Oleh: Ali Thaufan DS
Sejak kekalahan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dari Koalisi
Merah Putih (KMP) dalam perebutan kursi pimpinan DPR-MPR, beberapa pengamat
memprediksi bahwa pemerintahan kedepan tidak akan mudah. Presiden dan
pembantunya (para menteri) akan menemui jalan terjal dalam pembahasan agenda
kerja yang harus disetujui DPR. Terlebih muncul suara-suara bernada ancaman
membatalkan pelantikan dan menjegal pemerintahan presiden dan wakil presiden
terpilih, Jokowi-Jusuf Kalla.
Tulisan ini hadir dari telaah situasi politik kekinian yang
ramai membicarakan persiapan pelantikan presiden dan wakilnya pada 20 Oktober
2014. Banyak sekali ketegangan politik yang dapat dirasakan. Perseteruan KIH
dan KMP menjadi topik “seksi” dalam memprediksi jalannya pemerintahan kedepan.
Seperti diketahui, kekalahan koalisi pendukung Prabowo dalam
pemilu presiden 2014 lalu meninggalkan luka dan kekesalan dalam diri mereka.
Buntut panjang kekalahan tersebut sepertinya “dilampiaskan” dalam pemilihan
ketua DPR dan MPR. Partai koalisi KMP yang mendapat dukungan banyak partai di
parlemen menyapu bersih kursi pimpinan DPR dan MPR. Mekanisme pemilihan dilakukan
dengan cara menafikan kata sepakat atau musyawarah. Semua proses pemilihan melalui
voting.
Atas sapu bersih kursi pimpinan parlemen dan komposisi KIH
yang kalah dari KMP diparlemen, KIH yang menyokong pemerintah Jokowi-Jusuf
Kalla (eksekutif) harus mengambil langkah strategis. Salah satu langkah
strategis adalah terus berupaya menguatkan barisan pendukung di parlemen dengan
menarik partai dalam KMP untuk bergabung. Dengan langkah tersebut, kebijakan
pemerintah akan mudah mendapat “ketuk palu” dari DPR. Atau, eksekutif harus
mampu menghadirkan progam-progam yang betul-betul mengarah pada kepentingan
rakyat, sehingga tidak ada alasan diparlemen untuk menolaknya.
Dukungan kekuatan legislatif terhadap eksekutif yang kuat
ternyata dapat mengarah pada hal-hal negatif dalam pemerintahan. Menurut Saldi
Isra, kekuatan eksekutif yang ditopang dengan dukungan parlemen dapat
melahirkan pemerintahan yang otoriter. Sebaliknya, jika eksekutif tidak
mendapat dukungan legislatif, akan memunculkan ketegangan dalam pemerintahan.
Namun perlu dicatat, bahwa kekuatan eksekutif yang didukung
oleh legislatif tidak memberi jaminan berjalannya pemerintahan yang mulus.
Kasus ini seperti menimpa Kabinet Indonesia Bersatu II (masa SBY-Budiono
periode kedua). Alih-alih dapat berjalan dengan baik, KIB II justru terjebak
dalam polarisasi internal koalisi mereka sendiri. Dalam hal pengambilan
keputusan melalui DPR, partai Demokrat dan koalisi yang tetap setia selalu
menghadapi perlawanan dari salah satu anggota koalisinya.
Segala perseteruan dan “dendam” pilpres yang telah lalu harus
disudahi. Bukan saatnya “menghantui” pemerintah dengan isu pemakzulan atau
memberhentikan presiden dan wakil presiden oleh kekuatan politik di parlemen dengan
alasan berbeda faksi. Tentu hal tersebut akan membuat instabilitas dibanyak
bidang seperti politik, ekonomi dan keamanan. Dan, perlu diingat bahwa UUD
tidak menghendaki hal tersebut tanpa ada landasan yang menguatkan, pelanggaran
hukum yang menjerat presiden.
Kini, pasca dilantiknya anggota dewan, masyarakat Indonesia
menanti kerja harmonis antara eksekutif dan legislatif. Keduanya harus segera
merealisasikan janji-janji mereka yang disampaikan pada saat masa kampanye. Sehingga
cita-cita bangsa dan negara dapat segera tercapai. Masyarakat tentu
mengharapkan agar legislatif dan eksekutif segera menunjukkan kinerja yang
prorakyat. Persoalan kemiskinan yang semakin tinggi, buruknya pendidikan,
kesejahteraan yang jauh dari harapan masyarakat yang segera diselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar