Minggu, 10 November 2013

Kawal Daftar Negatif Investasi (DNI): Waspada Penjualan Aset Negara

Oleh: Ali Topan DS

Sadar atau tidak, saat ini aset negara (nasional) telah banyak dikuasai asing. Tentu saja ini dapat diartikan dengan “penjajahan”. Kebijakan pemerintah yang menguntungkan kepentingan asing ibarat mengerdilkan tuan rumah di dalam rumahnya sendiri. Menurut Rektor Universitas Gajah Mada, Pratikno, sekitar 70 persen aset negara telah dikuasai pihak asing.
Agenda pemerintah merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) menuai perbedaan pendapat. Sebagian berpandapat bahwa DNI dikhawatirkan hanya akan mementingkan investor asing dan akan merugikan kedaulatan ekonomi dalam negeri. Sementara dipihak lain berpandangan bahwa dengan masuknya modal dari investor asing dianggap akan membantu memperbaiki defisit neraca.
Pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kebijakan terkait aturan investor. Aturan tersebut diharapkan berpihak untuk kepentingan nasional. Menurut Ahmad Erani, Direktur Institute for Devolepment of Economics and Finance (INDEF) pemerintah sangat perlu akan kehadiran para investor, tetapi harus pula mengedepankan kepentingan nasional dalam hal kebijakan ekonomi. Investor dapat berperan sebagai sumber cadangan devisa. Namun, perlu pengawasan dari pemerintah agar tidak salah pengaturan. Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardoyo memberikan pandangan jika modal investor sebaiknya diarahkan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperbaiki transaksi berjalan.
Meski demikian, modal dari investor sebagai cadangan devisa pun menuai kritik. Menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Revrison Baswir, bahwa pemerintah sebetulnya mengalami kepanikan dalam merespon keadaan ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari upaya membuka ruang seluas-luasnya bagi investor untuk mendapat cadangan devisa.
Seperti diwacanakan, pemerintah akan membuka lima bidang usaha bagi investor, yakni, pelabuhan, bandar udara, uji kendaraan bermotor, terminal darat dan distribusi film. Pembukaan terhadap bidang di atas akan menambah kompetisi atau persaingan antara pengusaha lokal dan asing. Hanya, pemerintah perlu mengutamakan pengusaha lokal.
Perlu dicermati, mendekati pemilihan umum 2014 mendatang banyak oknum yang punya kepentingan di atas kepentingan (bersifat sesaat dan menyesatkan). Kepentingan itu dapat menjadi sesuatu yang “naif” jika mengabaikan kepentingan rakyat. Kebijakan ekonomi dan politik memang saling memengaruhi. Pemilik modal bisa saja “bermain mata” dengan pengambil kebijakan dalam melanggengkan project nya. Demikian kasus di atas. Perlu mengkritiki segala “gerak-gerik” pemerintah dalam membuat regulasi.


Kesimpulan penulis adalah: Perlu mengawal kebijakan pemerintah dalam membuat regulasi. Terlebih jika hal itu menyangkut aset negara. Negara ini tidak boleh lagi “kecolongan” oleh aturan yang meng-iya-kan aset negara lepas. Pemerintah seharusnya tidak perlu gegabah dengan membuka kran investor guna menjadikannya sebagai cadangan devisa. Modal dari investor memang diperlukan. Tetapi pada tempat yang tepat seperti upaya perekonomian berkelanjutan dengan melakukan perbaikan transaksi berjalan. Tentu saja hal yang paling penting adalah tanggung jawab para pengambil kebijakan. Mereka tidak boleh secara parsial dalam pengambilan keputusan yang menguntungkan segelintir orang dan menafikkan banyak kepentingan (rakyat). (sumber data: Media Indonesia, Kompas.com, Merdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar