Senin, 27 Oktober 2014

Harapan Baru Itu Bernama “Kabinet Kerja”

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada 27 Oktober 2014, pemerintahan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla secara resmi melantik orang-orang yang akan menjadi “pembantunya”, para menteri. Suasana khidmat mengiringi pelantikan tersebut. Para menteri yang dilantik digelari nama “Kabinet Kerja”. Mereka mengucap sumpah berdasarkan kepercayaan masing-masing. Ada hal yang cukup unik dalam prosesi pelantikan kabinet kali ini, semua menteri mengenakan pakaian batik. Setidaknya Kabinet Kerja ingin menunjukkan bahwa batik adalah milik asli Indonesia dan diakui UNESCO.

Tulisan ini hadir mencermati proses menuju pelantikan kabinet pemerintahan Jokowi-JK, serta harapan masyarakat luas akan kinerja kabinet Jokowi-JK tersebut. Harapan yang penulis maksud disini adalah hadirnya menteri yang tidak tersandra oleh kasus korupsi dan kepentingan partai. Selain itu, harapan akan adanya progam real yang memihak kepentingan masyarakat dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Pasca pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden, penunjukan menteri ramai dibicarakan. Bursa calon menteri yang akan menduduki kursi kabinet menjadi pemberitaan yang “seksi” diberbagai media. Sebagian menuding Jokowi akan terjebak dalam kepentingan partai pendukungnya saat akan menentukan menteri. Sebagian lainnya menganggap Jokowi secara profesional dalam menunjuk menteri. Teka-teki kursi menteri terjawab sudah saat Jokowi akhirnya mengumumkan nama-nama pembantunya tersebut.

Selain isu seputar penunjukan menteri, perubahan nomenklatur dibeberapa kementerian juga menjadi topik hangat pemberitaan. Kementerian yang dianggap memiliki progam kerja hampir sama dijadikan menjadi satu kementerian. Sedangkan kementerian yang menjadi fokus utama pemerintahan, dibentuk kementerian baru, seperti Kementerian Koordinator Maritim. Sebagian kalangan menilai kemenko maritim adalah bentuk perhatian dan komitmen pemerintah untuk memajukan potensi kelautan Indonesia.

Harapan masyarakat akan hadirnya menteri yang “bersih” dan tidak tersandra kasus sangat besar. Masyarakat luas tentu tidak ingin memiliki menteri yang tersandra oleh kasus hukum (korupsi). Kasus hukum yang menjerat menteri disinyalir sebagai salah satu kegagalan kerja sebuah kementerian. Setidaknya masyarakat dapat melihat pada masa pemerintahan SBY-Budiono periode 2009-2014 (Kabinet Indonesia Bersat II). Saat itu, tiga menteri SBY menjadi tersangka dugaan korupsi, yaitu: Andi Alfian Malaranggeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), Suryadharma Ali (Menteri Agama) dan Jero Wacik (Menteri ESDM). Selain itu, ada pula beberapa pejabat tinggi dalam suatu kementerian yang juga terlibat kasus hukum.

Langkah presiden Jokowi yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memilih menteri adalah wujud kongkrit untuk menghadirkan menteri yang bersih dari kasus hukum. Hal tersebut merupakan terobosan baru dari pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintahan kali ini ingin menunjukkan bahwa para menteri yang dipilih telah “lolos ujian KPK”. Tetapi perlu dicatat, hal itu tidak pula menjamin bahwa pada masa kepemimpinannya menteri akan bebas dari kasus hukum.

Pasca pelantikan kabinet, masyarakat pasti menunggu dan memastikan hadirnya progam-progam kementerian yang memihak kepentingan rakyat. Pasar menunggu kepastian kebijakan yang akan dikeluarkan pembantu presiden tersebut. Dengan hadirnya menteri yang bersih, masyarakat berharap kerja mereka hanya untuk kepentingan rakyat, bukan partai politik yang membesarkannya.


Jokowi menghimbau para menteri agar segera membuka “kebuntuan” yang menghambat progam kerja pada setiap kementerian. Ia juga menegaskan agar seluruh kabinet dapat bekerja lintas sektor, sehingga ego sektor (kementerian) dapat dihindari. Kini, masyarakat berharap agar Kabinet Kerja dapat bekerja sepenuhnya untuk kemajuan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar