Oleh: Ali
Thaufan DS
Dalam catatan
harian penulis, ada banyak peristiwa penting yang terjadi di tahun 2013. Pada berbagai
bidang: politik, sosial, ekonomi dan hukum. Keempatnya sangat bertautan satu
sama lain. Kejadian demi kejadian selalu dikaitkan dengan satu bidang yang
cukup “seksi”, politik. sebuah misal, kesenjangan sosial sebagai ekses dari
kerakusan elit politik negara ini; pengambilan kebijakan seperti naiknya harga
Bahan Bakar Minyak (BBM), sangat erat dengan situasi politik –seperti tercermin
dalam sidang paripurna DPR; serta penetapan hukum bagi terduga tersangka
korupsi juga dianggap berkaitan dengan politik nasional. Wajar jika setiap
insan menaruh sinis pada “politik”. Segala peristiwa yang terjadi di negara ini
kerap dijawab dengan satu kata, politik. Tetapi yang demikian tidak pada terjadinya
sebuah bencana alam, karena hal tersebut merupakan kuasa Tuhan.
Dalam tulisan
singkat ini, penulis berusaha secara ekplisit untuk menyoroti berbagai peristiwa
dan persoalan politik. Beberapa peristiwa tersebut adalah: peristiwa
politik-hukum yang menimpa Anas Urbaningrum; hasil berbagai lembaga survei yang
menempatkan nama Joko Widodo diurutan pertama; kemelut internal partai Golkar dalam
menghadapi Pemilu Presiden; dan kegagalan partai politik di era reformasi
Peristiwa pertama
coba penulis ulas adalah penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka atas
dugaan gratifikasi. Penetapan status tersangka Anas Urbaningrum kala itu
menjadi topik menarik dalam berbagai pemberitaan media. Keterlibatan Anas dalam
dugaan korupsi membuat beberapa petinggi partai Demokrat “gerah”. Mereka kemudian
menawarkan opsi-opsi agar Anas mengundurkan diri, karena pada saat itu ia masih
menjabat sebagai ketua umum partai. Kegerahan beberapa petinggi secara gamblang
disampaikan terlebih saat melihat elektabilitas partai yang terus merosot. Anas
tetap pada keyakinan bahwa kemerosotan elektabilitas partai bukan disebabkan
oleh kasusnya. Tetapi lebih dari itu, ia menganggap bahwa lemahnya kinerja pemerintah
SBY sebagai rumus utama kemerosotan elektabilitas partai. Maklum saja, kabinet
SBY diisi oleh kader partai Demokrat dan beberapa partai koalisi.
Kegigihan Anas
sebagai ketua umum partai Demokrat mendapat tantangan dari para petinggi partai
yang berada di garis SBY. Lalu, muncul istilah “Dinasti Cikeas”. Sebuah dinasti
besar yang ingin merebut kursi ketua umum partai yang diduduki Anas. Setelah lama
dalam kemelut dan ketidakpastian hukum, Anas pun mendapatkan “gelar”, tersangka
KPK. Penetapan Anas sebagai tersangka seperti dirancang sangat sistematis. Hal ini
bisa dilihat dari penyataan SBY saat masih di pesawat dari tanah suci yang
meninta KPK segera memberi kejelasan status. Selain itu, penjeblosan Luthfi
Hasan Ishaq sebagai tersangka KPK juga bisa dipahami sebagai rentetan dari
upaya “orang kuat” yang ingin mengiring Anas ke KPK. Bagaimana bisa, menurut
penulis penangkapan LHI sekaligus penetapannya sebagai tersangka secara
langsung akan memberikan dorongan kepada KPK bahwa ketua partai bukanlah orang
yang kebal hukum. Karenanya, hal tersebut juga berlaku dalam menetapkan Anas. Masih
banyak lagi agenda “orang kuat” yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai
bagian rentetan pembunuhan karakter Anas.
Pasca penetapannya,
Anas seperti tak tinggal dia. Beberapa pengamat membaca langkah-langkah Anas. Sehari
pasca penetapan sebagai tersangka, ia pun berhenti sebagai ketua umum partai
Demokrat. Berhentinya Anas dari jabatan ketua umum tak membuatnya lantas
menghilang. Beberapa elit politik lintas partai dan tokoh-tokoh nasional berdatangan
membesuk Anas di rumahnya. Eksistensinya sebagai aktor politik tetap mendapat
pengakuan. Ia sempat menghadiri acara kampanye calon kepala daerah di Padang;
muncul dalam beberapa kesempatan diskusi publik; dan puncaknya, ia
mendeklarasikan organisasi masyarakat Perhimpunan pergerakan Indonesia (PPI). Saat
ini, dengan PPI-nya, Anas lebih dikenal khalayak ramai. Sebagaian pengamat
menilai Anas akan melakukan perlawanan kepada SBY-Demokrat dengan organisasi
tersebut. Langkah Anas di tahun mendatang masih menjadi teka-teki. Apa yang
akan ia lakukan bersama PPI.
Peristiwa politik
2013 lainnya adalah fenomena kepemimpinan Joko Widodo atau yang akrab dengan
panggilan Jokowi. Kehadirannya dari sebagai Gubernur DKI Jakarta tersebut
menyita perhatian banyak pihak. Media cetak dan elektronik tak pernah luput
memberitaknnya. Gaya blusukan sebagai jurus ampunya dalam menjalankan tugas sebagai
orang nomor 1 Jakarta membuat banyak orang terpukau. Gaya sederhana, sedikit
bertutur kata, tegas bertindak dan
merakyat menjadi topik menarik dalam berbagai perbincangan.
Langkah real
yang dilakukannya sebagai gubernur, membuat banyak calon presiden yang berupaya
mendekatinya. Dalam berbagai survei nama Jokowi bahkan unggul diantara capres
lainnya yang telah mendeklarasikan diri, sebut saja Aburizal Bakrie, Prabowo
Subianto dan Wiranto. Banyak pengamat yang menyoroti sedikit keberhasilan
Jokowi sebagai gubernur Jakarta. Mereka pulalah yang akhirnya menawarkan bahwa
Jokowi adalah pemimpin ideal untuk Indonesia. Atau, dengan kata lain, Jokowi
adalah capres 2014 yang paling potensial. Jelas, fenomena Jokowi telah mencuri
pemerhati politik negeri ini. Meski demikian, ia tak luput dari kritikan dan
bahkan “hantaman” lawan-lawan politiknya. Beberapa politisi partai lain tak
henti-henti “menjatuhkan” Jokowi. Tetapi ironis. Karena mereka –penghujat Jokowi-
justru mendapat hantaman palu godam masyarakat seraca luas. Sebut saja nama
seperti: Ruhut Sitompul, Nurhayati assegaf dan Ramadhan Pohan. Ketiganya pernah
melontarkan kritik pedas terhadap Jokowi. Alih-alih mendapat jawaban dari
Jokowi, ia justru mendapat hujatan dari banyak masyarakat.
Dinamika dan
kemelut politik di internal partai Golkar juga menjadi catatan penting penulis.
Alasannya, penulis yakin bahwa Golkar adalah partai besar dan berpengalaman. Karenanya,
penting untuk mendapat perhatian dan digalih pengalaman-pengalamannya tersebut.
Kemelut dalam internal Golkar tentu saja diterjadi dua atau tiga tahun kemarin.
Tetapi, jauh sebelumnya, kemelut internal Golkar telah dan bahkan sering
terjadi. Politisi Golkar dikenal “kebal” dan tahan banting. Namun, yang menjadi
sorotan dalam catatan penulis adalah kemelut pencapresan ketua umum parta
Golkar, Aburizal Bakrie (ical), sebagai capres Golkar.
Sejak ditetapkan
sebagai capres pada 2012 lalu, Golkar bukan lebih solid. Keretakan para
petinggi justru terjadi. Silang pendapat antara Ical dan Akbar Tanjung yang
menjabat sebagai ketua dewan pertimbangan sering terjadi. Beberapa pernyataan Akbar
mengarah pada evaluasi pencapresan Ical. Alasan Akbar cukup sederhana, ia
melihat elektabilitas Ical yang stagnan dan penetapannya sebagai capres yang
minim dukungan pengurus Golkar daerah. Ditengah badai yang dihadapi Ical, ia
tetap teguh bahwa dia lah capres yang sah dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Pengusik Ical
tidak hanya hadir dari faktor internal
Golkar, tetapi juga dari faktor-faktor eksternal. Beberapa kasus yang sembat
melilitnya menjadi ganjalan utama Ical dalam pencapresannya. Sebut saja kasus
lumpur Lapindo yang begitu erat dengan nama Ical. Kasus yang terus membayangi
bak hantu bagi Ical. Sebagai bos sebuah stasiun televisi ternyata bukan
menjamin kenaikkan elektabilitasnya. Ia bisa memanfaatkan media kepunyaannya
sebagai alat pencitraan. Tatapi pada saat bersamaan, ia juga dijatuhkan oleh
berbagai media lawan politiknya. Sungguh berat buat Ical.
Peristiwa terakhir
yang menjadi sorotan dalam catatan penulis adalah ketidakpercayaan masyarakat
pada partai politik. Sesungguhnya, partai politk adalah elemen penting dalam
menciptakan tatanan demokrasi yang baik menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Tetapi hal ini tidak berlaku di Indonesia. Prilaku tidak senonoh justru
ditunjukkan oleh kader politik. Beberapa kader partai politik yang menduduki
jabatan pemerintah terlibat dalam berbagai kasus korupsi.
Dagelan memalukan juga
kerap ditunjukkan oleh wakil rakyat yang juga kader partai politik di kursi
dewan. Dalam setiap pengambilan keputusan selalu terselip kepentingan
kolompoknya. Tidak menunjukkan sikap kesatria yang berpihak pada kepentingan
rakyatnya. Debat-debat usang mereka –anggota dewan- tunjukkan sebagai
warna-warni dinamika politik Indonesia. Atas nama kebebasan, mereka merebut
kebebasan rakyat. Rakyat dibuatnya miskin. Rakyat akhirnya hanya emmoh (tak
doyan) dengan partai politik, apatis.
Rakyat
dibutakan dengan reformasi yang akhirnya membawa Indonesia pada ketidakpastian.
Ketidakpastian menuju masyarakat adil dan makmur. Era reformasi ini telah jelas
membawa seluruh rakyat Indonesia pada keterpurukan yang paling klimaks. Meninjam
istilah Emha Ainun Nadjib, era reformasi telah mengantarkan rakyat Indonesia
untuk menikmati tai. Karena terlalu menikmatinya, ia lupa bahwa tai yang
dimakan. Demikianlah gambaran reformasi Indonesia yang semakin tak jelas. Reformasi
Indonesia hanya bernilai tai lunthung (tai ayam yang masih hangat).
Demikian sedikit
catatan penulis atas pembacaan fenomena politik Indonesia 2013. Tentu sangat
jauh dari sebuah catatan yang purna. Well, penulis berharap akan ada
pemimpin yang lebih baik dari hari kemarin. Pemimpin yang dengan benar menjalankan
amanah konstitusi negara Indonesia. Sehingga cita-cita Jayabaya dalam
ramalannya tentang Nusantara segera dapat terwujud.
Bogor, 31
Desember 2013.