Rabu, 08 Oktober 2014

Kemelut Partai Ka’bah Perburam Partai Islam

Oleh: Ali Thaufan DS

Hadirnya Suryadharma Ali (SDA) yang saat itu menjabat ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada kampanye Partai Gerindra –pada kampanye pilpres 2014- menuai kritik. Beberapa elit partai berlambang Ka’bah tersebut angkat bicara, dengan lantang menganggap langkah SDA keliru. Ada apa dengan SDA kala itu? Mengapa begitu “bernafsu” mendukung Prabowo Subianto. Tulisan ini hadir mencermati kemelut partai Ka’bah yang bermula sejak sebelum pemilu hingga pasca pemilu.

Pada umumnya, setiap partai politik memiliki “kemelut”. Hanya, bagaimana kemudian ketua umum dapat meredamnya. Manajemen konflik adalah cara agar kemelut dalam suatu organisasi dapat diredam. Dalam sejarah partai-partai di Indonesia, semuanya memiliki pertarungan internal partai. Antarsesama kader yang memiliki ambisi memegang kekuasaan partai beradu strategi untuk menjadi pemenang. Maka sangat wajar jika dalam suatu partai terdapat faksi-faksi. Pun demikian dengan PPP, didalamnya terdapat friksi.

Menjelang pemilu 2014, beberapa partai mendapat “ujian”. Partai Golkar dengan polemik pencalonan Aburizal Bakrie, Partai Demokrat dengan kasus Anas Urbaningrum, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan kasus Lutfi Hasan Ishaq serta PPP dengan perseteruan elit partai yang dilanjutkan dengan penetapan SDA sebagai tersangka. Hanya saja, dibanding partai lainnya, PPP termasuk paling belakang –mendekati pemilu- mendapat ujian. Soliditas petinggi partai terpecah. Sang ketua umum yang menahkodai partai membawa pada arus koalisi tertentu tanpa di-amini pengurus lainnya. Pada saat bersamaan, kader lainnya pun berupaya membawa pada arus koalisi lainnya.

Dalam keadaan demikian, jalan islah yang seharusnya segera dilakukan justru menemui jalan buntu. Masing-masing petinggi partai justru saling pecat-memecat. Dua kubu –Romahurmuzi dengan SDA-saling klaim sebagai penguasa partai yang sah. Sebuah “arogansi” politik partai yang mengundang tawa dan rasa prihatin. PPP partai Islam yang mengenakan lambang Ka’bah, kiblat umat Islam. Banyak pihak menyayangkan kemelut PPP tersebut.

Sungguh sangat disayangkan sebagai partai Ka’bah yang seharusnya menjadi “rumah besar” konstituen Islam ternyata tidak layak untuk dihuni. Kemelut PPP tersebut dapat menambah buruk stigma negatif terhadap partai Islam. Pada Desember 2013, Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) memaparkan hasil survei bahwa partai Islam kurang diminati. Demikian juga lembaga Klimatologi Politik yang merilis hasil survei April 2014, bahwa partai berbasis Islam diprediksi “tidak laku”. Maka tidak berlebihan jika beranggapan bahwa kemelut partai Ka’bah menambah buram wajah partai Islam.


Di era praktik “politik bebas” yang sedang berjalan di Indonesia sekarang ini, sangat sulit mendapati partai yang konsisten dengan ideologi dasar partai, baik nasionalis maupun agama. Partai terjebak dalam praktik politik transaksional. Godaan jabatan tertentu yang dibangun dalam sebuah koalisi menjadi sesuatu yang menarik ketimbang “kekeh” dengan ideologi. Transaksi politik telah membenamkan idealisme kader partai. Tidak ada lagi nasionalis dan agamis, tetapi uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar