Senin, 13 Oktober 2014

Menyudahi polemik, Menanti Harmoni Eksekutif –Legislatif

Oleh: Ali Thaufan DS

Sejak kekalahan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dari Koalisi Merah Putih (KMP) dalam perebutan kursi pimpinan DPR-MPR, beberapa pengamat memprediksi bahwa pemerintahan kedepan tidak akan mudah. Presiden dan pembantunya (para menteri) akan menemui jalan terjal dalam pembahasan agenda kerja yang harus disetujui DPR. Terlebih muncul suara-suara bernada ancaman membatalkan pelantikan dan menjegal pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-Jusuf Kalla.

Tulisan ini hadir dari telaah situasi politik kekinian yang ramai membicarakan persiapan pelantikan presiden dan wakilnya pada 20 Oktober 2014. Banyak sekali ketegangan politik yang dapat dirasakan. Perseteruan KIH dan KMP menjadi topik “seksi” dalam memprediksi jalannya pemerintahan kedepan.

Seperti diketahui, kekalahan koalisi pendukung Prabowo dalam pemilu presiden 2014 lalu meninggalkan luka dan kekesalan dalam diri mereka. Buntut panjang kekalahan tersebut sepertinya “dilampiaskan” dalam pemilihan ketua DPR dan MPR. Partai koalisi KMP yang mendapat dukungan banyak partai di parlemen menyapu bersih kursi pimpinan DPR dan MPR. Mekanisme pemilihan dilakukan dengan cara menafikan kata sepakat atau musyawarah. Semua proses pemilihan melalui voting.

Atas sapu bersih kursi pimpinan parlemen dan komposisi KIH yang kalah dari KMP diparlemen, KIH yang menyokong pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla (eksekutif) harus mengambil langkah strategis. Salah satu langkah strategis adalah terus berupaya menguatkan barisan pendukung di parlemen dengan menarik partai dalam KMP untuk bergabung. Dengan langkah tersebut, kebijakan pemerintah akan mudah mendapat “ketuk palu” dari DPR. Atau, eksekutif harus mampu menghadirkan progam-progam yang betul-betul mengarah pada kepentingan rakyat, sehingga tidak ada alasan diparlemen untuk menolaknya.

Dukungan kekuatan legislatif terhadap eksekutif yang kuat ternyata dapat mengarah pada hal-hal negatif dalam pemerintahan. Menurut Saldi Isra, kekuatan eksekutif yang ditopang dengan dukungan parlemen dapat melahirkan pemerintahan yang otoriter. Sebaliknya, jika eksekutif tidak mendapat dukungan legislatif, akan memunculkan ketegangan dalam pemerintahan.

Namun perlu dicatat, bahwa kekuatan eksekutif yang didukung oleh legislatif tidak memberi jaminan berjalannya pemerintahan yang mulus. Kasus ini seperti menimpa Kabinet Indonesia Bersatu II (masa SBY-Budiono periode kedua). Alih-alih dapat berjalan dengan baik, KIB II justru terjebak dalam polarisasi internal koalisi mereka sendiri. Dalam hal pengambilan keputusan melalui DPR, partai Demokrat dan koalisi yang tetap setia selalu menghadapi perlawanan dari salah satu anggota koalisinya.

Segala perseteruan dan “dendam” pilpres yang telah lalu harus disudahi. Bukan saatnya “menghantui” pemerintah dengan isu pemakzulan atau memberhentikan presiden dan wakil presiden oleh kekuatan politik di parlemen dengan alasan berbeda faksi. Tentu hal tersebut akan membuat instabilitas dibanyak bidang seperti politik, ekonomi dan keamanan. Dan, perlu diingat bahwa UUD tidak menghendaki hal tersebut tanpa ada landasan yang menguatkan, pelanggaran hukum yang menjerat presiden.


Kini, pasca dilantiknya anggota dewan, masyarakat Indonesia menanti kerja harmonis antara eksekutif dan legislatif. Keduanya harus segera merealisasikan janji-janji mereka yang disampaikan pada saat masa kampanye. Sehingga cita-cita bangsa dan negara dapat segera tercapai. Masyarakat tentu mengharapkan agar legislatif dan eksekutif segera menunjukkan kinerja yang prorakyat. Persoalan kemiskinan yang semakin tinggi, buruknya pendidikan, kesejahteraan yang jauh dari harapan masyarakat yang segera diselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar