Minggu, 21 September 2014

HMI “Nggak” Pernah Mati (Sebuah Refleksi Pembacaan Sejarah HMI)

Oleh: Ali Thaufan DS
Materi “Sejarah perjuangan HMI” disampaikan pada Latihan Kader HMI Komisariat Fak. Dirasat Islamiyah Cabang Ciputat
19 September 2014, Lenteng Agung, Jakarta

Pendahuluan
La raiba fi duhuli HMI”. Demikian ungkapan penulis bagi rekan-rekan mahasiswa baru yang kerap meminta pendapat atau sekedar bertanya tentang organisasi yang tepat bagi mereka. Pengakuan HMI sebagai organisasi kemahasiswaan yang tepat bagi mahasiswa adalah hal yang wajar. Pasalnya sampai hari ini HMI masih menjadi student need bagi mahasiswa. HMI alat bagi para mahasiswa yang haus untuk melatih diri sebagai politisi, akademisi, leader dan bahkan intelektual.

Dalam lintasan sejarah Indonesia modern, HMI “terpaksa” tercatat. Dinamika Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta; polarisasi PKI, orde pembangunan dan reformasi 1998 telah menempatkan HMI dalam selipan sejarah Indonesia. Tulisan ini ingin menjelaskan secara singkat tentang berdirinya HMI sebagai sebuah organisasi pengkaderan yang meliputi: HMI tidak sekedar berdiri; Panggung menawan orde baru untuk HMI, peluang dan godaan; dan harapan cerah masa depan HMI.

HMI Tidak Sedekar Berdiri
Berdirinya HMI ditengarai dua aspek penting yang saat itu menjadi sesuatu yang centre, yaitu posisi Indonesia pasca kemerdekaan dan gelombang pemikiran dan pergerakan Islam. Dalam literatur sejarah berdirinya HMI, dituliskan bagaimana seorang Lafran Pane “ngotot” dan memaksa agar organisasi ini –HMI- berdiri, 5 Februari 1947. Dengan memanfaatkan waktu luang, Lafran Pane –yang saat itu berusia 25 tahun- dan kawan-kawan berhimpun diruang kelas yang digunakan mata kuliah Ilmi Tafsir.[1] Gagasan tentang pendirian HMI ia kemukakan kepada mahasiswa lainnya.

“Rapat hari ini adalah rapat pembentukan satu organisasi Islam dimana anggaran dasarnya sudah disiapkan. Pada hari ini bukan lagi mempersoalkan perlu atau tidaknya mendirikan organisasi mahasiswa islam. Di antara saudara-saudara boleh ada yang setuju dan boleh tidak setuju. Namun demikian, walaupun ada yang tidak setuju, pada hari ini organisasi mahasiswa islam ini  secara formal harus berdiri karena persiapannya sudah matang”.[2]

Setelah mendirikan HMI, Pane menyampaikan pernyataan:
keputusan mendirikan HMI, kami (saya) tegaskan karena kebutuhan sangat mendesak bagi para cendekiawan muslim muda untuk ikut dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Selanjutnya HMI juga diharapkan mampu melestarikan dan mengamankan ajaran Islam.[3]

Ungkapan “... harus berdiri karena persiapannya sudah matang” pada kutipan pertama di atas mengindikasikan HMI bukan lahir dari berbincangan semata. Ia didirikan dengan penuh kesungguhan oleh para mahasiswa saat itu. Bahkan Anggaran Dasar (AD) pun telah dipersiapkan. Setidaknya dari ungkapan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum tanggal 5 Februari 1947, Pane dan rekan-rekan mahasiswa lainnya telah “menggodok” gagasan berdirinya HMI.

Tidak ada yang kebetulan dari berdirinya HMI. Ditengah situasi politik nasional pasca kemerdekaan dan keadaan yang masih mencekam, HMI berkomitmen untuk mempertahankan NKRI. Pada fase awal berdirinya, HMI berperan aktif dan kerap bersinggungan dengan politik nasional guna mempertahankan NKRI. HMI kerap melibatkan diri dalam upaya perlawanan fisik maupun diplomasi.

Perundingan Linggar Jati 25 Maret 1947 yang kemudian berimplikasi pada pecahnya kabinet membuat HMI turun andil dalam persoalan tersebut. Seperti diketahui, posisi Syahrir (Sosialis Demokrat) sebagai ketua kabinet diturunkan oleh Amir Syarifuddin (Sosialis Revolusioner / PKI). Bersama dengan organisasi Islam lainnya, HMI melakukan aksi demontrasi menolak Amir. Itulah sebabnya dikemudian hari HMI begitu dimusuhi oleh PKI. Pada perjalanan sejarah berikutnya, PKI melakukan aksi berdarah di Madiun. HMI tidak tinggal diam. HMI mengirim kader-kadernya yang tergabung dalam Corps Mahasiswa Indonesia (CMI). Puncak kebencian PKI kepada HMI adalah pada saat PKI “mengipas hawa panas” Sukarno untuk membubarkan HMI. Tetapi atas saran Saifuddin Zuhri, Menag era itu, HMI pun tidak dibubarkan.

Setidaknya ulasan di atas memperlihatkan sejarah berdirinya HMI ditengah gejolak pasca kemerdekaan. NKRI belum betul-betul aman. Sehingga rakyat Indonesia tetap gigih dalam mempertahankannya HMI terlibat pada masa itu. Disisi lain, perlu kiranya memotret berdirinya HMI dari sudut pandang pergerakan umat Islam.

Dalam buku-buku yang memotret perkembangan dinamika pemikiran Islam, abad 19 adalah titik krusial perkembangan pemikiran Islam. Pada masa itu muncul tokoh-tokoh semisal Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Gagasan mereka adalah menuju satu tujuan, yakni kemajuan umat Islam. Kemunculan mereka dibarengi dengan munculnya tokoh-tokoh di Indonesia, sebut saja Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dan Hasyim Asy’ari yang mendirikan NU pada 1926. Dua tokoh yang cukup berpengaruh bagi perkembangan pemikiran di Indonesia sampai saat ini. Setidaknya kemunculan organisasi masyarakat yang berideologi Islam menjadi setting historis berdirinya HMI.[4]

Panggung Menawan Orde Baru untuk HMI: Peluang dan Godaan
Partisipasi HMI dalam mempertahankan NKRI pasca kemerdekaan dan sekaligus menjadikan PKI musuh utama HMI mendapat respon positif dari pemerintah orde baru. Bahkan saat itu muncul istilah bahwa ketua PB HMI pasti mendapat jatah di parlemen. Posisi HMI yang “getol” menentang PKI menjadi “kembang” dan banyak mendapat pujian. Orde baru saat itu berhasil dengan sukses membuat persepsi “Awas ada PKI”. Hal ini membuat rakyat betul-betul membenci PKI. Karena HMI saat itu menjadi musuh PKI, maka rakyat pun memuji HMI.

Pada era orde baru, Agus Salim mencatat bahwa HMI menjelma menjadi aset nasional. Saat itu mulai banyak kader HMI yang menduduki pos-pos penting di pemerintahan. HMI tampil dengan beragam inovasi dan menjadi mitra pemerintah. Namun demikian, Agus juga mencatat bahwa hal itu dapat menjadi kelemahan bagi HMI.[5]

Keberadaan kader HMI berada dalam politic cirle pada masa orde baru adalah kesempatan bagi HMI untuk menyebarkan doktrinasi positif dan nilai-nilai luhur ajaran HMI. Tetapi pada kesempatan yang sama, HMI dihadapkan dengan “godaan” politik yang mampu merontokkan idealisme kader HMI. Politik akhirnya menjadi “candu” bagi kader HMI. Kader-kader HMI pada akhirnya sangat dekat dengan kekuasaan. HMI berada dalam mainstrem pemerintah. Hal ini yang kemudian membuat HMI enggan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Pada wilayah perkembangan pemikiran Islam, semasa orde baru, HMI menerobos “kejumunan” pemikiran Islam pada saat itu. Salah satu kadernya, Nurcholish Madjid –akrab disapa Cak Nur-, HMI membuat gebrakan pemikiran. Salah satu gagasan yang cukup kontroversial saat itu adalah “Islam Yes, Partai Islam No!” yang tertuang dalam makalah yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.[6] Makalah yang dipaparkan pada 1970 tersebut pada akhirnya menginspirasi generasi selanjutnya untuk membuat terobosan-terobosan pemikiran keislaman.

Ditangan Cak Nur lah nilai dasar perjuangan HMI di tuliskan. Nilai Dasar Perjuangan (NDP)[7] HMI ditulis setelah Cak Nur menapaki pengembaraan intelektualnya. Ia melihat bagaimana kehidupan seorang Islam di barat dan timur. Lalu lahir lah NDP sebagai akumulasi dari wacara pemikiran Cak Nur untuk menjawab persoalan-persoalan tentang keislaman, keindonesiaan, kemodernan dan kemanusiaan. Pada akhirnya NDP pula lah menjadi cara pandang kader HMI dalam menjawab berbagai persoalan seperti yang dimaksudkan Cak Nur.[8]

Harapan Cerah Masa Depan HMI
“Tidak ada sesuatu yang sempurna di bumi Tuhan”, ungkapan ini sering penulis sampaikan dalam beberapa kesempatan untuk memaparkan sekilas tentang HMI. Saat ini banyak kader HMI menjelma menjadi organisasi yang “nggak karuan” tanpa arah yang jelas. karenanya, ungkapan “tidak ada sesuatu yang sempurna” kerap penulis gunakan. Harus diakui masih ada berbagai kekurangan didalam HMI. Agus Salim dalam bukunya, 44 indikator kemunduran HMI: Suatu Kritik Untuk Kebangkitan HMI, mengulas hal-hal yang menjadikan HMI lepas dari "rel".

Kebebasan berpendapat yang menjadi ciri era reformasi memberi peluang bagi HMI sdan sekaligus kadernya untuk menyampaikan gagasan “suci” tentang misi para pendiri HMI. Harapan tersebut semakin nyata tatkala kader HMI yang menduduki pos-pos penting memainkan perannya dengan baik. Partisipsi HMI dalam pembangunan bangsa saat ini pun terlihat, meski belum dilakukan secara masif. Kesadaran kader HMI pada tingkat komisariat atas persoalan-persoalan bangsa patut diapresiasi.

Berbagai hal telah dilakukan para kader khususnya ditingkat komisariat untuk menjaga stabilitas ritme pengkaderan HMI. Tujuan mulia hendak mereka capai, yakni mengembalikan spirit dan kejayaan HMI. Dengan semangat kebesaran “jubah” HMI, para kader senantiasa melanjutkan estafet pembangunan bangsa. Salah satu langkah riil adalah berkontribusi dengan membuat kajian-kajian intensif. Dalam hal tataran pengambilan kebijakan, alumni-alumni HMI banyak terlibat. Mereka yang tersebar diberbagai lini pemerintahan mendorong Indonesia menjadi bangsa besar yang mampu bersaing dipanggung pasar bebas dunia.

Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, serta pengalaman yang cukup matang, HMI akan senantiasa memberikan hal terbaik untuk bangsa Indonesia. Harapan yang cerah itu selalu muncul dan tertanam dalam diri kader HMI. Pada akirnya HMI yang diprediksi akan “mati” pada siklus 70 tahunan akan terbantah. HMI akan tetap hidup dan tak pernah “mati”. Penulis mendasarkan bahwa kemajuan zaman telah mendorong segalanya lebih mudah. Hal itu menjadi kesempatan sekaligus milik HMI.


Daftar Bacaan
Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI; Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), Surabaya: Bina Ilmu Offset, 2008

Agus Salim Sitompul, “Refleksi 63 Tahun Perjuangan HMI: Mendiagnosa lima zaman perjalanan HMI (Suatu tinjauan historis dan kritis terhadap fase-fase perjuangan HMI)”, Makalah disampaikan pada LK II tingkat nasional HMI cabang Malang, 20 Juni 2010

Qamaruddin H, “Tugas HMI dalam Mengmankan Pancasila, dalam Agus Salim Sitompul (dkk), HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, Yogyakarta: Aditya Media, 1997

Chazin Amrullah, Sejarah HMI Dari Masa Kemerdekaan Sampai Reformasi. Publikasi tulisan, 2012.

Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, pent. Bahrul Ulum-Heri Junaiedi,  Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001

Azmiansyah, Sejarah Pemikiran Nurcholish Madjid, Studi Nilai-Nilai Dasar HMI, Skripsi Fak Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013

Alfan Alfian, HMI 1963-1966, Menegakkan Pancasila ditengah Prahara, Penerbit Kompas, 2011

Hasanuddin M Soleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Penerbit Lingkaran, 1996.

Fachri Ali dll, HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan, Menghadapi Perubahan Zaman, Majelis KAHMI Nasional, 1997.

Tim Penyusun, Modul LK I HMI Cab. Ciputat, 2011

Rusydi Zakaria dkk (ed), Membingkai Perkaderan Intelektual, Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, Presidium KAHMI Ciputat-UIN Jakarta Press, 2012

Muhammad Syafaat, “Reinterpretasi Nurcholish Madjid atas al-Qur’an : Studi Analitis atas Hermeneutika Neo Modernisme,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009





[1] Selain Pane, ada pula 14 orang temannya yaitu Kartono Zarkasi, Dahlan Husain, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainab, M. Anwar, Hasan Basri, Zukkarnaen, Thayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi.
[2] Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI; Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), (Surabaya: Bina Ilmu Offset), 2008, h. 20
[3] Qamaruddin H, “Tugas HMI dalam Mengmankan Pancasila, dalam Agus Salim Sitompul (dkk), HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), h. 310
[4] Chazin Amrullah, Sejarah HMI Dari Masa Kemerdekaan Sampai Reformasi. Publikasi tulisan, 2012.
[5] Agus Salim Sitompul, “Refleksi 63 Tahun Perjuangan HMI: Mendiagnosa lima zaman perjalanan HMI (Suatu tinjauan historis dan kritis terhadap fase-fase perjuangan HMI)”, Makalah disampaikan pada LK II tingkat nasional HMI cabang Malang, 20 Juni 2010, h. 6
[6] Makalah Nurcholish lihat dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, pent. Bahrul Ulum-Heri Junaiedi, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001),
[7] Awalnya bernama Nilai Identitas Kader (NIK)
[8] Azmiansyah, Sejarah Pemikiran Nurcholish Madjid, Studi Nilai-Nilai Dasar HMI, (Skripsi Fak Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar