Rabu, 08 Oktober 2014

Berharap DPR Lebih Baik

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada Oktober 2013, lembaga survei Pol-Traking Institute merilis hasil survei tentang kepuasan terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasilnya ternyata mengejutkan, 61,68 mengaku tidak puas, 25,68 mengaku tidak tahu dan hanya 12,64 persen saja yang mengaku puas dengan kinerja DPR. Data survei tersebut menyebut rendahnya kualitas anggota dewan. Hal yang paling membuat masyarakat geram dan tidak puas adalah: keterlibatan anggota dewan dalam kasus hukum seperti korupsi; skandal sosial; serta pernyataan-pernyataan anggota dewan yang sering mengundang kontroversi.

Penelitian yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pun sampai pada kesimpulan, yakni kerja anggota dewan yang buruk. Penelitian yang dipaparkan pada 3 April 2014 menunjukkan 61,3 persen kerja dewan yang buruk dan 22,5 persen kerja dewan yang buruk sekali.  Diantara indikator kerja buruk tersebut dilihat dari tingkat kehadiran yang barangkali sering “mbolos”, pelaksanaan kegiatan kunjungan daerah yang tidak optimal dan tingkat keaktifan pada saat rapat

Pemilihan anggota dewan untuk periode 2014-2019 April lalu telah terlewati. Harapan besar terhadap kinerja anggota dewan telah tiba. Dengan semangat baru dan beberapa anggota baru, DPR harus menjadi salah satu solusi persoalan negara. Tantangan paling yang besar ialah mengembalikan kepercayaan publik. Kepercayaan publik menjadi modal utama pelaksanaan tugas dan pengambilan keputusan. Tantangan lainnya adalah godaan untuk tidak menerima dan melakukan berbagai bentuk suap.

Harus diakui, stigma negatif terlanjur melekat bagi anggota dewan. Gaya hidup mewah misalnya, seakan menjadi identitas anggota dewan. Padahal pada saat bersamaan, rakyat miskin masih banyak didapati didaerah pilihan mereka. Janji-janji pada saat kampaye untuk membantu pengentasan kemiskinan hanya tinggal janji. Toh, jika dilaksanakan, tentu tidak merata.
Stigma buruk lainnya adalah bahwa selama ini anggota dewan menjadi “ATM” partai. Hal ini setidaknya terungkap dalam beberapa penanganan kasus korupsi yang membelit anggota dewan (yang juga kader partai). Muncul anggapan bahwa selama ini anggaran belanja negara “bocor” masuk kas partai dan hanya dinikmati segelintir orang tertentu.

Catatan buruk lainnya terhadap anggota dewan adalah pada saat pelaksanaan rapat paripurna dalam memutuskan sesuatu. Pada saat seluruh mata tertuju pada DPR, anggota dewan justru kerap menunjukkan perilaku yang tidak sepatutya. Pelaksanaan musyawarah kerap diwarnai dengan hujan interupsi. Dua kelompok berbeda pendapat beradu argumen tanpa solusi. Jalan akhir yang diambil adalah voting. Dengan demikian, pengambilan keputusan selalu menyisahkan pihak yang sakit hati.

Dengan dilantiknya anggota dewan yang baru, masyarakat berharap agar kinerja sebagai anggota dewan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Tingkat ketidakpercayaan dan ketidakpuasan atas kinerja anggota harus diturunkan dan dihapuskan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan kerja real dan rela untuk negara, bekerja sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat luas. Bukan semata untuk kepentingan partai.


Kewenangan sebagai “pengawas” jalannya roda pemerintahan harus dijalankan sebaik-baiknya. Adanya dua blok didalam DPR memang menjadi sesuatu yang riskan mengandung resiko pada saat pengambilan keputusan. Setidaknya, pengambilan keputusan diambil dengan jalan terbaik, terbaik untuk kepentingan masyarakat banyak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar