Selasa, 13 Oktober 2015

“Mengkepret” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Oleh: Ali Thaufan DS

Bulan Oktober tahun 2015 ini sepertinya kembali menjadi bulan ujian bagi komisi pemberantasan korupsi (KPK). Beberapa anggota DPR mengajukan untuk merevisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan revisi tersebut dinilai bukan menguatkan KPK, tetapi justru sebaliknya. Seketika saja mereka yang mengusulkan revisi mendapat tantangan dari masyarakat luas. Kepiawaian berargumen para pengusul revisi UU KPK membuat wacana revisi UU tersebut semakin menarik. Pro dan kontra tak bisa dihindarkan. Lalu, bagaimana masa depan KPK ditengah pro-kontra tersebut? Akankah ia tetap ada, atau sekedar ada tapi tak bernyawa? Tulisan ini berangkat dari pembacaan berbagai berita seputar rencana revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan tugas dan fungsi KPK yang selama ini menjadi “Singa Garang” pengejar koruptor. Penulis memilih diksi “mengekpret” karena “kepret” dalam dunia persilatan mengandung makna menyerang. Penulis mencoba mengadopsi kata tersebut konteks apa yang menimpa KPK saat ini, KPK sedang diserang dan dilemahkan.

Berdasarkan data-data yang penulis himpun, upaya-upaya pelemahan KPK bukan terjadi saat ini saja. Pada tahun 2014 “kegagahan” KPK sempat dikoyak dengan rencana revisi UU Tipikor, revisi UU KUHP dan KUHAP, serta pemangkasan anggaran. Saat itu –pada tahun 2014- salah satu ketua KPK bahkan melampiaskan kekecewaaanya terhadap pemerintah karena upaya-upaya pelemahan yang terus dialami KPK. Selain itu, “kriminalisasi” pimpinan KPK adalah bukti nyata bagaimana lembaga ini hendak digembosi –tentu saja terlepas dari kepentingan politik. Meski keadaan menghimpit KPK, atas dukungan masyarakat luas KPK tetap bertahan dengan tugasnya sebagai pemberantas korupsi.

Kini batu ujian dihadapi kembali oleh KPK. Pada 1 Oktober 2015 enam fraksi partai politik di DPR mengusulkan revisi UU KPK, yaitu: fraksi PDI-P, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP dan Hanura. Sekitar 45 anggota dari keenam fraksi tersebut menyuarakan perlunya revisi KPK. Majalah Tempo mencatat terdapat beberapa poin penting dalam draf revisi UU. Diantaranya adalah: UU saat ini pada pasal 4 berbunyi “KPK dibentuk untuk pemberantasan korupsi”, draf revisi berbunyi KPK dibentuk untuk pencegahan korupsi. Terkait masa kerja pada UU saat ini tidak menerangkan tidak adanya pembatan usia KPK, sedangkan draf revisi menyebut KPK dibentuk untuk masa 12 tahun (pasal 5 dan 73).

Selain dua poin di atas, terdapat pasal yang juga hendak direvisi yakni menyangkut penyadapan yang dilakukan KPK. Pada UU saat ini KPK diberikan ruang penyadapan dan merekam. Sedangkan pada draf revisi disebutkan bahwa “Penyadapan dan merekam pembicaraan dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri” (pasal 14 ayat 1 butir a). Selain ketiga hal di atas, masih banyak lagi pasal-pasal dalam draf revisi UU yang dianggap akan melemahkan KPK. (Majalah Tempo 12-18/10/2015). Draf rencana revisi UU tersebut sontak mendapat kecaman dari banyak pihak. Para pengamat korupsi beramai-ramai “mengutuk” DPR yang berupaya dan diduga akan “membunuh” KPK.

Berkaitan dengan pasal di atas, penulis tertarik mencermati pasal yang hendak membatasi usia KPK selama 12 tahun. Pasal tersebut bagi penulis bisa dimaknai secara “positif” sekaligus “negatif”. Dilihat dari sisi positifnya, usia 12 tahun KPK menghendaki bahwa korupsi hanya berlaku (hanya ada) dalam 12 tahun kedepan. Selebihnya tidak ada lagi korupsi. Artinya, KPK berhasil pemberantas korupsi dan mencegahnya. Dan, jika pada era mendatang terjadi korupsi, penanganannya dapat ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sedangkan dilihat dari sisi negatif, ada upaya pemotongan usia KPK. Berhasil ataupun tidaknya dalam pemberantasan korupsi selama 12 tahun mendatang, KPK harus bubar. Ini sah-sah saja mengingat KPK adalah lembaga ad hoc. Tetapi apakah bangsa ini akan membiarkan maling dan koruptor bebas melakukan kejahatan? Tentu saja tidak. Disinilah usia 12 tahun KPK sangat menentukan.


Memang, diakui atau tidak, keberadaan KPK sebagai pemberantas korupsi antara di puji, diuji dan dicaci. Keberadaan KPK dipuji tatkala berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi; KPK diuji tatkala harus menangkap petinggi negara; dan KPK dicaci tatkala tebang pilih dalam penindakan kasusu korupsi. Untuk poin yang terakhir, penulis kira hal itu sudah menjadi rahasia umum. Badai yang sedang dihadapi KPK saat ini sejatinya dapat menjadi titik pijak KPK untuk terus meningkatkan kinerjanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar