Rabu, 30 Desember 2015

Pilkada Serentak, Is Not Konflik Serentak

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada 9 Desember tahun 2015, Indonesia akan mencatat sejarah baru Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar serentak. Sebanyak 269 daerah akan menggelar pesta demokrasi, memilih kepala daerah baru. Di jalan, foto dan spanduk para kandidat calon pemimpin daerah tersebut berderet menghias –meski kadang terlihat menganggu. Harapan besar ada dipundak para pemimpin baru tersebut. Akankah mereka dapat memenuhi harapan rakyatnya? Sementara, bayang-bayang konflik akibat Pilkada terus menghantui. Ini diakibatkan pengalaman penyelenggaraan Pilkada yang selalu melahirkan konflik, kerusuhan. Tulisan ini hadir mencermati persiapan gelaran Pilkada, serta potensi konflik yang ditimbulkannya.

Melalui berbagai sumber media –baik cetak dan elektronik- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memetakan kerawanan dan potensi yang akan terjadi pada Pilkada nanti. Kerawanan tersebut meliputi: kerawanan dari aspek akurasi data pemilih; aspek perlengkapan pemungutan suara; aspek pemberian uang (politik uang); aspek keterlibatan penyelenggara negara; dan aspek kepatuhan terhadap tata cara pemungutan dan penghitungan. Kementerian Dalam Negeri juga melakukan pemetaan yang sama. Konflik Pilkada diperkirakan akibat dari ketidaknetralan Pegawai Negeri Sipil (PNS), adanya politik uang, primodialisme, dan lain sebagainya.

Pemetaan potensi konflik ini maklum adanya. Menjelang Pilkada, beberapa pelanggaran kerap didapati. Bawaslu membagi pelanggaran tersebut dalam tiga jenis, yaitu: pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan pelanggaran etika. Hal yang paling menjadi sorotan oleh Bawaslu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada 2 Desember, Bawaslu menyampaikan terdapat 31 pelanggaran yang dilakukan ASN diberbagai daerah. Pelanggaran yang dilakukan ASN ini cukup disayangkan, karena mencederai netralitas yang harusnya dijunjung tinggi oleh ASN.

Berkaitan dengan konflik atau kerusuhan Pilkada, dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pada sejak tahun 2005 hingga 2013, Kemendagri mencatat ada 59 korban jiwa akibat kerusuhan pasca Pilkada. Selain korban jiwa, juga terdapat korban luka, pengerusakan rumah, hingga pengerusakan kantor fasilitas publik. Potensi konflik pada Pilkada kali ini dapat dipastikan akan meningkat karena pelaksanaan Pilkada yang dilangsungkan secara serentak.
Indikasi konflik dan kerusuhan yang akan terjadi pada Pilkada setidaknya dapat tercermin dari beberapa kerusuhan yang terjadi sebelumnya. Dari data yang penulis himpun pada tahun 2015, beberapa kantor KPU mengalami perusakan antara lain: Kantor KPU Kota Mataram; Manggarai Barat, Kabupaten Halmahera Timur. Bahkan, kerusuhan di kantor KPU pun memakan korban, Komisioner KPU di Kabupaten Kapahiang Bengkulu misalnya, ditikam dan dikeroyok massa sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Beberapa data perihal peta konflik di Pilkada 2015, serta catatan konflik yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya patut mendapat perhatian serius bagi masyarakat. Kita tentu tidak menginginkan Pilkada serentak menjadi ajang konflik serentak. Penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU, perlu mengoptimalkan kerja untuk menekan potensi konflik Pilkada. Aparat pengaman (Kepolisian) juga harus jeli melihat “aroma” konflik yang akan terjadi, sehingga mampu meredam potensi tersebut. Pada kandidat yang sudah melakukan “Ikrar Pemilu Damai” harus berani meredam emosi massanya. Dan tentu saja, bagi para pemilih yang menggunakan haknya, harus fair menerima hasil Pilkada tanpa harus melakukan kerusuhan yang merugikan.


Kita berharap Pilkada serentak menjadi momentum perubahan bagi daerah dengan memilih pemimpin baru. Proses-proses Pilkada yang dilakukan dengan baik dan sesuai prosedur, akan menghasilkan Pilkada yang baik pula. Dengan demikian, pemimpin yang dilahirkan adalah pemimpin yang berkualitas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar