Oleh: Ali Thaufan DS
Nurcholis
Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur adalah salah satu sosok kader HMI yang namanya
pernah melejit dengan gagasan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Karir
di HMI ia mulai sejak studi di IAIN Jakarta (sekarang UIN Ciputat). Namanya pun
tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat dan PB HMI. Setelah
menyelesaikan studi di IAIN, ia melanjutkan ke Universitas Chichago. Dengan
konsen di bidang Ilmu Politik dan Filsafat Islam.
Sebagai
tokoh pembaharu, Cak Nur tidak lepas dari berbagai kritik dan apresiasi atas
gagasannya. Ia selalu terbuka dalam menerima kritik. Hal ini yang menyebabkan
pemikirannya terus berkembang. Gagasanya dikenal identik dengan Islam, kemodernan
dan keindonesiaan.
Dalam
konteks HMI Ciputat, ia pun menjadi inspirator bagi kader. Banyak kajian-kajian
yang membahas seputar pemikirannya. Sehingga, mesti secara lahir ia telah
meninggal, tetapi pikirannya masih hidup dan dirasakan. Tentu saja sebagai tokoh,
ia pun menjadi panutan bagi generasi sesudahnya. Banyak kader yang secara
pemikiran sepertinya, selakipun tidak seutuhnya.
Cak
Nur yang Kontroversi
Pada
3 Januari 1970, cak nur menyampaikan pidato yang berjudul “Keharusan Pembaruan
Pemikiran Islam dan Masalah Integritas Umat” dalam sebuah acara silaturrahmi
organisasi kepemudaan. Isi makalah yang ia sampaikan saat pidato tersebut
kemudian mengundang pro dan kontra. Makalah tersebut sengaja ia buat untuk
menyampaikan kritiknya kepada umat Islam Indonesia. Menurut penuturan Marwan
Sarijdo saat ditanya oleh cak Nur mengenai isi makalah tersebut, Marwan
menjawab bahwa kritik yang diberikan oleh Cak Nur cukup “pedas”. Cak nur
sengaja memberikan kritikan “pedas” karena ia menganggap bahwa forum dimana ia
menyampaikan pidato adalah forum internal. Maka cak nur dapat dengan leluasa
memberi dan menyampaikan kritiknya.[1]
Dari
makalah yang disampaikan Cak Nur, penulis menggulas mengenai masalah
liberalisasi dan sekularisasi. Pengertian liberalisasi yang dimaksudnya ialah
proses dimana seseorang melepaskan dari dari nilai-nilai tradisional lama dan
mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Mengenai sekularisasi, Cak
Nur tidak bermaksud menyamakannya dengan penerapan sekularisme. Sekularisasi
yang ia maksud adalah menduniawikan hal-hal yang bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawiakannya.[2]
Pada
saat yang sama –dalam makalah pidato tersebut- ia juga melontarkan statement
yang menghebohkan, “Islam Yes, Partai Islam No!”. Pernyataan tersebut
didasarkan pada jumlah umat Islam yang secara kuantitas terus bertambah, namun
tidak dibarengi dengan ketertarikan mereka dalam organisasi/partai Islam
sebagai tempat dan wadah menyalurkan ide-ide Islam.
Seketika
saja setelah pidato tersebut, respon dari berbagai kalangan, terutama
cendekiawan Muslim mengemuka. Berbagai reaksi emesional bermunculan atas ide
Cak Nur. Menurut Budhy Munawar, lebih dari seratus artikel di surat kabar yang
memberi respon terhadap munculnya istilah baru, sekularisasi. Cak Nur kemudian
dianggap sekuler, barat oriented, antek Yahudi dan lain-lain.[3]
Kalangan
yang kontra dengan ide Cak Nur kemudian memberikan bantahan untuk mengoreksi
dan meluruskan pikiran Cak Nur. Antara lain H.M. Rasjidi, melalui buku yang
berjudul “Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi” dan
Endang Saifuddin dengan buku yang berjudul “Kritik Atas Faham dan Gerakan
‘Pembaharuan’ Drs. Nurcholish Madjid”. M. Natsir (mantan ketua Masyumi)
juga memberikan tanggapan, meskipun tidak secara tertulis. Natsir agaknya
ketakutan jika gagasan yang di usung Cak Nur tersebut dikonsumsi oleh generasi
muda yang belum banyak belajar Islam, maka akan timbul kesan meremehkan pada
mereka.[4]
Terhadap
ide dan gagasan Cak Nur di atas, AM. Fatwa juga berkomentar ketika ditanya
langsung oleh Cak Nur. “Sejatinya saya tidak mau terlibat, mungkin karena saya
selalu berpikir politik praktis dengan manfaat dan mudharatnya pada saat itu.
Materinya saya paham untuk kemajuan berpikir. Tetapi bagi saya istilah
‘Sekularisme Islam’ dapat menimbulkan salah paham yang berakibat merusak
persatuan umat”. Demikian ungkap AM. Fatwa.[5]
Gagasan
cak nur di atas –mengenai Liberalisasi dan Sekularisasi- juga mengundang reaksi dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan kemudian mengharamkannya pada 2005. Fatwa MUI tentang
“SIPILIS” (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme), adalah sebagai berikut:
pertama, Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud
adalah faham yang bertentangan dengan agama Islam. Kedua, umat Islam haram
mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme. Ketiga, dalam masalah
aqidah dan ibadah umat Islam wajib eksklusif dalam arti haram mencampuradukkan
aqidah dan ibadah umat Islam dengan umat agama yang lain.
Menurut
MUI, apa yang disebut Liberalisme adalah memahami nash-nash agama –al-Qur’an
dan Hadis- menggunakan akal pikiran yang bebas, hanya menerima doktrin agama
yang sesuai dengan akal semata. Sedangkan Sekularisme adalah memisahkan urusan
duniawi dari urusan agama. Agama hanya digunakan mengatur hubungan pribadi
dengan tuhan, sedangkan hubungan dengan sesama diatur berdasarkan kesepakatan
sosial.[6]
Lontaran
kritik memang tidak henti-hentinya ditujukan kepada Cak Nur setelah mengusung
ide-ide di atas. Sebut saja Adian Husaini, selain mengkritik, aktivis INSIST
tersebut juga “mencela” Cak Nur. Bahkan, ia juga merasakan kegembiraan saat
mendengar berita meninggalnya Cak Nur. Selain itu, para tokoh yang dianggapnya
sebagai “pengikut” Cak Nur tak luput dari kritiknya. Ia juga menyayangkan
ucapan duka cita yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena
menurutnya itu sangat berlebihan.[7]
Tampak
jelas berbeda, bahwa apa yang dimaksud Sekularisme dan Liberalisme oleh Cak Nur
dengan pengertian keduanya menurut MUI atau orang yang mengkritiknya. Pengharaman
MUI terhadap paham tersebut kemudian mengundang pro-kontra dikalangan
cendekiawan Muslim. Buku “Kala Fatwa Jadi Penjara” yang ditulis oleh beberapa
kalangan pembaharu Muslim di Indonesia merupakan respon atas fatwa pengharaman
MUI terhadap paham SIPILIS.[8]
Husein Muhammad, pendiri Fahmina Institute, mengatakan bahwa fatwa tersebut
bagaikan penjara dan petaka bagi manusia cerdas.[9]
Membaca
pikiran Cak Nur memang bukan perkara mudah, terutama mengenai ide-ide yang kontroversial
dan menimbulkan reaksi keras masyarakat. Zainun Kamal pernah menyatakan bahwa
ada kesenjangan intelektual, kesenjagan literature bacaan dan perbedaan aspek
keilmuan. Mayoritas Muslim di Indonesia telah terkoptasi oleh paham Teologi
Asy’ariyah dan Fikih Syafi’iyah. Sehingga Islam dirasa sangat sempit jika
dilihat dari sudut pandang tertentu saja. Sementara Cak Nur menampilkan Islam
dengan sangat luas, yakni dengan menampilkan bidang studi Tasawuf, Kalam,
Kemodernan, social-politik dan lain sebagainya.[10]
Penulis menginferensikan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi, seringkali
dipicu perbedaan pembacaan bidang ilmu tertentu. Hal tersebut terjadi atas
pemikiran Cak Nur.
HMI Cabang
Ciputat Menanti Next Cak Nur
Nama
Cak Nur tampaknya terlalu sulit dipisahkan dari HMI Cabang Ciputat dan juga UIN
Jakarta. Setelah menamatkan pendidikan di Pondok Gontor ia meneruskan
mengembaraan intelektual ke IAIN Jakarta Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab. Di
kampus inilah ia mengembangkan karirnya dan melibatkan diri dalam wadah
organisasi pengkaderan, HMI. Awalnya, ia memang tidak terlalu aktif dalam
organisasi. Bahkan menurut AM. Fatwa, Cak Nur dulunya terkenal pendiam akan
tetapi ia seorang yang kutu buku. Lantaran kejeniusannya, ia kemudian muncul sebagai
sosok dan ikon intelektual.[11]
Setelah menyelesaikan studi di IAIN, ia melanjutkan ke Universitas Chichago
mendalami Ilmu Politik dan Filsafat Islam.
Pada
29 Agustus 2005, Cak Nur meninggal dunia. Tentu tidak hanya HMI, bangsa
Indonesia pun turut berduka atas kepergian sang guru bangsa. Kepergiannya
meninggalkan kesan dan pesan yang mendalam, terutama bagi para cendekiawan
muslim yang menggeluti pemikirannya. Barangkali tidak sedikit orang yang ingin
berdiskusi dengan Cak Nur untuk sekedar bertanya secara langsung terhadap
ide-ide pembaharuannya, namun kesempatan tersebut tidak didapat.
Terlepas
dari suka atau tidak terhadap pemikiran Cak Nur, kader-kader HMI saat ini masih
melihatnya sebagai sosok figur tiada duanya. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan
materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam Latihan Kader yang tidak lain adalah
karangan atau tulisan Cak Nur. Selain itu, penulis masih banyak mendapati
beberapa forum diskusi di Ciputat dan beberapa forum lainnya yang mengkritisi
sekaligus mengapresiasi pemikiran-pemikiran Cak Nur.
Kebesaran
nama Cak Nur sebagai ikon intelektual tampaknya menyeret eksistensi HMI Cabang
Ciputat dimata cabang-cabang yang lain. Ditambah lagi beberapa nama tokoh dan
cendekiawan yang sering menghiasi layar kaca terlahir dari HMI Cabang Ciputat.[12]
Pengakuan inilah yang membuat semakin berat memikul identitas sebagai kader
Ciputat. Kader HMI Ciputat seakan berbalut pakaian kebesaran pendahulu mereka.
Disisi
lain fakta menunjukkan bahwa dinamika aktivitas pengkaderan di HMI Ciputat
sendiri mengalami penurunan. Memang, HMI Cabang Ciputat menjadikan
komisariat-komisariat yang terdapat di fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai mitra bagi berlangsungnya proses pengkaderan. Akan tetapi proses
pengkaderan tersebut belum mampu berjalan secara maksimal. Secara kuantitas,
kader HMI semakin bertambah karena posisi strategis yang berada di lingkungan
kampus, namun tidak demikian dengan kualitas kader.
Menurut
Djoko Susilo sebagaimana dikutip Eko Arisandi, faktor yang menyebabkan kemunduran aktivis HMI antara lain
adalah, pertama, bahwa kader HMI kurang peka terhadap isu-isu nasional. Kedua,
HMI tidak dapat memaksimalkan proses latihan kader sebagai sarana penempaan
intelektual.[13] Tampaknya
faktor tersebut dapat dibenarkan, meski tidak seutuhnya. Dalam konteks HMI
Cabang Ciputat sendiri, khususnya saat ini terlihat kurang peka dengan isu-isu nasional,
bahkan kampus sekalipun. Tentu saja ini sangat disayangkan karena dilihat dari
letak geografis, HMI Cabang Ciputat bertetangga dengan kampus UIN dan Jakarta
sebagai Ibu Kota Negara.
Perihal
persoalan proses pengkaderan, Ciputat sesungguhnya telah memikili tradisi
tersendiri yang dirasa cukup berhasil dan berbeda dengan cabang-cabang lainnya.
Namun, saat ini HMI Cabang Ciputat harus berhadapan dengan pola pikir dan trend
mahasiswa era sekarang, khususnya di UIN Jakarta. HMI dirasa kurang “Seksi”
depan mata sebagian mahasiswa. Citra HMI antara positif-negatif. Sehingga
interest mahasiswa pun berkurang. Ditambah lagi kondisi internal yang berada dalam
keterpurukan.
Apakah
HMI Cabang Ciputat harus tidur selama tiga abad –layaknya kisah Ashab al-Kahfi-
lalu kemudian bangun dengan melihat segenap perubahan? Apakah membutuhkan waktu
selama itu?. Sudah saatnya kita kembali melihat, membaca dan memikirkan sejarah
indah Ciputat. Sejarah menyatakan bahwa Ciputat telah melahirkan kader-kader
yang tidak diragukan lagi kapasitasnya. Setidaknya hal ini yang menjadi
inspirasi bagi kader era sekarang guna melanjutkan generasi sebelumnya.
[1] Marwan Saridjo, Cak
Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab,
(Jakarta: Penamadani, 2005), h. 23
[2] Nurcholish Madjid, Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), h. 228-229
[3] Budhy Munawar Rahman,
Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat,
2008), h. 23.
[4] Marwan Saridjo, Cak
Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, h. 30
[5] AM. Fatwa, Cacatan
Awal Berdirinya dan Dinamika Aktivitas HMI Cabang Ciputat, dalam Membingkai
Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, (Ciputat: UIN
Jakarta Press), h. 10
[6] Adian Husaini, Nurcholish
Madjid, Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, (Jakarta: Khairul Bayan
Press, 2005), h. 98
[7] Adian Husaini, Nurcholish
Madjid, Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, h. 45
[8] Buku tersebut ditulis
antara lain oleh: Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Mustofa Bisri,
Djohan Efendi, Dawam Raharjo dll.
[9] Husein Muhammad, Mengaji
Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung: Mizan, 2011), h. 63
[10] Pemikiran Cak Nur di
Mata Cendekiawan, Harian Merdeka 06 Juli 1997, h. 4
[11] AM. Fatwa, Cacatan
Awal Berdirinya dan Dinamika Aktivitas HMI Cabang Ciputat, dalam Membingkai
Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, h. 8
[12] Sederet nama seperti
Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bahtiar Efendy, Burhanuddin Muhtadi, Saiful
Mujani dll kerap menjadi narasumber di berbagai acara di televisi.
[13] Eko Arisandi,
Setengah Abad HMI Cabang Ciputat Langkah Awal Kader Ciputat Merekam Jejak,
dalam Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat,
h. 279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar