Senin, 19 Oktober 2015

Bela Negara, Jangan Salah Sasaran

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada pertengahan Oktober 2015 masyarakat Indonesia disuguhi dengan wacana atau perdebatan mengenai progam “Bela Negara” yang diprogamkan pemerintah melalui Kementerian Pertahanan. Penulis sendiri mencermati mengapa progam tersebut bernama Bela Negara, dan bukan Bela Tanah Air? Dikabarkan, progam ini menyasar kalangan muda berusia dibawah 25 tahun agar memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme. Namun demikian, progam bela negara ini bukan tidak penting bagi warga usia lanjut –katakanlah usia 40 ke atas. Terlebih bagi mereka para pejabat negara. Tulisan ini hadir mencermati perdebatan pro dan kontra terkait progam tersebut.

Isu tentang progam Bela Negara sebetulnya bukan kali pertama muncul. Sebelumnya pemerintah pernah menyatakan akan menggalakkan progam “Wajib Militer” guna membantu pertahanan negara. Dibeberapa negara seperti Singapura, Rusia dan Korea Selatan, progam Wajib Militer telah dilakukan. Dugaan penulis, pemerintah Indonesia memprogamkan Bela Negara adalah untuk meniru dan memodifikasi apa yang dilakukan negara-negara tersebut di atas.

Progam Bela Negara pada tahap awal rencananya akan membentuk sekitar 4.500 kader Pembina Bela Negara yang nantinya akan mengabdi di 45 Kabupaten/Kota se-Indonesia. Mereka akan menjadi cikal bakal lahirnya kader-kader Bela Negara selanjutnya. Pemerintah akan menggelar progam tersebut hingga tahun 2025 dengan target sebanyak 100 juta rakyat Indonesia menjadi kader Bela Negara. Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemenhan menyebutkan bahwa materi Bela Negara meliputi: Pemahaman empat pilar negara; sistem pertahanan semesta; serta pengenalan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) TNI. Bela Negara dimaksud bukan semata angkat senjata, tetapi juga penanaman nasionalisme dan cinta Tanah Air. Tentu saja progam tersebut sangat “mulia” mengingat upaya Kemenhan untuk mengajak rakyat Indonesia mengenal, mencintai dan mengaja NKRI.

Namun demikian, langkah pemerintah melalui Kemenhan tersebut dinilai berlebihan. Terlebih, payung hukum yang memayungi belum ada. Selain itu, banyak pihak mempertanyakan alokasi anggaran yang akan digunakan untuk progam Bela Negara. Di negara republik seperti Indonesia ini, segala keputusan pemerintah yang tidak didasari Undang-Undang akan bermasalah dikemudian hari. Oleh karenanya, berbagai pihak yang berkepentingan terus mendesak agar progam Bela Negara memiliki Undang-Undang sebagai payung hukum.

Terlepas dari pro dan kontra, penulis memposisikan diri, dan secara penuh mendukung progam Bela Negara ini. Tetapi, progam ini jangan hanya menyasar generasi muda, yang tua pun perlu mendapat progam ini, terlebih para pejabat negara. Mereka yang seharusnya terlebih dahulu mendapat “doktrin” Bela Negara. Mengutip apa yang disampaikan Syafi’i Ma’arif, bahwa progam Bela Negara tidak akan berarti apa-apa tanpa keteladanan pemimpin negara ini.

Jika negara ini ingin bersungguh-sungguh dan serius dalam Bela Negara, maka seluruh komponen bangsa harus terlibat, mulai dari rakyat kecil hingga Presiden. Para pejabat negara dan pengambil keputusan wajib hukumnya untuk memahami secara utuh empat pilar negara yang menjadi materi Bela Negara. Bela Negara harus menjadi arus utama pemikiran mereka. Hal ini akan mendorong munculnya nasionalisme kolektif. Ini semua dimaksud agar aset-aset negara tak mudah digadai kepada pihak Asing. Sungguh tidak bijak rasanya jika anak-anak muda berjibaku menanamkan Bela Negara, tetapi pada saat yang sama, para pejabat dengan mudah “menjual” aset bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar