Rabu, 28 Oktober 2015

Pak Jokowi, Asap dan Balutan Media



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Ada yang beda Oktober 2015 kali ini dengan Oktober tahun-tahun sebelumnya. Kebakaran hutan dan lahan gambut –yang terjadi bahkan sebelum Oktober- mengakibatkan asap yang mengotori langit-langit Indonesia. Seperti diberitakan banyak media, pantauan satelit memotret betapa kotornya udara di sebagian wilayah Indonesia, utamanya Kalimantan dan Sumatera. Kabut asap akibat oknum bejat yang sengaja membakar hutan dan lahan tersebut mengakibatkan bencana skala nasional –meski pemerintah tak menyebut bencana asap ini dengan status bencana nasional. 

Bencana asap mengundang keprihatinan banyak pihak, elemen masyarakat, dan tentu saja Presiden Joko Widodo. Berbagai upaya pemadaman dengan menggunakan perangkat negara telah dilakukan. Bahkan, Presiden pun langsung meninjau beberapa lokasi kebakaran. Berbagai komentar bermunculan saat Presiden turun langsung meninjau lokasi kebakaran, dari positif hingga negatif. Tulisan ini berupaya mencermati –atau sekedar mendeskripsikan saja- kerja Presiden Jokowi yang meninjau lokasi kebakaran, serta balutan media yang mengemasnya dalam sebuah berita. Beberapa langkah yang diambil Jokowi dalam penyelesaian kebakaran hutan (bencana asap) menjadi kontroversi manakala media membuntuti. Ia dianggap membangun citra positif semata. 

Kebakaran hutan dan asap yang diakibatkannya menjadi pukulan hebat masyarakat Indonesia, khususnya yang terpapar asap. Betapa tidak, aktivitas warga terganggu, beberapa sekolah diliburkan, serta rumah sakit kebanjiran pasien infeksi pernapasan akibat asap. Duka kabut asap memuncak ketika korban mulai berjatuhan. Semua orang berteriak “dimana negara?”, dan “apa peran negara dalam mengatasi kebakaran dan bencana asap ini”. Bagi penulis, tidak bijak rasanya menyalahkan negara semata. Pasalnya, negara tak pernah menghendaki pembakaran hutan dan lahan. Tetapi oknum-oknum bejat dalam negara inilah yang sengaja membakar. Maka pantas kiranya kita membuat pernyataan: “untuk apa bersusah payah memadamkan api, bukankah kebakaran hutan tersebut memang disengaja (sengaja dibakar)?”.

Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan meninjau langsung lokasi kebakaran. Berbagai arahan dan instruksi diberikan pada para pembantunya (Menteri, TNI, Kapolri dan badan-badan negara yang terkait) untuk sesegera mungkin mengakhiri kebakaran hutan secara serentak ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa presiden bekerja guna memadamkan api dan bencana asap.

Aksi Jokowi dalam upayanya memadamkan kebakaran hutan tak ayal menjadi sorotan media. Berbagai hasil jepretan wartawan dan pengambilan gambar fotografer menjadi hiasan media di tengah duka yang dialami para korban terpapar asap. Blusukan Jokowi dalam upayanya memadamkan api menjadi buah bibir banyak pihak, sebagian menduga sebagai keprihatinan Jokowi, dan sebagian lain menganggap sebagai pencitraan politik semata. Di era demokrasi seperti ini, media memang punya peran sebagai kontrol negara. Melalui media, masyarakat dapat melakukan kontrol kerja presiden dalam mengatasi bencana asap. Namun perlu diperhatikan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi kebalikannya, media mendapat kontrol penguasa. Keterbukaan media menjadi peluang bagi para penguasa negara untuk membangun citranya sesuai yang diinginkan.

Upaya yang dilakukan Presiden Jokowi dalam menangani kebakaran hutan dan asap memang patut diaspresiasi. Kemasan media dalam memberitakan aksi Jokowi cukup kreatif. Hal ini menjadi daya pikat –mengundang beragam komentar- dari pembaca. Terlepas dari komentar positif ataupun negatif, pemberitaan tersebut menjadi poin penting bagi citra presiden Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar