Oleh: Ali Topan DS
“Hukum di Indonesia
tajam kebawah, tapi tumpul keatas”. Barangkali inilah adagium kebanyakan
pengamat hukum melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Banyak sekali
kasus hukum yang mendera baik dari kalangan rakyat miskin hingga para pejabat
parlente. Tentu masih lekat dalam ingatan, pada tahun 2012 seorang nenek yang
mencuri singkong kemudian mendapat vonis di pengadilan. Meski akhirnya
pengadilan membebaskan dengan pertimbangan ekonomi lemah sang nenek. Lalu seorang
nenek yang mengambil biji kakao yang menyeretnya ke meja hijau. Dan tentu saja,
maling ayam yang akhirnya babak belur dikeroyok massa karena meregukan
penegakan hukum sehingga main hakim sendiri. Potret persoalan hukum diatas
tentu hanya sebagian kecil dari yang beredar di media, tentu masih banyak lagi
hukuman tak setimpal yang mendera pelaku hukum yang sedang terdesak ekonomi.
Pada saat bersamaan,
masyarakat Indonesia dibuat terperangah dengan ulah sebagian pejabat yang
menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan dengan melakukan tindak korupsi. Tidak
tanggung-tanggung, korupsi yang dilakukan bukan dengan jumlah kecil, melainkan
jumlah yang sangat fantastis, miliyaran hingga triliunan. Yang lebih membuat
miris, umumnya mereka hanya mendapat hukuman tidak lebih dari 5 tahun. Sebut saja
Nazaruddin yang mendapat vonis hukuman 4 tahun 10 bulan penjara dan dengan 200
juta; Angelina di vonis 4,5 tahun dan denda 250 juta; dan Hartati Murdaya
dengan vonis 2 tahun delapan bulan penjara dan 150 juta.
Melihat hukuman yang
tidak sebanding tersebut membuat orang tak takut pada hukum manusia (KPK,
Polisi dan penegak hukum lainnya). Entahlah, apa yang dipikirkan oleh pelaku
korupsi yang jelas merugikan warga dan negara. Belum lagi citra Indonesia
diurutan daftar negara terkorup akan terus menaik.
Melihat hukum yang
sudah acak-acakan seperti ini,
masyarakat semakin ogah berbicara
hukum. Hasil survey sebuah lembaga survey menunjukkan bahwa lebih 50% dari 1200
responden sudah tidak percaya lagi penegakan hukum di era kabinet bersatu II
ini (Pemerintahan SBY). Hal ini ditengarai utamanya oleh kasus korupsi yang
dilakukan elit pemerintahan atau bahkan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Selain
itu “Masyarakat Cerdas” juga mencium ada indikasi intervensi politik pada aparat
penegak hukum, sehingga hukum bisa di kong-kalikong
alias ditawar.
Ketidakpercayaan pada
hukum juga dipertontonkan oleh aparat TNI. Seperti penyerbuan di LP Cebongan
Yogyakarta. Penyerbuan tahanan yang dilakukan oknum TNI tertentu disinyalir
sebagai aksi balas dendam untuk menebus nyawa rekannya yang tewas ditangan
tahanan tersebut. Gerah dengan menunggu proses hukum oleh Polisi, oknum TNI
tersebut pun menghakimi sendiri para pelakunya. Atas nama “Demi jiwa korsa dan
membela satuan”, nyawa dikorbankan.
Seperti inilah
kenyataan yang harus diterima masyarakat Indonesia. Lembeknya penegakan hukum. Pemerintah
harus lebih jeli untuk melakukan pembenahan penegakan hukum agar hukum urakan yang kerap terjadi ini
segera berakhir. Diakhir pemerintahan SBY, ini menjadi pekerjaan rumah yang
harusnya mendapat perhatian serius lebih dari sekedar mengurus partainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar