Oleh: Ali Topan Ds
Tidak lama setelah saya membeli
buku “Janji Kebangsaan Kita: Kumpulan Esai Sosial-Politik Karya Anas
Urbaningrum, segera saya menunjukkan kepada beberapa rekan diskusi saya. Ada yang
memberi tanggapan positif dan juga negatif. Mereka yang “sinis” beranggapan
negatif beralasan bahwa untuk apa membaca buku karya Anas? Sedangkan ia sendiri
orang yang sedang bermasalah (terlibat kasus hukum). Bagi saya tanggapan itu
tidak menjadi masalah yang berarti. Hal ini tidak akan menyurutkan saya untuk
membaca buku karya Cak Anas. Siapapun boleh menilia Cak Anas dengan A,B,C dan
seterusnya. Bagi saya sederhana dalam menanggapi. Saya menganalogikan: saat banyak
masyarakat Indonesia yang mengutuk paham komunis, tetapi buku-buku “berbau” Marxis
ataupun Lenin menjadi santapan bacaan banyak kalangan mahasiswa. Demikian juga
saya pikir berlaku saat membaca buku Cak Anas.
Membaca buku Cak Anas di atas,
saya merasa sedang mendegarkan tutur bicara, pidato, ceramah atau bahkan
nasehatnya. Beberapa pikiran Cak Anas membuat saya seperti mendapat surprice
pengetahuan. Saya mencoba menarik kesimpulan atas buku di atas menjadi tiga hal
penting yakni: pikiran Cak Anas terkait politik, sosial, keagamaan.
Pada bab pertama buku tersebut,
Cak Anas menulis judul “Membangun Kepercayaan”. Ia sepertinya berpesan pada
khalayak agar tidak sempit memandang politik. Banyak orang apatis terhadap
politik. Cak Anas mengajak pembaca agar menilai politik dari apa manfaat yang
lebih besar yang diperoleh, tidak memandang politik sebagai “apa mendapat apa”.
Kegelisahan melihat keadaan
politik saat ini kemudia menyentuh Cak Anas untuk turut memberi kontribusi
pikirannya. Ia menyodorkan sebuah konsep yang kemudian populer dengan “meritokrasi
politik”. Baginya, meritokrasi politik adalah jawaban atas kekhawatiran SBY
terhadap politik uang dan figur “dewa” yang kuat di era demokrasi. Meritokrasi politik
bagi Cak Anas akan melahirkan pemimpin yang melalui tempaan, bukan ujug-ujug
(tiba-tiba) datang. Meritokrasi politik inilah yang menurut saya ujung dari
pemikiran politik Cak Anas melihat keadaan politik nasional saat ini.
Jika sebuah negara telah
menjalankan sistem politik dengan baik, maka hal ini akan berimplikasi terhadap
keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian sebuah negara-bangsa tersebut. Menurut
Cak Anas, Indonesia sedang menuju kearah sana. Karenanya, dibutuhkan semangat
kebersamaan dan komitmen dalam mewujudkan cita-cita itu.
Terkait isu-isu sosial, Cak Anas
menyoroti keadaan genting yang bernah terjadi akibat teror. Ia mendorong kerja
ekstra dilakukan pihak berwajib (kepolisian dan intelijen) agar mampu mengusut
dan menindak aksi tersebut. Aksi tersebut tentu saja memegaruhi kondisi
psikologis banyak orang dan menganggu rasa aman. Isu-isu sosial lainnya yang
disinggung Cak Anas adalah voluntarisme. Baginya, sikap saling membatu dan
meringankan beban terhadap sesama adalah bagian terciptanya masyarakat
demokratis yang ideal. Saya membaca Cak Anas bahwa prinsip “gotong-royong” adalah
hal penting dalam berdemokrasi secara sehat.
Satu hal lagi yang menjadi konsen
Cak Anas dalam bukunya adalah soal keagamaan. Cak Anas menaruh perhatian lebih
terhadap isu agama minor seperti Tionghoa. Melalui tulisan yang berjudul “Imlek
Untuk Indonesia”, Cak Anas seakan mengingatkan pembaca, bahwa mereka –etnis Tionghoa-
juga menjadi unsur penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Menurutnya,
kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang melegalkan Tionghoa adalah sesuai
dengan semangat kebhinekaan.
Soratan Cak Anas terhadap prilaku
kehidupan masyarakat agama Hindu di Bali juga menarik untuk dibaca. Pola hidup
yang penuh harmoni dilakukan masyarakat Bali. Dalam pandangan Cak Anas,
masyarakat Bali adalah masyarakat yang menghargai perbedaan dan menjadikan
perbedaan tersebut menjadi sesuatu budaya yang indah dan bernilai. Mereka –Masyarakat
bali- menerapkan apa yang disebut dengan Tri Hita Karana, yakni tiga hal
sumber kebahagiaan hidup. Tiga hal tersebut adalah: hubungan yang harmoni
antara manusia dengan Tuhan; manusia dengan manusia; dan manusia dengan
lingkungannya. Karenanya, Cak Anas menjadikan pola kehidupan Bali sebagai pola
kehidupan yang cocok diterapkan dalam konteks keindonesiaan yang plural
(kemajemukan budaya yang ada).
Bahasan terkait keagamaan lainnya
disinggung Cak Anas berkaitan dengan momen penting hari besar Islam seperti:
puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Bagi Cak Anas, puasa adalah meletakkan orang
yang mengerjakannya pada titik nol. Titik nol setiap shaim yang
melakukan ibadah dengan tidak makan dan minum. Berkaitan dengan tradisi Idul
Fitri, Cak Anas menyoroti tradisi mudik yang menjadi fenomena menarik tiap
datangnya Idul Fitri. Mengutip pendapat Cak Nur, Cak Anas memaknai mudik tidak
sekedar pulang jasmani saja, melainkan juga pulang (kampung) rohani. Kebersamaan
bersama keluarga tiada harganya.
Catatan menarik dari buku
tersebut adalah pilihan Cak Anas terjun sebagai politisi. Ia tidak menapik
bahwa ia terinspirasi oleh konsep Cak Nur dengan “berpolitik dengan gagasan”;
Ali Shariati dengan “rausyan fikr” (pemikiran yang tercerahkan); serta Antonio
Gramsci dengan “intelektual tradisional-organik”. Cak Anas seolah ingin
mengabungkan sikap politik yang didasari pemikiran dan kekuatan intelektual
yang baik. Tentulah, siapapun yang membaca buku tersebut akan mempunyai
pandangan lain terhadap pembacaan seorang Anas Urbaningrum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar