Oleh: Ali Thaufan DS
Semakin mendekatnya gelaran pemilu legislatif dan presiden, media
menyibukkan diri dengan bahasan, analisa hingga iklan terkait pemilu. Berita seputar
pemilu menjadi rubrik tersendiri dalam beberapa media baik cetak dan
elektronik. Ya, tidak ada yang salah. Media menjadi motor pemberitaan seputar
pemilu. Kalaupun media dianggap terkooptasi kepentingan politik, yang
terpenting adalah informasi suguhan media. Publik dapat mencerna dan
menerimanya.
Salah satu yang menjadi bahasan menarik pemberitaan media adalah wacana
calon presiden lama “muka lama” dan calon presiden muda “muka baru”. Singkatnya,
capres lama adalah para kontestan capres pada pemilu 2009 atau tokoh nasional
lama. Sedangkan capres muda adalah orang-orang yang secara kualitas sudah teruji,
dan belum pernah mewarnai pemilu presiden 2009 lalu. Sebagian pengamat politik
yang mendukung munculnya capres muda juga “mendefinisikan” bahwa pemimpin
daerah yang berprestasi dianggap mampu untuk menjadi pemimpin Indonesia. Diskursus
ini muncul karena capres lama dianggap tidak mampu menjawab problematika
Indonesia.
Namun, tak seperti semudah membalikkan telapak tangan, capres muda
akan mendapat banyak tantangan dan hambatan. Hambatan utama bisa datang dari
tradisi partai politik yang terlalu “kaku”. Dalam tradisi partai politik
Indonesia, seorang ketua umum partai dapat dinyatakan memegang “tiket nyapres”
dari partai. Mengingat salah satu syarat mencalonkan presiden adalah diusung
oleh partai politik. Capres muda akan mendapat “diskriminasi politik” dari
muka-muka lama. Ia akan terus dikebiri dengan isu-isu kurang pengalaman serta
tidak mempunyai hubungan diplomatis dengan luar negeri. Sekedar catatan,
siapapun calon presiden Indonesia, ia harus punya restu dari negara tetangga
atau bahkan negara adikuasa. Fakta tersebut di atas dapat dilihat dalam konteks
perpolitikan Indonesia saat ini.
Kebosanan sebagian pihak atas munculnya capres muka lama kini mendapat
jawaban dan dukungan. Dukungan tersebut datang dari berbagai survei yang menginginkan
munculnya capres baru. Tentu saja, survei-survei yang menawarkan capres baru
akan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat akan kebutuhan pemimpin baru dan muda.
Survei terbaru dirilis oleh Lembaga Psikologi Universitas Indonesia, yang
menyatakan penolakan terhadap capres muka lama. Nama-nama capres yang tertolak
seperti: Prabowo Subianto, Megawati, Aburizal Bakrie, Wiranto dan juga Rhoma
Irama.
Penayangan di televisi atas prestasi dan kinerja pemimpin daerah dirasa
penting. Terlepas dari anggapan pencitraan, tetapi temuan itu bisa dijadikan
fakta lapangan. Prestasi mereka juga dapat membuka mata masyarakat, bahwa
Indonesia punya banyak pemimpin berkualitas dari daerah. Dengan demikian,
pemilih diarahkan pada pilihan objektif atas pemimpin berprestasi, bukan
pemimpin berstatus ketua partai. Beberapa mana baru yang disodorkan oleh Lembaga
Psikologi Universitas Indonesia sebagai capres muda adalah: Joko Widodo, Basuki
Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini dan Anies Baswedan. Nama-nama tersebut punya
segudang prestasi dibidang yang digeluti masing-masing
Trend pemilu 2014 medatang adalah perang antara “muka lama” dan “muka
baru”. Kenyataan tersebut sulit dilenyapkan. Muka lama merasa berpengalaman dan
paling bisa, sehingga tak memberi kesempatan pada muka baru. Hal ini dapat dilihat
bahwa calon anggota legislatif pada pemilu 2014, 80 persen adalah anggota
legislatif sekarang. Begitu pula para kandidat capres yang muncul, rata-rata
mereka muka lama dan ketua/petinggi partai politik. Sepatutnya partai politik harus
lebih jeli dalam penetapan capres. Salah satunya adalah mendengarkan aspirasi
masyarakat dalam penentuannya. Bukan sekedar perhitungan sebagai ketua umum
partai saja dalam penetapan capres. Masyarakat berharap pada pemilu 2014 akan
melahirkan pemimpin baru yang memberikan langkah kongkrit dalam penyelesaian
problem bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar