Oleh: Ali Topan DS
Gila
yaa banyak amet bro!, barangkali kalimat itu akan muncul
dari mulut kita ketika melihat berapa rupiah yang harus dikelurkan untuk duduk
di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mahal, tentu saja. Kita bisa
membayangkan kerja mobilisasi masa pemilih untuk seorang caleg. Butuh tenaga,
dan tentunya butuh dana. Dana itu pun tidak sedikit. Ratusan juga atau bahkan
miliyaran.
Jika dihitung kebutuhan
calon anggota legislatif, bisa dibayangkan berapa ongkos untuk sosialisasi.
Sosialisasi caleg seperti, iklan ditelevisi media cetak dan pembuatan dan
pemasangan baliho/spanduk tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi
dana “kaget” seperti izin pemasangan baliho di tempat-tempat tertentu, ongkos
bayaran bagi tenaga yang memasang ongkos bayar “preman” setempat dan masih
banyak lagi yang lainnya. Sebagai contoh, untuk membuat spanduk, harga pada
umumnya sekitar Rp 12.000-15.000/m. Bisa dibayangkan berapa ratus meter yang
harus dibutuhkan untuk sosialisasi sebelum masa kampanye. Selain itu perlu
diperhitungkan juga biaya sewa reklame untuk pemasangan baliho si caleg.
Tentu hitungan
matematis ini yang menjadi pertimbangan matang bagi siapa saja yang ingin
menjadi anggota dewan. Hitungan matang yang penulis maksud adalah, jika caleg
mengeluarkan rupiah pada saat kampanye, maka jika terpilih ia harus mencari
“dollar” sebagai penggantinya. Hal ini tidak menutup kemungkinan. Bahkan para
pengamat politik menyebutkan, salah satu dari banyak hal penyebab anggota dewan
melakukan korupsi adalah karena ongkos mahal politik itu sendiri. Modal besar
yang dikeluarkan untuk nyaleg.
Fadli Zon, ketua DPP
Gerindra membenarkan adanya ongkos politk yang sangat mahal untuk nyaleg. Partai Gerindra meminta uang
kontribusi paling besar mencapai Rp 300 juta bagi setiap caleg. Menurutnya dana
tersebut akan dikelolah oleh partai. Dana itu untuk kampanye caleg. Selain itu
dana yang terkumpul tadi juga untuk membayar saksi partai saat penghitungan
suara. Bisa dibayangkan jika ada 7.000 TPS, dan satu TPS membutuhkan dua saksi,
maka total saksi yang dibutuhkan 14.000 orang saksi.
Melihat keadaan yang
seperti ini, banyak caleg DPR yang “melarikan diri”, berpindah ke Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Dalam diskusi bertema “Peminat caleg DPD membeludak,
ada apa?”, Makhsum Sofwan, salah satu anggota DPD, menjelaskan Jika menjadi
caleg DPR, mereka harus melakukan setoran dana untuk partai. Apabila tidak
mematuhi, caleg kerap mendapat intimidasi dari partainya. Hal inilah yang
menjadi beban bagi caleg pada masa-masa kampanye.
Sedangkan, menurut
pengamat politik, Hanta Yudha, banyaknya peminat caleg dari DPR ke DPD adalah
pelarian politikus yang kalah bersaing di internal sebuah partai. Meningkatnya
caleg di DPD bisa berdampak positif dan negatif. Dampak positif itu akan muncul
jika si caleg ingin memperkuat posisi dan peran DPD. Sedangkan dampak
negatifnya adalah jika si caleg hanya mencari penghidupan dari DPD.
Setidaknya “itung-itung” untung rugi caleg ini menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang berkeinginan nyaleg. Kita tidak perlu berbicara idealisme jika perut tidak terpenuhi kebutuhannya; kita juga tidak perlu bicara kesejahteraan rakyat jika keserakahan masih menjadi sifat kita; dan juga tidak perlu rapat-rapat jika masih saja berdepat tak berujung. Semoga seleksi Daftar Caleg Sementara (DCS) yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar-benar akan memunculkan caleg-caleg yang bertanggung jawab kepada dirinya, pemilihnya dan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar