Minggu, 29 Desember 2013

Nurcholish Madjid, Eksponen dan Inspirator Kader HMI Ciputat (Sebuah Catatan Kader)

Oleh: Ali Thaufan DS

Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur adalah salah satu sosok kader HMI yang namanya pernah melejit dengan gagasan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Karir di HMI ia mulai sejak studi di IAIN Jakarta (sekarang UIN Ciputat). Namanya pun tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat dan PB HMI. Setelah menyelesaikan studi di IAIN, ia melanjutkan ke Universitas Chichago. Dengan konsen di bidang Ilmu Politik dan Filsafat Islam.

Sebagai tokoh pembaharu, Cak Nur tidak lepas dari berbagai kritik dan apresiasi atas gagasannya. Ia selalu terbuka dalam menerima kritik. Hal ini yang menyebabkan pemikirannya terus berkembang. Gagasanya dikenal identik dengan Islam, kemodernan dan keindonesiaan.

Dalam konteks HMI Ciputat, ia pun menjadi inspirator bagi kader. Banyak kajian-kajian yang membahas seputar pemikirannya. Sehingga, mesti secara lahir ia telah meninggal, tetapi pikirannya masih hidup dan dirasakan. Tentu saja sebagai tokoh, ia pun menjadi panutan bagi generasi sesudahnya. Banyak kader yang secara pemikiran sepertinya, selakipun tidak seutuhnya.

Cak Nur yang Kontroversi
Pada 3 Januari 1970, cak nur menyampaikan pidato yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integritas Umat” dalam sebuah acara silaturrahmi organisasi kepemudaan. Isi makalah yang ia sampaikan saat pidato tersebut kemudian mengundang pro dan kontra. Makalah tersebut sengaja ia buat untuk menyampaikan kritiknya kepada umat Islam Indonesia. Menurut penuturan Marwan Sarijdo saat ditanya oleh cak Nur mengenai isi makalah tersebut, Marwan menjawab bahwa kritik yang diberikan oleh Cak Nur cukup “pedas”. Cak nur sengaja memberikan kritikan “pedas” karena ia menganggap bahwa forum dimana ia menyampaikan pidato adalah forum internal. Maka cak nur dapat dengan leluasa memberi dan menyampaikan kritiknya.[1]

Dari makalah yang disampaikan Cak Nur, penulis menggulas mengenai masalah liberalisasi dan sekularisasi. Pengertian liberalisasi yang dimaksudnya ialah proses dimana seseorang melepaskan dari dari nilai-nilai tradisional lama dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Mengenai sekularisasi, Cak Nur tidak bermaksud menyamakannya dengan penerapan sekularisme. Sekularisasi yang ia maksud adalah menduniawikan hal-hal yang bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawiakannya.[2]

Pada saat yang sama –dalam makalah pidato tersebut- ia juga melontarkan statement yang menghebohkan, “Islam Yes, Partai Islam No!”. Pernyataan tersebut didasarkan pada jumlah umat Islam yang secara kuantitas terus bertambah, namun tidak dibarengi dengan ketertarikan mereka dalam organisasi/partai Islam sebagai tempat dan wadah menyalurkan ide-ide Islam.

Seketika saja setelah pidato tersebut, respon dari berbagai kalangan, terutama cendekiawan Muslim mengemuka. Berbagai reaksi emesional bermunculan atas ide Cak Nur. Menurut Budhy Munawar, lebih dari seratus artikel di surat kabar yang memberi respon terhadap munculnya istilah baru, sekularisasi. Cak Nur kemudian dianggap sekuler, barat oriented, antek Yahudi dan lain-lain.[3]

Kalangan yang kontra dengan ide Cak Nur kemudian memberikan bantahan untuk mengoreksi dan meluruskan pikiran Cak Nur. Antara lain H.M. Rasjidi, melalui buku yang berjudul “Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi” dan Endang Saifuddin dengan buku yang berjudul “Kritik Atas Faham dan Gerakan ‘Pembaharuan’ Drs. Nurcholish Madjid”. M. Natsir (mantan ketua Masyumi) juga memberikan tanggapan, meskipun tidak secara tertulis. Natsir agaknya ketakutan jika gagasan yang di usung Cak Nur tersebut dikonsumsi oleh generasi muda yang belum banyak belajar Islam, maka akan timbul kesan meremehkan pada mereka.[4]

Terhadap ide dan gagasan Cak Nur di atas, AM. Fatwa juga berkomentar ketika ditanya langsung oleh Cak Nur. “Sejatinya saya tidak mau terlibat, mungkin karena saya selalu berpikir politik praktis dengan manfaat dan mudharatnya pada saat itu. Materinya saya paham untuk kemajuan berpikir. Tetapi bagi saya istilah ‘Sekularisme Islam’ dapat menimbulkan salah paham yang berakibat merusak persatuan umat”. Demikian ungkap AM. Fatwa.[5]

Gagasan cak nur di atas –mengenai Liberalisasi dan Sekularisasi-  juga mengundang reaksi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kemudian mengharamkannya pada 2005. Fatwa MUI tentang “SIPILIS” (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme), adalah sebagai berikut: pertama, Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud adalah faham yang bertentangan dengan agama Islam. Kedua, umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme. Ketiga, dalam masalah aqidah dan ibadah umat Islam wajib eksklusif dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan umat agama yang lain.

Menurut MUI, apa yang disebut Liberalisme adalah memahami nash-nash agama –al-Qur’an dan Hadis- menggunakan akal pikiran yang bebas, hanya menerima doktrin agama yang sesuai dengan akal semata. Sedangkan Sekularisme adalah memisahkan urusan duniawi dari urusan agama. Agama hanya digunakan mengatur hubungan pribadi dengan tuhan, sedangkan hubungan dengan sesama diatur berdasarkan kesepakatan sosial.[6]

Lontaran kritik memang tidak henti-hentinya ditujukan kepada Cak Nur setelah mengusung ide-ide di atas. Sebut saja Adian Husaini, selain mengkritik, aktivis INSIST tersebut juga “mencela” Cak Nur. Bahkan, ia juga merasakan kegembiraan saat mendengar berita meninggalnya Cak Nur. Selain itu, para tokoh yang dianggapnya sebagai “pengikut” Cak Nur tak luput dari kritiknya. Ia juga menyayangkan ucapan duka cita yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena menurutnya itu sangat berlebihan.[7]

Tampak jelas berbeda, bahwa apa yang dimaksud Sekularisme dan Liberalisme oleh Cak Nur dengan pengertian keduanya menurut MUI atau orang yang mengkritiknya. Pengharaman MUI terhadap paham tersebut kemudian mengundang pro-kontra dikalangan cendekiawan Muslim. Buku “Kala Fatwa Jadi Penjara” yang ditulis oleh beberapa kalangan pembaharu Muslim di Indonesia merupakan respon atas fatwa pengharaman MUI terhadap paham SIPILIS.[8] Husein Muhammad, pendiri Fahmina Institute, mengatakan bahwa fatwa tersebut bagaikan penjara dan petaka bagi manusia cerdas.[9]

Membaca pikiran Cak Nur memang bukan perkara mudah, terutama mengenai ide-ide yang kontroversial dan menimbulkan reaksi keras masyarakat. Zainun Kamal pernah menyatakan bahwa ada kesenjangan intelektual, kesenjagan literature bacaan dan perbedaan aspek keilmuan. Mayoritas Muslim di Indonesia telah terkoptasi oleh paham Teologi Asy’ariyah dan Fikih Syafi’iyah. Sehingga Islam dirasa sangat sempit jika dilihat dari sudut pandang tertentu saja. Sementara Cak Nur menampilkan Islam dengan sangat luas, yakni dengan menampilkan bidang studi Tasawuf, Kalam, Kemodernan, social-politik dan lain sebagainya.[10] Penulis menginferensikan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi, seringkali dipicu perbedaan pembacaan bidang ilmu tertentu. Hal tersebut terjadi atas pemikiran Cak Nur.

HMI Cabang Ciputat Menanti Next Cak Nur
Nama Cak Nur tampaknya terlalu sulit dipisahkan dari HMI Cabang Ciputat dan juga UIN Jakarta. Setelah menamatkan pendidikan di Pondok Gontor ia meneruskan mengembaraan intelektual ke IAIN Jakarta Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab. Di kampus inilah ia mengembangkan karirnya dan melibatkan diri dalam wadah organisasi pengkaderan, HMI. Awalnya, ia memang tidak terlalu aktif dalam organisasi. Bahkan menurut AM. Fatwa, Cak Nur dulunya terkenal pendiam akan tetapi ia seorang yang kutu buku. Lantaran kejeniusannya, ia kemudian muncul sebagai sosok dan ikon intelektual.[11] Setelah menyelesaikan studi di IAIN, ia melanjutkan ke Universitas Chichago mendalami Ilmu Politik dan Filsafat Islam.

Pada 29 Agustus 2005, Cak Nur meninggal dunia. Tentu tidak hanya HMI, bangsa Indonesia pun turut berduka atas kepergian sang guru bangsa. Kepergiannya meninggalkan kesan dan pesan yang mendalam, terutama bagi para cendekiawan muslim yang menggeluti pemikirannya. Barangkali tidak sedikit orang yang ingin berdiskusi dengan Cak Nur untuk sekedar bertanya secara langsung terhadap ide-ide pembaharuannya, namun kesempatan tersebut tidak didapat.

Terlepas dari suka atau tidak terhadap pemikiran Cak Nur, kader-kader HMI saat ini masih melihatnya sebagai sosok figur tiada duanya. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam Latihan Kader yang tidak lain adalah karangan atau tulisan Cak Nur. Selain itu, penulis masih banyak mendapati beberapa forum diskusi di Ciputat dan beberapa forum lainnya yang mengkritisi sekaligus mengapresiasi pemikiran-pemikiran Cak Nur.

Kebesaran nama Cak Nur sebagai ikon intelektual tampaknya menyeret eksistensi HMI Cabang Ciputat dimata cabang-cabang yang lain. Ditambah lagi beberapa nama tokoh dan cendekiawan yang sering menghiasi layar kaca terlahir dari HMI Cabang Ciputat.[12] Pengakuan inilah yang membuat semakin berat memikul identitas sebagai kader Ciputat. Kader HMI Ciputat seakan berbalut pakaian kebesaran pendahulu mereka.

Disisi lain fakta menunjukkan bahwa dinamika aktivitas pengkaderan di HMI Ciputat sendiri mengalami penurunan. Memang, HMI Cabang Ciputat menjadikan komisariat-komisariat yang terdapat di fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai mitra bagi berlangsungnya proses pengkaderan. Akan tetapi proses pengkaderan tersebut belum mampu berjalan secara maksimal. Secara kuantitas, kader HMI semakin bertambah karena posisi strategis yang berada di lingkungan kampus, namun tidak demikian dengan kualitas kader.

Menurut Djoko Susilo sebagaimana dikutip Eko Arisandi, faktor yang  menyebabkan kemunduran aktivis HMI antara lain adalah, pertama, bahwa kader HMI kurang peka terhadap isu-isu nasional. Kedua, HMI tidak dapat memaksimalkan proses latihan kader sebagai sarana penempaan intelektual.[13] Tampaknya faktor tersebut dapat dibenarkan, meski tidak seutuhnya. Dalam konteks HMI Cabang Ciputat sendiri, khususnya saat ini terlihat kurang peka dengan isu-isu nasional, bahkan kampus sekalipun. Tentu saja ini sangat disayangkan karena dilihat dari letak geografis, HMI Cabang Ciputat bertetangga dengan kampus UIN dan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.

Perihal persoalan proses pengkaderan, Ciputat sesungguhnya telah memikili tradisi tersendiri yang dirasa cukup berhasil dan berbeda dengan cabang-cabang lainnya. Namun, saat ini HMI Cabang Ciputat harus berhadapan dengan pola pikir dan trend mahasiswa era sekarang, khususnya di UIN Jakarta. HMI dirasa kurang “Seksi” depan mata sebagian mahasiswa. Citra HMI antara positif-negatif. Sehingga interest mahasiswa pun berkurang. Ditambah lagi kondisi internal yang berada dalam keterpurukan.

Apakah HMI Cabang Ciputat harus tidur selama tiga abad –layaknya kisah Ashab al-Kahfi- lalu kemudian bangun dengan melihat segenap perubahan? Apakah membutuhkan waktu selama itu?. Sudah saatnya kita kembali melihat, membaca dan memikirkan sejarah indah Ciputat. Sejarah menyatakan bahwa Ciputat telah melahirkan kader-kader yang tidak diragukan lagi kapasitasnya. Setidaknya hal ini yang menjadi inspirasi bagi kader era sekarang guna melanjutkan generasi sebelumnya.



[1] Marwan Saridjo, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 23
[2] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), h. 228-229
[3] Budhy Munawar Rahman, Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2008), h. 23.
[4] Marwan Saridjo, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, h. 30
[5] AM. Fatwa, Cacatan Awal Berdirinya dan Dinamika Aktivitas HMI Cabang Ciputat, dalam Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, (Ciputat: UIN Jakarta Press), h. 10
[6] Adian Husaini, Nurcholish Madjid, Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005), h. 98
[7] Adian Husaini, Nurcholish Madjid, Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, h. 45
[8] Buku tersebut ditulis antara lain oleh: Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Mustofa Bisri, Djohan Efendi, Dawam Raharjo dll.
[9] Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung: Mizan, 2011), h. 63
[10] Pemikiran Cak Nur di Mata Cendekiawan, Harian Merdeka 06 Juli 1997, h. 4
[11] AM. Fatwa, Cacatan Awal Berdirinya dan Dinamika Aktivitas HMI Cabang Ciputat, dalam Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, h. 8
[12] Sederet nama seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bahtiar Efendy, Burhanuddin Muhtadi, Saiful Mujani dll kerap menjadi narasumber di berbagai acara di televisi.
[13] Eko Arisandi, Setengah Abad HMI Cabang Ciputat Langkah Awal Kader Ciputat Merekam Jejak, dalam Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, h. 279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar