Senin, 05 Oktober 2015

Pembenahan Penyelenggaraan Haji (Menanti Kebijakan Politik Pemerintah Indonesia)


Oleh: Ali Thaufan DS
 
Bulan September 2015 ini sepertinya menjadi bulan duka bagi para stakeholder penyelenggara haji. Paling tidak hal ini penulis dasarkan pada beberapa hal yakni: diungkapnya “mafia-mafia” haji dalam sidang mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; musibah jatuhnya crane pembangunan masjid Haram; dan aksi dorong-mendorong jamaah di Mina yang menyebabkan lebih dari 700 jamaah tewas –beberapa sumber menyebut lebih dari 1.000 jamaah

Tulisan ini hadir sebagai refleksi musibah yang terjadi selama pelaksanaan ibadah haji di tahun 2015 ini. Musibah tersebut menyebabkan korban jiwa dari berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Peristiwa tersebut menuntut pemerintah untuk membenahi sektor internal penyelenggaraan, serta memberi rekomendasi pemerintah Arab Saudi bagi terlaksananya penyelenggaraan ibadah haji yang baik.

Meningkatnya jumlah jamaah haji setiap tahunnya menuntut pembangunan fasilitas ibadah haji yang lebih besar, salah satunya pembangunan masjid Haram. Pada saat yang bersamaan –waktu pembangunan- cuaca buruk melanda negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Badai pasir kerap terjadi. Dan, badai tersebut merobohkan salah satu crane pembangunan tersebut. Beberapa jamaah pun menjadi korban, 11 jamaah haji Indonesia menjadi korban meninggal dunia. Dalam investigasi kasus robohnya crane, ternyata crane roboh bukan semata karena cuaca, tetapi juga kesalahan kontraktor pembangunan yang tidak mengindahkan aturan. Robohnya crane pembangunan tersebut menyisakan tanda tanya, mengapa terjadi kelalaian dan kecerobohan dalam pembangunan masjid Haram sehingga terjadi korban jiwa?

Peristiwa yang tidak kalah memilukan terjadi pada pelaksanaan ibadah haji 2015 ini adalah saat para jamaah melakukan prosesi lempar jumrah. Ratusan –sebagaian lain menyebut hingga seribuan- korban berjatuhan akibat berdesak-desakan. Sampai penulis menuliskan catatan ini jumlah korban asal Indonesia sebanyak 41 jiwa. Jumlah tersebut diperkirakan masih bertambah mengingat banyaknya jamaah asal Indonesia yang belum ditemukan pasca insiden Mina.

Berbagai spekulasi muncul akibat musibah tersebut. Petugas keamanan yang berada di lapangan tidak tanggap melihat potensi kecelakaan. Membeludaknya jumlah jamaah tidak dibarengi dengan antisipasi jumlah petugas pengamanan. Bahkan beberapa pihak menuding musibah ini akibat kelalaian panitia –dalam hal ini pemerintah Arab Saudi. Penulis tidak ingin terjerumus saling tuding, tetapi yang pasti peristiwa tersebut telah menorehkan tinta buramnya penyelenggaraan haji.

Sebagai catatan, jatuhnya korban jiwa akibat kecelakaan dalam pelaksanaan ibadah haji kali ini bukan hal pertama. Beberapa tahun sebelumnya juga pernah terjadi tragedi yang memakan banyak korban. Data yang penulis himpun dari berbagai sumber mencatat, pada tahun 1990 terjadi tragedi terowongan Mina, jamaah berdesakan dan saling injak. Peristiwa tersebut menyebabkan 1.426 jamaah meninggal. Pada tahun 1997, kebakaran melanda tenda jamaah haji. Musibah tersebut menewaskan sebanyak 340 jamaah dan sekitar 1.500 lainnya luka-luka. Pada tahun 1998, musibah pada 1990 seperti terulang kembali. Saat itu di Mina jamaah saling berdesak dan menyebabkan 180 jamaah meninggal. Selanjutnya pada tahun 2004, sebanyak 251 jamaah meninggal akibat berdesakan saat lempar jumrah.

Musibah yang terjadi kali ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia dalam pembenahan internal penyelenggaraan haji, sekaligus dapat memberi masukan bagi Arab Saudi. Dalam kasus musibah Mina, pemerintah meminta hasil investigasi kepada Arab Saudi terkait musibah tersebut. Setidaknya hasil investigasi tersebut dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan masih musim mendatang, agar musibah yang sama tidak terulang kembali. Terkhusus dugaan adanya “mafia haji” aparat penegak hukum harus mengusut tuntas dugaan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar