Oleh: Ali Thaufan DS
Pada 9 Desember tahun
2015, Indonesia akan mencatat sejarah baru Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
yang akan digelar serentak. Sebanyak 269 daerah akan menggelar pesta demokrasi,
memilih kepala daerah baru. Di jalan, foto dan spanduk para kandidat calon
pemimpin daerah tersebut berderet menghias –meski kadang terlihat menganggu.
Harapan besar ada dipundak para pemimpin baru tersebut. Akankah mereka dapat
memenuhi harapan rakyatnya? Sementara, bayang-bayang konflik akibat Pilkada
terus menghantui. Ini diakibatkan pengalaman penyelenggaraan Pilkada yang
selalu melahirkan konflik, kerusuhan. Tulisan ini hadir mencermati persiapan
gelaran Pilkada, serta potensi konflik yang ditimbulkannya.
Melalui berbagai sumber
media –baik cetak dan elektronik- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memetakan
kerawanan dan potensi yang akan terjadi pada Pilkada nanti. Kerawanan tersebut
meliputi: kerawanan dari aspek akurasi data pemilih; aspek perlengkapan
pemungutan suara; aspek pemberian uang (politik uang); aspek keterlibatan
penyelenggara negara; dan aspek kepatuhan terhadap tata cara pemungutan dan
penghitungan. Kementerian Dalam Negeri juga melakukan pemetaan yang sama. Konflik
Pilkada diperkirakan akibat dari ketidaknetralan Pegawai Negeri Sipil (PNS),
adanya politik uang, primodialisme, dan lain sebagainya.
Pemetaan potensi konflik
ini maklum adanya. Menjelang Pilkada, beberapa pelanggaran kerap didapati.
Bawaslu membagi pelanggaran tersebut dalam tiga jenis, yaitu: pelanggaran
administratif, pelanggaran pidana, dan pelanggaran etika. Hal yang paling
menjadi sorotan oleh Bawaslu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Aparatur
Sipil Negara (ASN). Pada 2 Desember, Bawaslu menyampaikan terdapat 31
pelanggaran yang dilakukan ASN diberbagai daerah. Pelanggaran yang dilakukan
ASN ini cukup disayangkan, karena mencederai netralitas yang harusnya dijunjung
tinggi oleh ASN.
Berkaitan dengan konflik
atau kerusuhan Pilkada, dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pada sejak tahun
2005 hingga 2013, Kemendagri mencatat ada 59 korban jiwa akibat kerusuhan pasca
Pilkada. Selain korban jiwa, juga terdapat korban luka, pengerusakan rumah,
hingga pengerusakan kantor fasilitas publik. Potensi konflik pada Pilkada kali
ini dapat dipastikan akan meningkat karena pelaksanaan Pilkada yang
dilangsungkan secara serentak.
Indikasi konflik dan
kerusuhan yang akan terjadi pada Pilkada setidaknya dapat tercermin dari
beberapa kerusuhan yang terjadi sebelumnya. Dari data yang penulis himpun pada
tahun 2015, beberapa kantor KPU mengalami perusakan antara lain: Kantor KPU
Kota Mataram; Manggarai Barat, Kabupaten Halmahera Timur. Bahkan, kerusuhan di
kantor KPU pun memakan korban, Komisioner KPU di Kabupaten Kapahiang Bengkulu
misalnya, ditikam dan dikeroyok massa sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Beberapa data perihal
peta konflik di Pilkada 2015, serta catatan konflik yang terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya patut mendapat perhatian serius bagi masyarakat. Kita
tentu tidak menginginkan Pilkada serentak menjadi ajang konflik serentak.
Penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU, perlu mengoptimalkan kerja untuk
menekan potensi konflik Pilkada. Aparat pengaman (Kepolisian) juga harus jeli
melihat “aroma” konflik yang akan terjadi, sehingga mampu meredam potensi
tersebut. Pada kandidat yang sudah melakukan “Ikrar Pemilu Damai” harus berani
meredam emosi massanya. Dan tentu saja, bagi para pemilih yang menggunakan
haknya, harus fair menerima hasil Pilkada tanpa harus melakukan
kerusuhan yang merugikan.
Kita berharap Pilkada serentak
menjadi momentum perubahan bagi daerah dengan memilih pemimpin baru.
Proses-proses Pilkada yang dilakukan dengan baik dan sesuai prosedur, akan
menghasilkan Pilkada yang baik pula. Dengan demikian, pemimpin yang dilahirkan
adalah pemimpin yang berkualitas.