Oleh: Ali Topan DS
Saat ini sangat sulit mendapati citra
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bersih. Beberapa berita baik di media
elektronik dan cetak menyuguhkan sisi negatif seputar DPR. Hal ini dapat
dilihat dari maraknya kasus korupsi; rapat dan sidang anggota DPR yang sepi; atau
kalaupun ramai peserta sidang akan mempertontonkan debat-debat yang tak lazim. Hal
ini pula yang turut mendorong sikap apatis rakyat dan nothing trust
terhadap anggota dewan
Beberapa hari ini, DPR mendapat sorotan
tajam media. Hal ini diakibatkan adanya indikasi “bancakan” dana optimalisasi
oleh Badan Anggara (Banggar) dengan total 27 triliun. Atas beredarnya kabar
tersebut, sejumlah pengamat ramai-ramai mengkritiki. Margarito, pakar hukum
tata negara menyatakan bahwa hak budget adalah oleh pemerintah, bukan DPR. DPR
hanya menerima usulan, bukan mengusulkan. Wakil KPK, Zulkarnain menduga adanya
upaya praktik korupsi yang dilakukan anggota DPR. Kekawatirannya dikarenakan
dana ini muncul diakhir tahun. Pertanyaannya adalah untuk lembaga apa dan
fungsinya. Sumber yang tak mau menyebut nama menyatakan bahwa partai politik
membutuhkan dana menjelang pemuli 2014. Oleh karena itu, mereka melakukan
penyimpangan melalui dana optimalisasi demi kas fraksi/partai. (Media
Indonesia 27-28 November 2013)
Apapun alasan DPR serta
rasionalisasinya, pasti dapat dimentahkan. Terlebih bagi mereka pengamat
kebijakan parlemen. Arah disalurkannya dana optimalisasi mudah ditebak. Kepada siapa
dan untuk siapa?. Dana optimalisasi tersebut diperuntukkan oleh
kementrian/lembaga terkait yang menjadi mitra DPR. Maka peran fraksi sangat
mempengaruhi kemana aliran dana tersebut.
Ditinjau dari kaca mata politik, dana
optimalisasi yang jumlahnya sangat banyak akan menjadi sasaran empuk sumber
dana partai. Terlebih menjelang tahun politik 2014. Dalam mencapai tujuan
politik/kekuasaan, terdapat sebuah rumusan yakni: (PM)+D+R=PA. (PM) adalah private
motif. Pemberian tanda kurung dimaksudkan tertutup. Private motif dimaksudkan
bahwa tujuan-tujuan politik tidak perlu disampaikan secara terbuka “diobral”. Kemudian
“D” adalah diplomasi. Dalam politik, diperlukan diplomasi demi tercapainya
tujuan-tujuan tertentu. “R” disini adalah raionalisasi. Rasionalisasi dalam
terhadap tujuan-tujuan politik menjadi rumusan yang harus dilakukan. Penerapan “R”
kepada kawan, lawan dan calon pemilih dengan baik akan membantu tercapainya
tujuan politik. Rangkaian dari rumus diatas akan menghasilkan political
action. Tercapailah sebuah tujuan politik.
Upaya penggelontoran dana optimalisasi
menurut penulis adalah penerapan rumus “D” dan “R” di atas. Pada saat
bersamaan, (PM) private motif tidak mungkin disampaikan secara terbuka
akan maksud tujuan dana optimalisasi. Bahkan seorang anggota banggar sendiri
bungkam saat ditanyai perihal dana optimalisasi. Pada titik ini, siapapun
berhak mempertanyakan perihal dana optimalisasi. DPR seharusnya terbuka soal
penyaluran dana tersebut. Oknum-oknum DPR yang tak bertanggungjawab seperti sedang
melakukan “diplomasi terselubung” guna menyusun penyaluran dana optimalisasi. Berbekal
dana optimalisasi, rasionalisasi akan dapat dilakukan khususnya pada para calon
pemilih.
Simpulan pembacaan di atas adalah: siapa yang berkepentignan
dibalik dana optimalisasi terbaca oleh pengamat parlemem. Lebih dari itu,
mereka (DPR) dianggap akan melakukan bagi-bagi “bancakan” dana pada fraksi di
DPR. Oleh sebab itu, perlu pengawalan terhadap pembahasan dan pengalokasian
dana optimalisasi. Jika dana itu benar untuk kepentingan rakyat seperti pembangunan
infrastruktur maka hal ini dapat dikatakan tepat. Tetapi jika hanya untuk
kepentingan oknum tertentu, maka lembaga hukum perlu ambil tindakan. (sumber
data dan informasi: Media Indonesia dan Metronews.com)