Minggu, 29 Desember 2013

Pemilu 2014, Perang Antara “Muka Lama” dan “Muka Baru” (Refleksi Akhir Tahun 2013 Menuju 2014)

Oleh: Ali Thaufan DS

Semakin mendekatnya gelaran pemilu legislatif dan presiden, media menyibukkan diri dengan bahasan, analisa hingga iklan terkait pemilu. Berita seputar pemilu menjadi rubrik tersendiri dalam beberapa media baik cetak dan elektronik. Ya, tidak ada yang salah. Media menjadi motor pemberitaan seputar pemilu. Kalaupun media dianggap terkooptasi kepentingan politik, yang terpenting adalah informasi suguhan media. Publik dapat mencerna dan menerimanya.

Salah satu yang menjadi bahasan menarik pemberitaan media adalah wacana calon presiden lama “muka lama” dan calon presiden muda “muka baru”. Singkatnya, capres lama adalah para kontestan capres pada pemilu 2009 atau tokoh nasional lama. Sedangkan capres muda adalah orang-orang yang secara kualitas sudah teruji, dan belum pernah mewarnai pemilu presiden 2009 lalu. Sebagian pengamat politik yang mendukung munculnya capres muda juga “mendefinisikan” bahwa pemimpin daerah yang berprestasi dianggap mampu untuk menjadi pemimpin Indonesia. Diskursus ini muncul karena capres lama dianggap tidak mampu menjawab problematika Indonesia.

Namun, tak seperti semudah membalikkan telapak tangan, capres muda akan mendapat banyak tantangan dan hambatan. Hambatan utama bisa datang dari tradisi partai politik yang terlalu “kaku”. Dalam tradisi partai politik Indonesia, seorang ketua umum partai dapat dinyatakan memegang “tiket nyapres” dari partai. Mengingat salah satu syarat mencalonkan presiden adalah diusung oleh partai politik. Capres muda akan mendapat “diskriminasi politik” dari muka-muka lama. Ia akan terus dikebiri dengan isu-isu kurang pengalaman serta tidak mempunyai hubungan diplomatis dengan luar negeri. Sekedar catatan, siapapun calon presiden Indonesia, ia harus punya restu dari negara tetangga atau bahkan negara adikuasa. Fakta tersebut di atas dapat dilihat dalam konteks perpolitikan Indonesia saat ini.

Kebosanan sebagian pihak atas munculnya capres muka lama kini mendapat jawaban dan dukungan. Dukungan tersebut datang dari berbagai survei yang menginginkan munculnya capres baru. Tentu saja, survei-survei yang menawarkan capres baru akan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat akan kebutuhan pemimpin baru dan muda. Survei terbaru dirilis oleh Lembaga Psikologi Universitas Indonesia, yang menyatakan penolakan terhadap capres muka lama. Nama-nama capres yang tertolak seperti: Prabowo Subianto, Megawati, Aburizal Bakrie, Wiranto dan juga Rhoma Irama.

Penayangan di televisi atas prestasi dan kinerja pemimpin daerah dirasa penting. Terlepas dari anggapan pencitraan, tetapi temuan itu bisa dijadikan fakta lapangan. Prestasi mereka juga dapat membuka mata masyarakat, bahwa Indonesia punya banyak pemimpin berkualitas dari daerah. Dengan demikian, pemilih diarahkan pada pilihan objektif atas pemimpin berprestasi, bukan pemimpin berstatus ketua partai. Beberapa mana baru yang disodorkan oleh Lembaga Psikologi Universitas Indonesia sebagai capres muda adalah: Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini dan Anies Baswedan. Nama-nama tersebut punya segudang prestasi dibidang yang digeluti masing-masing


Trend pemilu 2014 medatang adalah perang antara “muka lama” dan “muka baru”. Kenyataan tersebut sulit dilenyapkan. Muka lama merasa berpengalaman dan paling bisa, sehingga tak memberi kesempatan pada muka baru. Hal ini dapat dilihat bahwa calon anggota legislatif pada pemilu 2014, 80 persen adalah anggota legislatif sekarang. Begitu pula para kandidat capres yang muncul, rata-rata mereka muka lama dan ketua/petinggi partai politik. Sepatutnya partai politik harus lebih jeli dalam penetapan capres. Salah satunya adalah mendengarkan aspirasi masyarakat dalam penentuannya. Bukan sekedar perhitungan sebagai ketua umum partai saja dalam penetapan capres. Masyarakat berharap pada pemilu 2014 akan melahirkan pemimpin baru yang memberikan langkah kongkrit dalam penyelesaian problem bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar