Oleh: Ali Topan DS
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa?
Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula
sebenarnya sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku
dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al
Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Disini
tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang diajar membaca Al
Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang
gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya itu.
Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku bahasa Inggris, aku
harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan
kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi
orang yang baik hati, bukanlah begitu Stella?”
(Surat Kartini kepada Stella, 6 November
1890)
Menelisik jauh terhadap
curahan hati Kartini yang ia tuang dalam surat tersebut, dapat dipahami bahwa
Kartini, saat itu sedang gundah dengan agamanya, Islam. Bagaimana tidak, ia (Kartini),
menanyakan tentang makna al-Qur’an kepada guru ngaji nya, tetapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya Kartini pun
mogok ngaji. Alasannya sangat logis, untuk
apa belajar membaca dan menghafal, jika tak mengerti maksudnya.
Posisi sulit tentu saja
dirasakan Kartini. Hidup di tengah adat ningrat
Jawa yang begitu ketat. Bahkan Kartini menilai adat Jawa dirasa sering menjadi
penghambat bagi perempuan. Ia harus meninggalkan dan putus sekolah karena sudah
di pingit dan harus tinggal dirumah. Meski
demikian, ia tidak gentar untuk terus belajar. Upaya Kartini ia mulai dengan
mengirim surat kepada beberapa temannya di Eropa. Ia tumpahkan kegundahan yang
menjeratnya. Melalui tulisan-tulisan surat tersebut, Kartini menemukan jawaban.
Sikap kritis Kartini
terhadap aturan-aturan adat menunjukkan betapa ia ingin melepaskan beban aturan
tersebut. Dalam adat Jawa, aturan perempuan untuk jalan pelan-pelan mendapat
kritik dari Kartini. Bagaimana seorang perempuan dapat “maju”, jika jalan cepat
saja dilarang dan mendapat cacian. Menurut Kartini, aturan adat ini hanya
bikinan manusia. Terkadang aturan ini menjadi penjara baginya. Kartini ingin “bebas”.
Bebas dalam batas cara kebebasan itu dilakukan. Tentu Kartini sangat
bertanggung jawab dengan ide kebebasan yang dia gaungkan.
Sebuah pelajaran
penting tentang arti kebebasan yang diajarkan Kartini adalah kebebasan untuk
mengetahui banyak hal dan bertanggung jawab atas semua itu. Kartini seolah
memberikan “cambuk” bagi perempuan agar memiliki akselerasi dan kemampuan
berpikir untuk maju. Kemampuan berpikir Kartini di atas rata-rata pada zamannya
seakan memberi inspirasi bagi aktivis perempuan saat ini.
Penulis juga mencermati
bahwa ide “pembebasan” ala Kartini ini seperti menginspirasi Hanung Bramantyo
dalam membuat film berjudul “Perempuan Berkalung Sorban”. Kesimpulan penulis
setelah berulang kali menyaksikan film tersebut adalah upaya emansipasi
perempuan. Perempuan harus mendapat haknya sebagai ciptaan Tuhan; perempuan tidak
boleh hanya mengurusi dapur saja; perempuan harus berpikir kritis. Seperti kritis
yang ditunjukkan Kartini dalam suratnya di atas.
Ide “pembebasan” Kartini yang dimaksud penulis disini bukanlah bebas tanpa batas seperti halnya ide kebebasan yang sering kebablasan seperti saat ini. Bukan pula menyuarakan kebebasan karena “pesanan”. Tetapi “pembebasan” disini ialah, seorang telah mendapat kemampuan berfikir dan harus menggunakannya dengan semaksimal mungkin. Berpikir dalam hal apapun. Selama berpikir bebas tersebut didasari dengan rasa tanggung jawab, maka kebebasan yang tercipta bukanlah kebebasan ngawur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar