Oleh: Ali
Thaufan DS
Pada Oktober
2013, lembaga survei Pol-Traking Institute merilis hasil survei tentang
kepuasan terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasilnya
ternyata mengejutkan, 61,68 mengaku tidak puas, 25,68 mengaku tidak tahu dan hanya
12,64 persen saja yang mengaku puas dengan kinerja DPR. Data survei tersebut
menyebut rendahnya kualitas anggota dewan. Hal yang paling membuat masyarakat
geram dan tidak puas adalah: keterlibatan anggota dewan dalam kasus hukum
seperti korupsi; skandal sosial; serta pernyataan-pernyataan anggota dewan yang
sering mengundang kontroversi.
Penelitian yang
dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pun sampai pada
kesimpulan, yakni kerja anggota dewan yang buruk. Penelitian yang dipaparkan
pada 3 April 2014 menunjukkan 61,3 persen kerja dewan yang buruk dan 22,5
persen kerja dewan yang buruk sekali.
Diantara indikator kerja buruk tersebut dilihat dari tingkat kehadiran yang
barangkali sering “mbolos”, pelaksanaan kegiatan kunjungan daerah yang tidak
optimal dan tingkat keaktifan pada saat rapat
Pemilihan
anggota dewan untuk periode 2014-2019 April lalu telah terlewati. Harapan besar
terhadap kinerja anggota dewan telah tiba. Dengan semangat baru dan beberapa anggota
baru, DPR harus menjadi salah satu solusi persoalan negara. Tantangan paling
yang besar ialah mengembalikan kepercayaan publik. Kepercayaan publik menjadi
modal utama pelaksanaan tugas dan pengambilan keputusan. Tantangan lainnya
adalah godaan untuk tidak menerima dan melakukan berbagai bentuk suap.
Harus diakui,
stigma negatif terlanjur melekat bagi anggota dewan. Gaya hidup mewah misalnya,
seakan menjadi identitas anggota dewan. Padahal pada saat bersamaan, rakyat
miskin masih banyak didapati didaerah pilihan mereka. Janji-janji pada saat
kampaye untuk membantu pengentasan kemiskinan hanya tinggal janji. Toh, jika
dilaksanakan, tentu tidak merata.
Stigma buruk
lainnya adalah bahwa selama ini anggota dewan menjadi “ATM” partai. Hal ini
setidaknya terungkap dalam beberapa penanganan kasus korupsi yang membelit
anggota dewan (yang juga kader partai). Muncul anggapan bahwa selama ini
anggaran belanja negara “bocor” masuk kas partai dan hanya dinikmati segelintir
orang tertentu.
Catatan buruk
lainnya terhadap anggota dewan adalah pada saat pelaksanaan rapat paripurna
dalam memutuskan sesuatu. Pada saat seluruh mata tertuju pada DPR, anggota
dewan justru kerap menunjukkan perilaku yang tidak sepatutya. Pelaksanaan
musyawarah kerap diwarnai dengan hujan interupsi. Dua kelompok berbeda pendapat
beradu argumen tanpa solusi. Jalan akhir yang diambil adalah voting.
Dengan demikian, pengambilan keputusan selalu menyisahkan pihak yang sakit
hati.
Dengan
dilantiknya anggota dewan yang baru, masyarakat berharap agar kinerja sebagai
anggota dewan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Tingkat ketidakpercayaan
dan ketidakpuasan atas kinerja anggota harus diturunkan dan dihapuskan. Hal
tersebut hanya dapat dilakukan dengan kerja real dan rela untuk negara,
bekerja sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat luas. Bukan semata untuk
kepentingan partai.
Kewenangan
sebagai “pengawas” jalannya roda pemerintahan harus dijalankan sebaik-baiknya. Adanya
dua blok didalam DPR memang menjadi sesuatu yang riskan mengandung resiko pada
saat pengambilan keputusan. Setidaknya, pengambilan keputusan diambil dengan
jalan terbaik, terbaik untuk kepentingan masyarakat banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar