Minggu, 28 April 2013

Caleg Artis dan Kepentingan Partai


Oleh: Ali Topan DS

Menjelang pemilihan umum legislatif  2014, beberapa partai politik telah menyerahkan Daftar Caleg Sementara (DCS). Diawali Partai Keadilan Sejahtera yang menyerahkan DCS kemudian disusul partai-partai lainnya. Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, caleg yang diusung partai ada yang sudah menduduki jabatan legislatif; caleg pindahan dari partai lain; dan tentu saja caleg dari kalangan artis.

Saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja anggota telah menurun. Masyarakat mulai apatis dengan hal-hal yang bersifat politis. Kasus korupsi yang menjerat sebagian anggota legislatif ditingkat pusat sampai daerah telah mempengaruhi semangat memilih. “Ogah ngurus partai, banyak yang korup”, bagitulah kira-kira yang dirasakan masyarakat. Pada saat seperti ini, partai harus mengembalikan kepercayaan masyarakat. Salah satunya menghadirkan caleg atau anggota legislatif yang koperatif terhadap rakyat. Partai mulai berlomba mencari simpati publik. Salah satunya dengan rekrut caleg dari kalangan artis.

Dinilai artis dapat mendongkrak suara partai, wajar bila partai memilih figur artis. Artis dirasa sudah terkenal, sehingga pemilih mudah menghafal nama dan wajah. Selain itu, karena artis memiliki fans, maka itu bisa jadi basis konstituen. Track record artis mesti tidak terlalu bagus atau berprestasi, tetapi jarang ditemukan caleg artis yang terjerat kasus hukum. Meski ada, (seperti kasus Wanda Hamidah) tetapi tidak terbukti secara hukum.

Sementara itu, menurut pengamat politik dari UGM, Arif Sujito, rekrutmen artis sebagai caleg dinilai sebagai kegagalan kaderisasi dalam tubuh partai. Tentu saja pernyataan ini dapat dibenarkan. Bagaimana tidak, ratusan atau ribuan kader partai ngantri untuk bisa berkarir di partai dengan mencalon diri sebagai caleg, tetapi itu bisa terganjal hanya karena kehadiran artis. Selain itu, pemilu pada 2009 yang cukup banyak melibatkan artis juga tidak maksimal. Ada juga artis yang diusung partai tertentu, tetapi gagal. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi nama lengkap si artis. Di mata publik artis terkadang lebih terkenal dengan nama sebutan/panggilan. Maka, bagi artis yang nyaleg, diperlukan waktu untuk sosialisasi, utamanya nama lengkapnya.

Melihat fakta artis masih menjadi daya tarik partai, penulis menyarankan agar partai benar-benar secara selektif menyaring nama-nama artis tersebut. Kehidupan glamor seorang artis tentu saja bisa mendekatkannya dengan narkoba. Karenanya, partai juga harus memperhatikan aspek tersebut agar tidak terganjal hukum dikemudian hari. Partai tidak boleh hanya sekedar memanfaatkan artis dari sisi popularitas atau bahkan finansial saja, tetapi partai juga mesti melakukan pendidikan politk dan demokrasi kepada artis caleg. Dengan demikian artis caleg juga mengerti hakikat politik dan berdemokrasi dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar