Pada
20 Oktober 2014, bangsa Indonesia resmi memiliki presiden dan wakil presiden baru
untuk periode 2014-2015. Hari itu, sumpah presiden Joko Widodo dan wakil
presiden Jusuf Kalla diucap dan disaksikan seluruh pasang mata rakyat Indonesia
dan dunia internasional. Harapan untuk Indonesia yang lebih baik adalah impian
rakyat. Antusisme rakyat begitu luar biasa menyambut pemimpin baru. Tulisan ini
hadir mencermati sumpah atau janji Jokowi yang akan menjadikan Indonesia
sebagai negara maritim, memanfaatkan potensi kelautan yang dimiliki Indonesia.
Seperti
diketahui, sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia –dulu Nusantara- pernah
menguasai kawasan Asia Tenggara. Saat era kerajaan Majapahit, betapa bangsa ini
menjadi bangsa besar dengan kekuatan kelautan yang di miliki. Tetapi orientasi
kelautan dalam perjalanan sejarah bangsa terus meredup. Indonesia tidak lagi
memperhatikan potensi kelautan. Indonesia menjelma menjadi negara agraris. Apa yang
menjadi konsen bangsa Indonesia adalah pertanian, cocok tanam dan pembangunan
yang berorientasi kedaratan.
Sebagian
sejarawan menduga bahwa kolonialisme penjajah lah yang memalingkan orientasi
kelautan menjadi kedaratan Indonesia. Penjajah mulai membangun transportasi
darat yang kemudian membuat rakyat, meminjam istilah Jokowi, “memunggungi laut”.
Rel-rel kereta dibangun, jalan-jalan utama pun demikian.
Dalam
History Of Java, T.S. Raffles mencatat bahwa konon bangsa Indonesia –khususnya
rakyat pulau Jawa- memang sangat hobi bercocok tanam. Segala kebutuhan hidup
dapat terpenuhi dengan bertani dan cocok tanam. Kesuburan tanah dan hasil bumi
yang melimpah menjadikan rakyat saat itu berada pada “zona aman”. Inilah yang
kemudian menjadi ciri masyarakat Jawa. Keadaan ini pula yang memikat penjajah
singgah dan menjarah hasil bumi Indonesia. Tetapi, lanjut Raffles, bangsa ini
pernah menjelma menjadi kekuatan yang sangat besar saat orientasi mereka bukan
hanya daratan, tetapi juga kelautan. Beberapa pulau di Indonesia disatukan oleh
satu pemerintahan yang kuat melalui akses kelautan.
Orientasi
pembangunan yang tidak hanya fokus pada daratan, tetapi juga pada kelautan
membuat akses perdagangan semakin mudah. Pada zaman itu –periode kejayaan
Majapahit-, telah didapati kapal-kapal besar (untuk ukuran saat itu) yang dapat
berlayar untuk menghubungkan antar pulau guna kepentingan dagang. Sungai-sungai
besar di pulau Jawa pun menjadi akses perdagangan. Saat itu Indonesia memiliki
kekuatan maritim yang besar.
Harapan
menjadi bangsa berkekuatan besar laiknya saat era Majapahit lalu menjadi iming-iming
yang sulit dihindari dimasa sekarang. Bahwa bangsa besar adalah bangsa yang
menghargai sejarahnya pun tidak cukup, tetapi bangsa besar adalah yang
meneladani sejarah untuk menjadikannya titik pijak melakukan pembangungan. Berpijak
dari model kekuatan Indonesia lama yang pernah jaya dengan kelautannya,
pemerintah saat ini pun hendak merealisasikan hal itu.
Adagium
“Jalesveva Jayameha”, dilaut kita jaya, dengan mantap disampaikan oleh Jokowi
saat pidato pelantikan. Tentu dengan memperhitungkan kekayaan kelautan yang
dimiliki, Indonesia sangat layak memiliki kekuatan kelautan yang besar. Dengan 70
persen wilayah Indonesia yang didominasi kelautan, akan banyak sektor yang
dapat dikembangkan. Diantara banyaknya sektor yang dapat dikembangkan dan
memiliki nilai ekonomi antara lain adalah pariwisata kelautan.
Tetapi,
rakyat sangat berhadap agar berkembangnya sektor kelautan dapat dinikmati oleh
bangsa Indonesia sendiri, bukan bangsa asing. Jokowi perlu membuat kebijakan
atau regulasi yang menguntungkan Indonesia dibidang kelautan. Keberadaan investor
asing dibidang kelautan perlu dipertimbangkan. Jika bangsa asing pada akhirnya
mendominasi sektor kelautan, “Jalasveva Jayameha” hanya tinggal ucapan bibir.
Tentu
masyarakat berharap kejayaan Indonesia dengan kekuatan maritim dapat hadir
kembali. Sebuah kejayaan yang akan mengisi buku-buku sejarah, dan dinikmati
generasi penerus kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar