Oleh: Ali Thaufan DS
Bulan Oktober
tahun 2015 ini sepertinya kembali menjadi bulan ujian bagi komisi pemberantasan
korupsi (KPK). Beberapa anggota DPR mengajukan untuk merevisi Undang-Undang No.
30 Tahun 2002 tentang KPK, dan revisi tersebut dinilai bukan menguatkan KPK,
tetapi justru sebaliknya. Seketika saja mereka yang mengusulkan revisi mendapat
tantangan dari masyarakat luas. Kepiawaian berargumen para pengusul revisi UU
KPK membuat wacana revisi UU tersebut semakin menarik. Pro dan kontra tak bisa
dihindarkan. Lalu, bagaimana masa depan KPK ditengah pro-kontra tersebut?
Akankah ia tetap ada, atau sekedar ada tapi tak bernyawa? Tulisan ini berangkat
dari pembacaan berbagai berita seputar rencana revisi UU KPK yang dinilai akan
melemahkan tugas dan fungsi KPK yang selama ini menjadi “Singa Garang” pengejar
koruptor. Penulis memilih diksi “mengekpret” karena “kepret” dalam dunia
persilatan mengandung makna menyerang. Penulis mencoba mengadopsi kata tersebut
konteks apa yang menimpa KPK saat ini, KPK sedang diserang dan dilemahkan.
Berdasarkan data-data
yang penulis himpun, upaya-upaya pelemahan KPK bukan terjadi saat ini saja.
Pada tahun 2014 “kegagahan” KPK sempat dikoyak dengan rencana revisi UU
Tipikor, revisi UU KUHP dan KUHAP, serta pemangkasan anggaran. Saat itu –pada
tahun 2014- salah satu ketua KPK bahkan melampiaskan kekecewaaanya terhadap
pemerintah karena upaya-upaya pelemahan yang terus dialami KPK. Selain itu,
“kriminalisasi” pimpinan KPK adalah bukti nyata bagaimana lembaga ini hendak
digembosi –tentu saja terlepas dari kepentingan politik. Meski keadaan
menghimpit KPK, atas dukungan masyarakat luas KPK tetap bertahan dengan
tugasnya sebagai pemberantas korupsi.
Kini batu ujian
dihadapi kembali oleh KPK. Pada 1 Oktober 2015 enam fraksi partai politik di
DPR mengusulkan revisi UU KPK, yaitu: fraksi PDI-P, Partai Golkar, PKB, Partai
Nasdem, PPP dan Hanura. Sekitar 45 anggota dari keenam fraksi tersebut menyuarakan
perlunya revisi KPK. Majalah Tempo mencatat terdapat beberapa poin penting
dalam draf revisi UU. Diantaranya adalah: UU saat ini pada pasal 4 berbunyi
“KPK dibentuk untuk pemberantasan korupsi”, draf revisi berbunyi KPK dibentuk
untuk pencegahan korupsi. Terkait masa kerja pada UU saat ini tidak menerangkan
tidak adanya pembatan usia KPK, sedangkan draf revisi menyebut KPK dibentuk
untuk masa 12 tahun (pasal 5 dan 73).
Selain dua poin
di atas, terdapat pasal yang juga hendak direvisi yakni menyangkut penyadapan
yang dilakukan KPK. Pada UU saat ini KPK diberikan ruang penyadapan dan
merekam. Sedangkan pada draf revisi disebutkan bahwa “Penyadapan dan merekam
pembicaraan dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin
dari ketua pengadilan negeri” (pasal 14 ayat 1 butir a). Selain ketiga hal di
atas, masih banyak lagi pasal-pasal dalam draf revisi UU yang dianggap akan
melemahkan KPK. (Majalah Tempo 12-18/10/2015). Draf rencana revisi UU tersebut
sontak mendapat kecaman dari banyak pihak. Para pengamat korupsi beramai-ramai
“mengutuk” DPR yang berupaya dan diduga akan “membunuh” KPK.
Berkaitan dengan
pasal di atas, penulis tertarik mencermati pasal yang hendak membatasi usia KPK
selama 12 tahun. Pasal tersebut bagi penulis bisa dimaknai secara “positif”
sekaligus “negatif”. Dilihat dari sisi positifnya, usia 12 tahun KPK menghendaki
bahwa korupsi hanya berlaku (hanya ada) dalam 12 tahun kedepan. Selebihnya
tidak ada lagi korupsi. Artinya, KPK berhasil pemberantas korupsi dan
mencegahnya. Dan, jika pada era mendatang terjadi korupsi, penanganannya dapat
ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sedangkan dilihat dari sisi negatif,
ada upaya pemotongan usia KPK. Berhasil ataupun tidaknya dalam pemberantasan
korupsi selama 12 tahun mendatang, KPK harus bubar. Ini sah-sah saja mengingat
KPK adalah lembaga ad hoc. Tetapi
apakah bangsa ini akan membiarkan maling dan koruptor bebas melakukan
kejahatan? Tentu saja tidak. Disinilah usia 12 tahun KPK sangat menentukan.
Memang, diakui atau tidak, keberadaan KPK
sebagai pemberantas korupsi antara di puji, diuji dan dicaci. Keberadaan KPK dipuji
tatkala berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi; KPK diuji tatkala harus
menangkap petinggi negara; dan KPK dicaci tatkala tebang pilih dalam penindakan
kasusu korupsi. Untuk poin yang terakhir, penulis kira hal itu sudah menjadi
rahasia umum. Badai yang sedang dihadapi KPK saat ini sejatinya dapat menjadi
titik pijak KPK untuk terus meningkatkan kinerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar