Selasa, 10 Desember 2013

Membaca Anas Urbaningrum (Pembacaan Atas Buku “Janji Kebangsaan Kita: Kumpulan Esai Sosial-Politik Karya Anas Urbaningrum)

Oleh: Ali Topan Ds

Tidak lama setelah saya membeli buku “Janji Kebangsaan Kita: Kumpulan Esai Sosial-Politik Karya Anas Urbaningrum, segera saya menunjukkan kepada beberapa rekan diskusi saya. Ada yang memberi tanggapan positif dan juga negatif. Mereka yang “sinis” beranggapan negatif beralasan bahwa untuk apa membaca buku karya Anas? Sedangkan ia sendiri orang yang sedang bermasalah (terlibat kasus hukum). Bagi saya tanggapan itu tidak menjadi masalah yang berarti. Hal ini tidak akan menyurutkan saya untuk membaca buku karya Cak Anas. Siapapun boleh menilia Cak Anas dengan A,B,C dan seterusnya. Bagi saya sederhana dalam menanggapi. Saya menganalogikan: saat banyak masyarakat Indonesia yang mengutuk paham komunis, tetapi buku-buku “berbau” Marxis ataupun Lenin menjadi santapan bacaan banyak kalangan mahasiswa. Demikian juga saya pikir berlaku saat membaca buku Cak Anas.

Membaca buku Cak Anas di atas, saya merasa sedang mendegarkan tutur bicara, pidato, ceramah atau bahkan nasehatnya. Beberapa pikiran Cak Anas membuat saya seperti mendapat surprice pengetahuan. Saya mencoba menarik kesimpulan atas buku di atas menjadi tiga hal penting yakni: pikiran Cak Anas terkait politik, sosial, keagamaan.

Pada bab pertama buku tersebut, Cak Anas menulis judul “Membangun Kepercayaan”. Ia sepertinya berpesan pada khalayak agar tidak sempit memandang politik. Banyak orang apatis terhadap politik. Cak Anas mengajak pembaca agar menilai politik dari apa manfaat yang lebih besar yang diperoleh, tidak memandang politik sebagai “apa mendapat apa”.

Kegelisahan melihat keadaan politik saat ini kemudia menyentuh Cak Anas untuk turut memberi kontribusi pikirannya. Ia menyodorkan sebuah konsep yang kemudian populer dengan “meritokrasi politik”. Baginya, meritokrasi politik adalah jawaban atas kekhawatiran SBY terhadap politik uang dan figur “dewa” yang kuat di era demokrasi. Meritokrasi politik bagi Cak Anas akan melahirkan pemimpin yang melalui tempaan, bukan ujug-ujug (tiba-tiba) datang. Meritokrasi politik inilah yang menurut saya ujung dari pemikiran politik Cak Anas melihat keadaan politik nasional saat ini.

Jika sebuah negara telah menjalankan sistem politik dengan baik, maka hal ini akan berimplikasi terhadap keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian sebuah negara-bangsa tersebut. Menurut Cak Anas, Indonesia sedang menuju kearah sana. Karenanya, dibutuhkan semangat kebersamaan dan komitmen dalam mewujudkan cita-cita itu.

Terkait isu-isu sosial, Cak Anas menyoroti keadaan genting yang bernah terjadi akibat teror. Ia mendorong kerja ekstra dilakukan pihak berwajib (kepolisian dan intelijen) agar mampu mengusut dan menindak aksi tersebut. Aksi tersebut tentu saja memegaruhi kondisi psikologis banyak orang dan menganggu rasa aman. Isu-isu sosial lainnya yang disinggung Cak Anas adalah voluntarisme. Baginya, sikap saling membatu dan meringankan beban terhadap sesama adalah bagian terciptanya masyarakat demokratis yang ideal. Saya membaca Cak Anas bahwa prinsip “gotong-royong” adalah hal penting dalam berdemokrasi secara sehat.

Satu hal lagi yang menjadi konsen Cak Anas dalam bukunya adalah soal keagamaan. Cak Anas menaruh perhatian lebih terhadap isu agama minor seperti Tionghoa. Melalui tulisan yang berjudul “Imlek Untuk Indonesia”, Cak Anas seakan mengingatkan pembaca, bahwa mereka –etnis Tionghoa- juga menjadi unsur penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang melegalkan Tionghoa adalah sesuai dengan semangat kebhinekaan.

Soratan Cak Anas terhadap prilaku kehidupan masyarakat agama Hindu di Bali juga menarik untuk dibaca. Pola hidup yang penuh harmoni dilakukan masyarakat Bali. Dalam pandangan Cak Anas, masyarakat Bali adalah masyarakat yang menghargai perbedaan dan menjadikan perbedaan tersebut menjadi sesuatu budaya yang indah dan bernilai. Mereka –Masyarakat bali- menerapkan apa yang disebut dengan Tri Hita Karana, yakni tiga hal sumber kebahagiaan hidup. Tiga hal tersebut adalah: hubungan yang harmoni antara manusia dengan Tuhan; manusia dengan manusia; dan manusia dengan lingkungannya. Karenanya, Cak Anas menjadikan pola kehidupan Bali sebagai pola kehidupan yang cocok diterapkan dalam konteks keindonesiaan yang plural (kemajemukan budaya yang ada).

Bahasan terkait keagamaan lainnya disinggung Cak Anas berkaitan dengan momen penting hari besar Islam seperti: puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Bagi Cak Anas, puasa adalah meletakkan orang yang mengerjakannya pada titik nol. Titik nol setiap shaim yang melakukan ibadah dengan tidak makan dan minum. Berkaitan dengan tradisi Idul Fitri, Cak Anas menyoroti tradisi mudik yang menjadi fenomena menarik tiap datangnya Idul Fitri. Mengutip pendapat Cak Nur, Cak Anas memaknai mudik tidak sekedar pulang jasmani saja, melainkan juga pulang (kampung) rohani. Kebersamaan bersama keluarga tiada harganya.


Catatan menarik dari buku tersebut adalah pilihan Cak Anas terjun sebagai politisi. Ia tidak menapik bahwa ia terinspirasi oleh konsep Cak Nur dengan “berpolitik dengan gagasan”; Ali Shariati dengan “rausyan fikr” (pemikiran yang tercerahkan); serta Antonio Gramsci dengan “intelektual tradisional-organik”. Cak Anas seolah ingin mengabungkan sikap politik yang didasari pemikiran dan kekuatan intelektual yang baik. Tentulah, siapapun yang membaca buku tersebut akan mempunyai pandangan lain terhadap pembacaan seorang Anas Urbaningrum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar