapat perhatian dan digalih pengalaman-pengalamannya tersebut. Kemelut dalam internal Golkar tentu saja diterjadi dua atau tiga tahun kemarin. Tetapi, jauh sebelumnya, kemelut internal Golkar telah dan bahkan sering terjadi. Politisi Golkar dikenal “kebal” dan tahan banting. Namun, yang menjadi sorotan dalam catatan penulis adalah kemelut pencapresan ketua umum parta Golkar, Aburizal Bakrie (ical), sebagai capres Golkar.

Sejak ditetapkan sebagai capres pada 2012 lalu, Golkar bukan lebih solid. Keretakan para petinggi justru terjadi. Silang pendapat antara Ical dan Akbar Tanjung yang menjabat sebagai ketua dewan pertimbangan sering terjadi. Beberapa pernyataan Akbar mengarah pada evaluasi pencapresan Ical. Alasan Akbar cukup sederhana, ia melihat elektabilitas Ical yang stagnan dan penetapannya sebagai capres yang minim dukungan pengurus Golkar daerah. Ditengah badai yang dihadapi Ical, ia tetap teguh bahwa dia lah capres yang sah dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Pengusik Ical tidak hanya hadir dari faktor  internal Golkar, tetapi juga dari faktor-faktor eksternal. Beberapa kasus yang sembat melilitnya menjadi ganjalan utama Ical dalam pencapresannya. Sebut saja kasus lumpur Lapindo yang begitu erat dengan nama Ical. Kasus yang terus membayangi bak hantu bagi Ical. Sebagai bos sebuah stasiun televisi ternyata bukan menjamin kenaikkan elektabilitasnya. Ia bisa memanfaatkan media kepunyaannya sebagai alat pencitraan. Tatapi pada saat bersamaan, ia juga dijatuhkan oleh berbagai media lawan politiknya. Sungguh berat buat Ical.

Peristiwa terakhir yang menjadi sorotan dalam catatan penulis adalah ketidakpercayaan masyarakat pada partai politik. Sesungguhnya, partai politk adalah elemen penting dalam menciptakan tatanan demokrasi yang baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Tetapi hal ini tidak berlaku di Indonesia. Prilaku tidak senonoh justru ditunjukkan oleh kader politik. Beberapa kader partai politik yang menduduki jabatan pemerintah terlibat dalam berbagai kasus korupsi.

Dagelan memalukan juga kerap ditunjukkan oleh wakil rakyat yang juga kader partai politik di kursi dewan. Dalam setiap pengambilan keputusan selalu terselip kepentingan kolompoknya. Tidak menunjukkan sikap kesatria yang berpihak pada kepentingan rakyatnya. Debat-debat usang mereka –anggota dewan- tunjukkan sebagai warna-warni dinamika politik Indonesia. Atas nama kebebasan, mereka merebut kebebasan rakyat. Rakyat dibuatnya miskin. Rakyat akhirnya hanya emmoh (tak doyan) dengan partai politik, apatis.

Rakyat dibutakan dengan reformasi yang akhirnya membawa Indonesia pada ketidakpastian. Ketidakpastian menuju masyarakat adil dan makmur. Era reformasi ini telah jelas membawa seluruh rakyat Indonesia pada keterpurukan yang paling klimaks. Meninjam istilah Emha Ainun Nadjib, era reformasi telah mengantarkan rakyat Indonesia untuk menikmati tai. Karena terlalu menikmatinya, ia lupa bahwa tai yang dimakan. Demikianlah gambaran reformasi Indonesia yang semakin tak jelas. Reformasi Indonesia hanya bernilai tai lunthung (tai ayam yang masih hangat).

Demikian sedikit catatan penulis atas pembacaan fenomena politik Indonesia 2013. Tentu sangat jauh dari sebuah catatan yang purna. Well, penulis berharap akan ada pemimpin yang lebih baik dari hari kemarin. Pemimpin yang dengan benar menjalankan amanah konstitusi negara Indonesia. Sehingga cita-cita Jayabaya dalam ramalannya tentang Nusantara segera dapat terwujud.


Bogor, 31 Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar