Oleh: Ali
Thaufan DS
Nama Salim –yang
akrab dengan sebutan Kancil- seketika mendunia. Ia menjadi pahlawan lingkungan hidup
saat di desanya terjadi tambang pasir ilegal yang merugikan banyak orang,
terutama petani. Perjuangan Salim akhirnya berakhir setelah ia dibunuh
sekelompok orang yang pro dengan aktivitas tambang pasir ilegal. Jasad Salim telah tiada, tetapi
semangatnya akan melahirkan “Salim-Salim” lainnya. Tulisan ini hadir mengulas
peristiwa kejamnya pembunuhan terhadap Salim –yang mengaja kampung halamannya
dari kerusakan lingkungan. Aparat penegak hukum turut pula menjadi sorotan
setelah muncul dugaan ada pembiaran upaya pembunuhan Salim.
Selok
Awar-Awar merupakan sebuah desa di Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Di desa
tersebut terdapat kekayaan alam berupa pasir hasil muntahan Gunung Semeru. Kekayaan
alam tersebut tentu saja menjadi berkah bagi warga desa. Walhi Jawa Timur
memaparkan bahwa aktivitas tambang pasir
di desa tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh sebab itu tambang
tersebut menjadi “primadona” yang hendak meraup untung, meski dengan cara haram
sekalipun. Keserakahan beberapa pihak membuat kekayaan alam justru menjadi
bencana. (Majalah Tempo edisi 5-11 Oktober).
Aktivitas tambang
pasir di desa tersebut bermula dari janji kepala desa, Hariyono, yang akan
membuka tempat wisata pantai. Tetapi kenyataan yang terjadi jauh dari bayangan
warga desa, warga melihat aktivitas tambang pasir dilokasi yang sebelumnya akan
dibangun tempat wisata. Keberadaan tambang pasir ilegal tersebut menjadi
bencana bagi sebagian petani karena lahan pertanian mengalami kerusakan. Aktivitas
truk pengangkut pasir yang bolak balik
juga membuat jalan rusak.
Ingkar janji
kepala desa membuat geram sebagian warganya. Mereka kemudian menuntut agar
tambang pasir ilegal dihentikan. Beberapa warga yang peduli lingkungan serta
mengalami kerugian lahan pertaniannya menggalang dukungan mendesak penutupan aktivitas
tambang. Dibentuklah forum masyarakat peduli pesisir (FKMPP) Selok Awar-Awar. Keberadaan
FKMPP tersebut ternyata melahirkan pro dan kontra. Sebagian warga mendukung
penghentian aktivitas tambang pasir liar, tetapi sebagian lainnya justru menolak
penghentian tambang tersebut. Diduga, warga yang menolak penghentian aktivitas
tambang pasir merasa terancam pendapatan penghidupannya. Dan, mereka
diuntungkan dengan backing kepala
desa.
Aktor utama
FKMMP antara lain Tosan dan Salim terus mendesak agar tambang liar segera
dihentikan. Dukungan warga pelan dan pasti terus mengalir. Tetapi pada saat
yang sama, pihak-pihak yang mendukung tambang terus mengintimidasi mereka. Ancaman
pembunuhan pun kerap dirasakan para penggerak FKMMP. Mereka pun melaporkan
ancaman tersebut tetapi tak digubris pihak aparat hukum (Polisi). Sabtu 26
September 2015 adalah hari pilu bagi FKMMP. Dua penggerak mereka harus menjadi
sasaran kemarahan pihak yang mendukung tambang liar. Salim dianiaya secara
kejam dan akhirnya tewas. Sementara Tosan yang dianiaya dengan cara yang kejam
akhirnya selamat.
Peristiwa pembunuhan
Salim membuka mata keprihatinan banyak pihak. Ia aktivis yang menjunjung tinggi
tegaknya hukum tambang dan menjaga lingkungan. Namun, ia menjadi sasaran
kemarahan orang-orang yang serakah dibalik untung besar tambang pasir liar. Pembunuhan
Salim dan penganiayaan Tosan menyisakan kesan pelayanan yang diberikan Polisi
jauh dari harapan. Mereka yang melaporkan ancaman pembunuhan justru diabaikan
begitu saja. Hal tersebut pula yang memunculkan dugaan keterlibatan aparat
Polisi dalam melindungi keberadaan tambang liar. Kita berharap agar pihak yang
melakukan pembunuhan tersebut mendapat hukuman yang setimpal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar