Oleh: Ali Thaufan DS
Pada pertengahan Oktober 2015 masyarakat Indonesia disuguhi
dengan wacana atau perdebatan mengenai progam “Bela Negara” yang diprogamkan
pemerintah melalui Kementerian Pertahanan. Penulis sendiri mencermati mengapa
progam tersebut bernama Bela Negara, dan bukan Bela Tanah Air? Dikabarkan,
progam ini menyasar kalangan muda berusia dibawah 25 tahun agar memiliki
semangat nasionalisme dan patriotisme. Namun demikian, progam bela negara ini
bukan tidak penting bagi warga usia lanjut –katakanlah usia 40 ke atas.
Terlebih bagi mereka para pejabat negara. Tulisan ini hadir mencermati
perdebatan pro dan kontra terkait progam tersebut.
Isu tentang progam Bela Negara sebetulnya bukan kali
pertama muncul. Sebelumnya pemerintah pernah menyatakan akan menggalakkan
progam “Wajib Militer” guna membantu pertahanan negara. Dibeberapa negara
seperti Singapura, Rusia dan Korea Selatan, progam Wajib Militer telah
dilakukan. Dugaan penulis, pemerintah Indonesia memprogamkan Bela Negara adalah
untuk meniru dan memodifikasi apa yang dilakukan negara-negara tersebut di
atas.
Progam Bela Negara pada tahap awal rencananya akan
membentuk sekitar 4.500 kader Pembina Bela Negara yang nantinya akan mengabdi
di 45 Kabupaten/Kota se-Indonesia. Mereka akan menjadi cikal bakal lahirnya
kader-kader Bela Negara selanjutnya. Pemerintah akan menggelar progam tersebut
hingga tahun 2025 dengan target sebanyak 100 juta rakyat Indonesia menjadi
kader Bela Negara. Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemenhan menyebutkan bahwa
materi Bela Negara meliputi: Pemahaman empat pilar negara; sistem pertahanan
semesta; serta pengenalan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) TNI. Bela
Negara dimaksud bukan semata angkat senjata, tetapi juga penanaman nasionalisme
dan cinta Tanah Air. Tentu saja progam tersebut sangat “mulia” mengingat upaya
Kemenhan untuk mengajak rakyat Indonesia mengenal, mencintai dan mengaja NKRI.
Namun demikian, langkah pemerintah melalui Kemenhan
tersebut dinilai berlebihan. Terlebih, payung hukum yang memayungi belum ada.
Selain itu, banyak pihak mempertanyakan alokasi anggaran yang akan digunakan
untuk progam Bela Negara. Di negara republik seperti Indonesia ini, segala
keputusan pemerintah yang tidak didasari Undang-Undang akan bermasalah
dikemudian hari. Oleh karenanya, berbagai pihak yang berkepentingan terus
mendesak agar progam Bela Negara memiliki Undang-Undang sebagai payung hukum.
Terlepas dari pro dan kontra, penulis memposisikan diri,
dan secara penuh mendukung progam Bela Negara ini. Tetapi, progam ini jangan
hanya menyasar generasi muda, yang tua pun perlu mendapat progam ini, terlebih
para pejabat negara. Mereka yang seharusnya terlebih dahulu mendapat “doktrin”
Bela Negara. Mengutip apa yang disampaikan Syafi’i Ma’arif, bahwa progam Bela
Negara tidak akan berarti apa-apa tanpa keteladanan pemimpin negara ini.
Jika
negara ini ingin bersungguh-sungguh dan serius dalam Bela Negara, maka seluruh
komponen bangsa harus terlibat, mulai dari rakyat kecil hingga Presiden. Para
pejabat negara dan pengambil keputusan wajib hukumnya untuk memahami secara
utuh empat pilar negara yang menjadi materi Bela Negara. Bela Negara harus
menjadi arus utama pemikiran mereka. Hal ini akan mendorong munculnya
nasionalisme kolektif. Ini semua dimaksud agar aset-aset negara tak mudah
digadai kepada pihak Asing. Sungguh tidak bijak rasanya jika anak-anak muda
berjibaku menanamkan Bela Negara, tetapi pada saat yang sama, para pejabat
dengan mudah “menjual” aset bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar