Kamis, 11 April 2013

Hukum Urak-Urakan: Catatan Ketidakpuasan Penegakan Hukum Indonesia


Oleh: Ali Topan DS

“Hukum di Indonesia tajam kebawah, tapi tumpul keatas”. Barangkali inilah adagium kebanyakan pengamat hukum melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Banyak sekali kasus hukum yang mendera baik dari kalangan rakyat miskin hingga para pejabat parlente. Tentu masih lekat dalam ingatan, pada tahun 2012 seorang nenek yang mencuri singkong kemudian mendapat vonis di pengadilan. Meski akhirnya pengadilan membebaskan dengan pertimbangan ekonomi lemah sang nenek. Lalu seorang nenek yang mengambil biji kakao yang menyeretnya ke meja hijau. Dan tentu saja, maling ayam yang akhirnya babak belur dikeroyok massa karena meregukan penegakan hukum sehingga main hakim sendiri. Potret persoalan hukum diatas tentu hanya sebagian kecil dari yang beredar di media, tentu masih banyak lagi hukuman tak setimpal yang mendera pelaku hukum yang sedang terdesak ekonomi.

Pada saat bersamaan, masyarakat Indonesia dibuat terperangah dengan ulah sebagian pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan dengan melakukan tindak korupsi. Tidak tanggung-tanggung, korupsi yang dilakukan bukan dengan jumlah kecil, melainkan jumlah yang sangat fantastis, miliyaran hingga triliunan. Yang lebih membuat miris, umumnya mereka hanya mendapat hukuman tidak lebih dari 5 tahun. Sebut saja Nazaruddin yang mendapat vonis hukuman 4 tahun 10 bulan penjara dan dengan 200 juta; Angelina di vonis 4,5 tahun dan denda 250 juta; dan Hartati Murdaya dengan vonis 2 tahun delapan bulan penjara dan 150 juta.

Melihat hukuman yang tidak sebanding tersebut membuat orang tak takut pada hukum manusia (KPK, Polisi dan penegak hukum lainnya). Entahlah, apa yang dipikirkan oleh pelaku korupsi yang jelas merugikan warga dan negara. Belum lagi citra Indonesia diurutan daftar negara terkorup akan terus menaik.

Melihat hukum yang sudah acak-acakan seperti ini, masyarakat semakin ogah berbicara hukum. Hasil survey sebuah lembaga survey menunjukkan bahwa lebih 50% dari 1200 responden sudah tidak percaya lagi penegakan hukum di era kabinet bersatu II ini (Pemerintahan SBY). Hal ini ditengarai utamanya oleh kasus korupsi yang dilakukan elit pemerintahan atau bahkan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Selain itu “Masyarakat Cerdas” juga mencium ada indikasi intervensi politik pada aparat penegak hukum, sehingga hukum bisa di kong-kalikong alias ditawar.

Ketidakpercayaan pada hukum juga dipertontonkan oleh aparat TNI. Seperti penyerbuan di LP Cebongan Yogyakarta. Penyerbuan tahanan yang dilakukan oknum TNI tertentu disinyalir sebagai aksi balas dendam untuk menebus nyawa rekannya yang tewas ditangan tahanan tersebut. Gerah dengan menunggu proses hukum oleh Polisi, oknum TNI tersebut pun menghakimi sendiri para pelakunya. Atas nama “Demi jiwa korsa dan membela satuan”, nyawa dikorbankan.

Seperti inilah kenyataan yang harus diterima masyarakat Indonesia. Lembeknya penegakan hukum. Pemerintah harus lebih jeli untuk melakukan pembenahan penegakan hukum agar hukum urakan yang kerap terjadi ini segera berakhir. Diakhir pemerintahan SBY, ini menjadi pekerjaan rumah yang harusnya mendapat perhatian serius lebih dari sekedar mengurus partainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar