Senin, 25 November 2013

Ical Tersudut Oleh Media (Sebuah Pembacaan Harian Berita Media Indonesia)

Oleh: Ali Topan DS

Beberapa lembaga survei merilis hasil elektabilitas Aburizal Bakrie. Hasilnya pun jauh dari harapan. Ia masih berada di bawah Jokowi dan Prabowo. Demikian hasil salah satu lembaga survei, Roy Morgan Research. Padahal, Ical terbilang paling dini dalam pencalonannya, sejak 2012. Mengapa demikian? Media televisi yang Ical miliki ternyata bukan jaminan meningkatkan elektabilitasnya.
Semakin dekatnya pemilu presiden, para kandidat sudah tidak lagi menyembunyikan private motif pencapresannya. Mereka berlomba-lomba secepatnya meraih simpati konstituen. Cara apapun dilakukan, asal bisa menang. Dihadapan para calon pemilih mereka tak segan obral janji-janji. Atas nama kedaulatan, kesejahteraan, kebersamaan, kemajuan dan banyak lagi janji yang mereka obral dipasar rakyat ini.
Seperti diketahui, para kandidat banyak memanfaatkan media televisi sebagai elemen atau bahkan fasilitas kampanye. Iklan-iklan pencitraan disuguhkan dengan berbagai variasi kegiatan. Seolah-oleh dekat dengan rakyat; bekerja tulus untuk rakyat; peduli dengan penderitaan rakyat; dan mendapat dukungan rakyat. Akan tetapi, apakah yang demikian sudah dapat berjalan sesuai harapan sang kandidat? Tentu tidak seluruhnya berjalan sesuai harapan.
Aburizal Bakrie alias Ical sebagai contoh. Seorang yang dikenal sebagai bos sebuah stasiun televisi tersebut gemar dan gencar beriklan di televisi. Bahkan ia dianggap sebagai tokoh yang paling sering beriklan dilayar kaca. Namun, harus diakui bahwa gencarnya periklanan yang dilakukan ternyata tidak berbanding dengan elektabilitasnya. Ia bahkan menjadi stigma negatif bagi calon pemilih.
Ical, meski memiliki stasiun televisi (sebagai media pencitraan), pada saat yang sama ia juga dijatuhkan oleh lawannya melalui media, baik televisi maupun cetak. Dalam beberapa pemberitaan sebuah media (Media Indonesia), ia secara beruntun mendapat sorotan dalam bingkai pemberitaan yang terbilang “menyudutkannya”. Pertama, soal elektabilitasnya yang tak kunjung beranjak naik, bahkan sempat turun menjadi sorotan dan sasaran kritik kader Golkar sendiri. Hal ini seperti diungkap oleh Lembaga Klimatologi Politik (LKP) (Media Indonesia 18 November 2013). Pemberitaan tersebut hanya berselang beberapa hari menjelang Rapimnas Partai Golkar. Hal ini dapat diartikan sebagai bola panas Ical. Pasalnya beberapa pengurus daerah Golkar banyak silang pendapat soal kepemimpinan Ical di Golkar.
Kedua, Ical seperti “dihantam” media yang mengungkap keburukan dalam hal manajeman partai. Banyak perbedaan pandangan soal pencapresan Ical yang disampaikan pengurus Golkar di daerah. Pemberitaan media pasca Rapimnas tentu semakin menyiratkan pesan bahwa kader Golkar dan Ical pada posisi yang tidak sejalan. (Media Indonesia 25 November 2013)
Ketiga, hasil survei Roy Morgan Research yang merilis elektabilitas capres yang dilakukan pada bulan Oktober lalu. Adapun hasilnya adalah: Jokowi 37 persen suara, Prabowo 15 persen, Aburizal Bakrie 14 persen, Megawati dan Dahlan Iskan 6 persen dan Jusuf Kalla 5 persen. Ironisnya, judul berita mengenai hasil suevei di atas menggunakan kata-kata yang sangat provokatif. Jelas sangat menyudutkan Ical. (Media Indonesia 25 November 2013).
Hal yang cukup menarik dari dua pemberitaan terakhir di atas adalah letak halaman dimana berita dituliskan. Yakni, berita diletakkan pada halaman lima (5). Jika dikaitkan dengan nomor urut partai, maka nomor halaman itu sama dengan nomor urut partai Golkar pada pemilu 2014, nomor lima.
Kini, Ical bisa dibilang pada posisi “dilema”. Selain ia harus berhadapan pada anggapan masyarakat bahwa ia adalah orang yang paling bersalah soal Lumpur Lapindo, ia juga menghadapi serangan media. Serangan media untuk saat ini secara umum menyorot ketidaksolidan internal Golkar dan “jalan ditempat” nya elektabilitas Ical.
Simpulan: Perang opini melaui media semakin gencar. Pemberitaan positif-negatif kandidat capres banyak didapati pada sebuah media tertentu. Bagi para pemirsa televisi dan pembaca media cetak/elektronik sebaiknya cermat dalam melihat fakta-fakta berita. Bagi Ical secara khusus, sebaiknya fakta pemberitaan seperti ini mendapat respon langsung (klarifikasi). Hal ini sebagai upaya menjaga calon pemilih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar