Jumat, 19 April 2013

Meneladani Ide “Pembebasan” Kartini (Refleksi Peringatan Hari Kartini)


Oleh: Ali Topan DS

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang diajar membaca Al Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukanlah begitu Stella?”  (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1890)
Menelisik jauh terhadap curahan hati Kartini yang ia tuang dalam surat tersebut, dapat dipahami bahwa Kartini, saat itu sedang gundah dengan agamanya, Islam. Bagaimana tidak, ia (Kartini), menanyakan tentang makna al-Qur’an kepada guru ngaji nya, tetapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya Kartini pun mogok ngaji. Alasannya sangat logis, untuk apa belajar membaca dan menghafal, jika tak mengerti maksudnya.

Posisi sulit tentu saja dirasakan Kartini. Hidup di tengah adat ningrat Jawa yang begitu ketat. Bahkan Kartini menilai adat Jawa dirasa sering menjadi penghambat bagi perempuan. Ia harus meninggalkan dan putus sekolah karena sudah di pingit dan harus tinggal dirumah. Meski demikian, ia tidak gentar untuk terus belajar. Upaya Kartini ia mulai dengan mengirim surat kepada beberapa temannya di Eropa. Ia tumpahkan kegundahan yang menjeratnya. Melalui tulisan-tulisan surat tersebut, Kartini menemukan jawaban.

Sikap kritis Kartini terhadap aturan-aturan adat menunjukkan betapa ia ingin melepaskan beban aturan tersebut. Dalam adat Jawa, aturan perempuan untuk jalan pelan-pelan mendapat kritik dari Kartini. Bagaimana seorang perempuan dapat “maju”, jika jalan cepat saja dilarang dan mendapat cacian. Menurut Kartini, aturan adat ini hanya bikinan manusia. Terkadang aturan ini menjadi penjara baginya. Kartini ingin “bebas”. Bebas dalam batas cara kebebasan itu dilakukan. Tentu Kartini sangat bertanggung jawab dengan ide kebebasan yang dia gaungkan.

Sebuah pelajaran penting tentang arti kebebasan yang diajarkan Kartini adalah kebebasan untuk mengetahui banyak hal dan bertanggung jawab atas semua itu. Kartini seolah memberikan “cambuk” bagi perempuan agar memiliki akselerasi dan kemampuan berpikir untuk maju. Kemampuan berpikir Kartini di atas rata-rata pada zamannya seakan memberi inspirasi bagi aktivis perempuan saat ini.

Penulis juga mencermati bahwa ide “pembebasan” ala Kartini ini seperti menginspirasi Hanung Bramantyo dalam membuat film berjudul “Perempuan Berkalung Sorban”. Kesimpulan penulis setelah berulang kali menyaksikan film tersebut adalah upaya emansipasi perempuan. Perempuan harus mendapat haknya sebagai ciptaan Tuhan; perempuan tidak boleh hanya mengurusi dapur saja; perempuan harus berpikir kritis. Seperti kritis yang ditunjukkan Kartini dalam suratnya di atas.
 
Ide “pembebasan” Kartini yang dimaksud penulis disini bukanlah bebas tanpa batas seperti halnya ide kebebasan yang sering kebablasan seperti saat ini. Bukan pula menyuarakan kebebasan karena “pesanan”. Tetapi “pembebasan” disini ialah, seorang telah mendapat kemampuan berfikir dan harus menggunakannya dengan semaksimal mungkin. Berpikir dalam hal apapun. Selama berpikir bebas tersebut didasari dengan rasa tanggung jawab, maka kebebasan yang tercipta bukanlah kebebasan ngawur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar