Oleh:
Ali Thaufan DS
Materi
“Sejarah perjuangan HMI” disampaikan pada Latihan Kader HMI Komisariat Fak. Dirasat
Islamiyah Cabang Ciputat
19
September 2014, Lenteng Agung, Jakarta
Pendahuluan
“La raiba fi duhuli
HMI”. Demikian ungkapan penulis bagi rekan-rekan mahasiswa baru yang kerap
meminta pendapat atau sekedar bertanya tentang organisasi yang tepat bagi
mereka. Pengakuan HMI sebagai organisasi kemahasiswaan yang tepat bagi
mahasiswa adalah hal yang wajar. Pasalnya sampai hari ini HMI masih menjadi
student need bagi mahasiswa. HMI alat bagi para mahasiswa yang haus untuk
melatih diri sebagai politisi, akademisi, leader dan bahkan intelektual.
Dalam lintasan sejarah
Indonesia modern, HMI “terpaksa” tercatat. Dinamika Indonesia sejak proklamasi
kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta; polarisasi PKI, orde pembangunan dan reformasi
1998 telah menempatkan HMI dalam selipan sejarah Indonesia. Tulisan ini ingin
menjelaskan secara singkat tentang berdirinya HMI sebagai sebuah organisasi
pengkaderan yang meliputi: HMI tidak sekedar berdiri; Panggung menawan orde
baru untuk HMI, peluang dan godaan; dan harapan cerah masa depan HMI.
HMI Tidak Sedekar
Berdiri
Berdirinya HMI
ditengarai dua aspek penting yang saat itu menjadi sesuatu yang centre,
yaitu posisi Indonesia pasca kemerdekaan dan gelombang pemikiran dan pergerakan
Islam. Dalam literatur sejarah berdirinya HMI, dituliskan bagaimana seorang
Lafran Pane “ngotot” dan memaksa agar organisasi ini –HMI- berdiri, 5 Februari
1947. Dengan memanfaatkan waktu luang, Lafran Pane –yang saat itu berusia 25
tahun- dan kawan-kawan berhimpun diruang kelas yang digunakan mata kuliah Ilmi
Tafsir.
Gagasan tentang pendirian HMI ia kemukakan kepada mahasiswa lainnya.
“Rapat hari ini adalah rapat pembentukan satu organisasi Islam dimana
anggaran dasarnya sudah disiapkan. Pada hari ini bukan lagi mempersoalkan perlu
atau tidaknya mendirikan organisasi mahasiswa islam. Di antara saudara-saudara
boleh ada yang setuju dan boleh tidak setuju. Namun demikian, walaupun ada yang
tidak setuju, pada hari ini organisasi mahasiswa islam ini secara
formal harus berdiri karena persiapannya sudah matang”.
Setelah mendirikan
HMI, Pane menyampaikan pernyataan:
“keputusan mendirikan HMI, kami
(saya) tegaskan karena kebutuhan sangat mendesak bagi para cendekiawan muslim
muda untuk ikut dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Selanjutnya HMI juga
diharapkan mampu melestarikan dan mengamankan ajaran Islam.
Ungkapan “... harus
berdiri karena persiapannya sudah matang” pada kutipan pertama di atas mengindikasikan
HMI bukan lahir dari berbincangan semata. Ia didirikan dengan penuh kesungguhan
oleh para mahasiswa saat itu. Bahkan Anggaran Dasar (AD) pun telah dipersiapkan.
Setidaknya dari ungkapan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum tanggal
5 Februari 1947, Pane dan rekan-rekan mahasiswa lainnya telah “menggodok”
gagasan berdirinya HMI.
Tidak ada yang
kebetulan dari berdirinya HMI. Ditengah situasi politik nasional pasca
kemerdekaan dan keadaan yang masih mencekam, HMI berkomitmen untuk
mempertahankan NKRI. Pada fase awal berdirinya, HMI berperan aktif dan kerap
bersinggungan dengan politik nasional guna mempertahankan NKRI. HMI kerap
melibatkan diri dalam upaya perlawanan fisik maupun diplomasi.
Perundingan Linggar
Jati 25 Maret 1947 yang kemudian berimplikasi pada pecahnya kabinet membuat HMI
turun andil dalam persoalan tersebut. Seperti diketahui, posisi Syahrir
(Sosialis Demokrat) sebagai ketua kabinet diturunkan oleh Amir Syarifuddin
(Sosialis Revolusioner / PKI). Bersama dengan organisasi Islam lainnya, HMI
melakukan aksi demontrasi menolak Amir. Itulah sebabnya dikemudian hari HMI
begitu dimusuhi oleh PKI. Pada perjalanan sejarah berikutnya, PKI melakukan
aksi berdarah di Madiun. HMI tidak tinggal diam. HMI mengirim kader-kadernya
yang tergabung dalam Corps Mahasiswa Indonesia (CMI). Puncak kebencian PKI
kepada HMI adalah pada saat PKI “mengipas hawa panas” Sukarno untuk membubarkan
HMI. Tetapi atas saran Saifuddin Zuhri, Menag era itu, HMI pun tidak
dibubarkan.
Setidaknya ulasan
di atas memperlihatkan sejarah berdirinya HMI ditengah gejolak pasca
kemerdekaan. NKRI belum betul-betul aman. Sehingga rakyat Indonesia tetap gigih
dalam mempertahankannya HMI terlibat pada masa itu. Disisi lain, perlu kiranya
memotret berdirinya HMI dari sudut pandang pergerakan umat Islam.
Dalam buku-buku
yang memotret perkembangan dinamika pemikiran Islam, abad 19 adalah titik
krusial perkembangan pemikiran Islam. Pada masa itu muncul tokoh-tokoh semisal
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Gagasan mereka adalah
menuju satu tujuan, yakni kemajuan umat Islam. Kemunculan mereka dibarengi
dengan munculnya tokoh-tokoh di Indonesia, sebut saja Ahmad Dahlan yang
mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dan Hasyim Asy’ari yang mendirikan NU pada
1926. Dua tokoh yang cukup berpengaruh bagi perkembangan pemikiran di Indonesia
sampai saat ini. Setidaknya kemunculan organisasi masyarakat yang berideologi
Islam menjadi setting historis berdirinya HMI.
Panggung Menawan
Orde Baru untuk HMI: Peluang dan Godaan
Partisipasi HMI
dalam mempertahankan NKRI pasca kemerdekaan dan sekaligus menjadikan PKI musuh
utama HMI mendapat respon positif dari pemerintah orde baru. Bahkan saat itu
muncul istilah bahwa ketua PB HMI pasti mendapat jatah di parlemen. Posisi HMI
yang “getol” menentang PKI menjadi “kembang” dan banyak mendapat pujian. Orde
baru saat itu berhasil dengan sukses membuat persepsi “Awas ada PKI”. Hal ini
membuat rakyat betul-betul membenci PKI. Karena HMI saat itu menjadi musuh PKI,
maka rakyat pun memuji HMI.
Pada era orde baru,
Agus Salim mencatat bahwa HMI menjelma menjadi aset nasional. Saat itu mulai
banyak kader HMI yang menduduki pos-pos penting di pemerintahan. HMI tampil
dengan beragam inovasi dan menjadi mitra pemerintah. Namun demikian, Agus juga
mencatat bahwa hal itu dapat menjadi kelemahan bagi HMI.
Keberadaan kader
HMI berada dalam politic cirle pada masa orde baru adalah kesempatan bagi HMI untuk menyebarkan
doktrinasi positif dan nilai-nilai luhur ajaran HMI. Tetapi pada kesempatan
yang sama, HMI dihadapkan dengan “godaan” politik yang mampu merontokkan
idealisme kader HMI. Politik akhirnya menjadi “candu” bagi kader HMI.
Kader-kader HMI pada akhirnya sangat dekat dengan kekuasaan. HMI berada dalam mainstrem pemerintah. Hal ini yang kemudian membuat HMI enggan mengkritisi
kebijakan pemerintah.
Pada wilayah
perkembangan pemikiran Islam, semasa orde baru, HMI menerobos “kejumunan” pemikiran
Islam pada saat itu. Salah satu kadernya, Nurcholish Madjid –akrab disapa Cak
Nur-, HMI membuat gebrakan pemikiran. Salah satu gagasan yang cukup
kontroversial saat itu adalah “Islam Yes, Partai Islam No!” yang tertuang dalam
makalah yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat”. Makalah yang dipaparkan pada 1970 tersebut pada akhirnya menginspirasi
generasi selanjutnya untuk membuat terobosan-terobosan pemikiran keislaman.
Ditangan Cak Nur
lah nilai dasar perjuangan HMI di tuliskan. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI ditulis setelah Cak Nur menapaki pengembaraan intelektualnya. Ia
melihat bagaimana kehidupan seorang Islam di barat dan timur. Lalu lahir lah
NDP sebagai akumulasi dari wacara pemikiran Cak Nur untuk menjawab
persoalan-persoalan tentang keislaman, keindonesiaan, kemodernan dan
kemanusiaan. Pada akhirnya NDP pula lah menjadi cara pandang kader HMI dalam
menjawab berbagai persoalan seperti yang dimaksudkan Cak Nur.
Harapan Cerah
Masa Depan HMI
“Tidak ada sesuatu
yang sempurna di bumi Tuhan”, ungkapan ini sering penulis sampaikan dalam
beberapa kesempatan untuk memaparkan sekilas tentang HMI. Saat ini banyak kader
HMI menjelma menjadi organisasi yang “nggak karuan” tanpa arah yang jelas.
karenanya, ungkapan “tidak ada sesuatu yang sempurna” kerap penulis gunakan.
Harus diakui masih ada berbagai kekurangan didalam HMI. Agus Salim dalam
bukunya, 44 indikator kemunduran HMI: Suatu Kritik Untuk
Kebangkitan HMI, mengulas hal-hal yang menjadikan
HMI lepas dari "rel".
Kebebasan
berpendapat yang menjadi ciri era reformasi memberi peluang bagi HMI sdan
sekaligus kadernya untuk menyampaikan gagasan “suci” tentang misi para pendiri
HMI. Harapan tersebut semakin nyata tatkala kader HMI yang menduduki pos-pos
penting memainkan perannya dengan baik. Partisipsi HMI dalam pembangunan bangsa
saat ini pun terlihat, meski belum dilakukan secara masif. Kesadaran kader HMI
pada tingkat komisariat atas persoalan-persoalan bangsa patut diapresiasi.
Berbagai hal telah
dilakukan para kader khususnya ditingkat komisariat untuk menjaga stabilitas
ritme pengkaderan HMI. Tujuan mulia hendak mereka capai, yakni mengembalikan
spirit dan kejayaan HMI. Dengan semangat kebesaran “jubah” HMI, para kader
senantiasa melanjutkan estafet pembangunan bangsa. Salah satu langkah riil adalah berkontribusi dengan membuat kajian-kajian intensif. Dalam hal
tataran pengambilan kebijakan, alumni-alumni HMI banyak terlibat. Mereka yang tersebar
diberbagai lini pemerintahan mendorong Indonesia menjadi bangsa besar yang
mampu bersaing dipanggung pasar bebas dunia.
Dengan kemajuan
teknologi yang semakin pesat, serta pengalaman yang cukup matang, HMI akan
senantiasa memberikan hal terbaik untuk bangsa Indonesia. Harapan yang cerah
itu selalu muncul dan tertanam dalam diri kader HMI. Pada akirnya HMI yang
diprediksi akan “mati” pada siklus 70 tahunan akan terbantah. HMI akan tetap
hidup dan tak pernah “mati”. Penulis mendasarkan bahwa kemajuan zaman telah
mendorong segalanya lebih mudah. Hal itu menjadi kesempatan sekaligus milik
HMI.
Daftar
Bacaan
Alfan Alfian, HMI 1963-1966, Menegakkan Pancasila ditengah
Prahara, Penerbit Kompas, 2011
Hasanuddin M Soleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, Penerbit Lingkaran, 1996.
Fachri Ali dll, HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan, Menghadapi
Perubahan Zaman, Majelis KAHMI Nasional, 1997.
Tim Penyusun, Modul LK I HMI Cab. Ciputat, 2011
Rusydi Zakaria dkk (ed), Membingkai Perkaderan
Intelektual, Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, Presidium
KAHMI Ciputat-UIN Jakarta Press, 2012
Muhammad
Syafaat, “Reinterpretasi Nurcholish Madjid atas al-Qur’an : Studi Analitis atas
Hermeneutika Neo Modernisme,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2009