Oleh: Ali Topan DS
Beberapa lembaga
survei merilis hasil elektabilitas Aburizal Bakrie. Hasilnya pun jauh dari
harapan. Ia masih berada di bawah Jokowi dan Prabowo. Demikian hasil salah satu
lembaga survei, Roy Morgan Research. Padahal, Ical terbilang paling dini dalam
pencalonannya, sejak 2012. Mengapa demikian? Media televisi yang Ical miliki
ternyata bukan jaminan meningkatkan elektabilitasnya.
Semakin dekatnya pemilu
presiden, para kandidat sudah tidak lagi menyembunyikan private motif pencapresannya.
Mereka berlomba-lomba secepatnya meraih simpati konstituen. Cara apapun
dilakukan, asal bisa menang. Dihadapan para calon pemilih mereka tak segan obral
janji-janji. Atas nama kedaulatan, kesejahteraan, kebersamaan, kemajuan dan
banyak lagi janji yang mereka obral dipasar rakyat ini.
Seperti diketahui,
para kandidat banyak memanfaatkan media televisi sebagai elemen atau bahkan fasilitas
kampanye. Iklan-iklan pencitraan disuguhkan dengan berbagai variasi kegiatan. Seolah-oleh
dekat dengan rakyat; bekerja tulus untuk rakyat; peduli dengan penderitaan
rakyat; dan mendapat dukungan rakyat. Akan tetapi, apakah yang demikian sudah
dapat berjalan sesuai harapan sang kandidat? Tentu tidak seluruhnya berjalan
sesuai harapan.
Aburizal Bakrie alias
Ical sebagai contoh. Seorang yang dikenal sebagai bos sebuah stasiun televisi
tersebut gemar dan gencar beriklan di televisi. Bahkan ia dianggap sebagai
tokoh yang paling sering beriklan dilayar kaca. Namun, harus diakui bahwa
gencarnya periklanan yang dilakukan ternyata tidak berbanding dengan
elektabilitasnya. Ia bahkan menjadi stigma negatif bagi calon pemilih.
Ical, meski
memiliki stasiun televisi (sebagai media pencitraan), pada saat yang sama ia
juga dijatuhkan oleh lawannya melalui media, baik televisi maupun cetak. Dalam beberapa
pemberitaan sebuah media (Media Indonesia), ia secara beruntun mendapat sorotan
dalam bingkai pemberitaan yang terbilang “menyudutkannya”. Pertama, soal
elektabilitasnya yang tak kunjung beranjak naik, bahkan sempat turun menjadi
sorotan dan sasaran kritik kader Golkar sendiri. Hal ini seperti diungkap oleh Lembaga
Klimatologi Politik (LKP) (Media Indonesia 18 November 2013). Pemberitaan
tersebut hanya berselang beberapa hari menjelang Rapimnas Partai Golkar. Hal ini
dapat diartikan sebagai bola panas Ical. Pasalnya beberapa pengurus daerah
Golkar banyak silang pendapat soal kepemimpinan Ical di Golkar.
Kedua, Ical
seperti “dihantam” media yang mengungkap keburukan dalam hal manajeman partai. Banyak
perbedaan pandangan soal pencapresan Ical yang disampaikan pengurus Golkar di daerah.
Pemberitaan media pasca Rapimnas tentu semakin menyiratkan pesan bahwa kader Golkar
dan Ical pada posisi yang tidak sejalan. (Media Indonesia 25 November 2013)
Ketiga, hasil
survei Roy Morgan Research yang merilis elektabilitas
capres yang dilakukan pada bulan Oktober lalu. Adapun hasilnya adalah: Jokowi
37 persen suara, Prabowo 15 persen, Aburizal Bakrie 14 persen, Megawati dan
Dahlan Iskan 6 persen dan Jusuf Kalla 5 persen. Ironisnya, judul berita mengenai
hasil suevei di atas menggunakan kata-kata yang sangat provokatif. Jelas sangat
menyudutkan Ical. (Media Indonesia 25
November 2013).
Hal yang cukup
menarik dari dua pemberitaan terakhir di atas adalah letak halaman dimana
berita dituliskan. Yakni, berita diletakkan pada halaman lima (5). Jika dikaitkan
dengan nomor urut partai, maka nomor halaman itu sama dengan nomor urut partai
Golkar pada pemilu 2014, nomor lima.
Kini, Ical bisa
dibilang pada posisi “dilema”. Selain ia harus berhadapan pada anggapan masyarakat
bahwa ia adalah orang yang paling bersalah soal Lumpur Lapindo, ia juga
menghadapi serangan media. Serangan media untuk saat ini secara umum menyorot
ketidaksolidan internal Golkar dan “jalan ditempat” nya elektabilitas Ical.
Simpulan:
Perang opini melaui media semakin gencar. Pemberitaan
positif-negatif kandidat capres banyak didapati pada sebuah media tertentu. Bagi para pemirsa televisi dan pembaca
media cetak/elektronik sebaiknya cermat dalam melihat fakta-fakta berita. Bagi Ical secara khusus, sebaiknya
fakta pemberitaan seperti ini mendapat respon langsung (klarifikasi). Hal ini
sebagai upaya menjaga calon pemilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar