Selasa, 22 April 2014

Al-Dakhîl fi al-Tafsîr

Oleh: Ali Thaufan DS dan Ach. Baiquni S.Th.I
Pendahuluan
Ditengah perkembangan dinamika persoalan keagamaan, heterogenitas atau keragaman penafsiran seorang mufassir terhadap al-Qur’an sangat sulit dihindari. Masing-masing mufassir menafsirkan al-Qur’an sesuai keilmuan yang melatarbelakanginya; lingkungan tempatnya berada; dan mazhab yang dianut. Dengan kata lain, penafsiran sungguh sangat subyektif. Hal ini, oleh Husain al-Dzahabî dikatakan dapat memicu penyimpangan penafsiran al-Qur’an, karena mufassir menafsirkan atas kehendaknya sendiri. Bahkan terkadang menafikan kaidah-kaidah penafsiran. Oleh sebab itu untuk dapat membaca orientasi penyimpangan penafsiran al-Qur’an, dibutuhkan pengetahuan, yakni apa yang disebut al-Dakhîl fi Tafsîr. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Ibrahim Abdu Rahman Khalifah melalui karyanya yang berjudul al-Dakhîl fi Tafsîr.[1]
Tulisan ini ingin menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan al-Dakhîl fi Tafsîr yang meliputi: Pengertian al-Dakhîl dan al-Tafsîr; Macam-macam al-Dakhîl dalam al-Qur’an; Signifikansi unsur-unsur luar untuk menjelaskan al-Qur’an; Unsur-unsur yang digunakan menjelaskan al-Qur’an
Pengertian al-Dakhîl dan al-Tafsîr
Sebelum menjelaskan al-Dakhîl fî Tafsîr, penulis merasa perlu untuk memberikan pengertian kedua term tersebut. Secara leksikal, al-Dakhîl mempunyai ragam makna. Al-Dakhîl berasal dari kata “da-kha-la” yang bisa berarti masuk, memasuki, aib, kata yang asing, tamu, penyakit dan banyak lagi makna yang bisa dikeluarkan dari kata yang berakar dari da-kha-la tersebut –tentu setelah mengalami perubahan wazan. Al-Dakhîl yang berarti kata asing yang masuk kedalam bahasa Arab merujuk pada kalimat: Dakhâl kalimât a’jâmiyah.[2]
Selanjutnya, penulis akan mengulas beberapa pengertian tafsir menurut pendapat beberapa ulama. Menurut al-Zarqanî, Tafsîr secara bahasa adalah sesuatu yang menerangkan dan menjelaskan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya
Sedang menurut istilah, Tafsîr adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[3]
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan Tafsîr sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri maupun tersusun dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[4]
Dari dua pengertian di atas, penulis berkesimpulan bahwa istilah Dakhîl fî Tafsîr dalam konteks penafsiran al-Qur’an adalah kejanggalan yang ditemukan dalam penafsiran seorang mufassir terhadap al-Qur’an. Kesimpulan ini juga merujuk pada pengertian Dakhîl fi Tafsîr yang ditawarkan Ibrahim Syuaib yang menjelaskan:
“Pengertian al-dakhîl dalam Tafsîr adalah: Penafsiran Alquran dengan al-ma’tsûr yang tidak sahih, penafsiran Alquran dengan al-ma’tsûr yang sahih tetapi tidak memenuhi syarat-syarat penerimaan atau penafsiran Alquran dengan pendapat yang salah”.[5]

Jauh sebelumnya, Ibrahim Khalifah telah memberikan pengertian yang sepadan dengan pendapat di atas, yaitu: al-Dakhîl fi Tafsîr ditinjau dari segi kebahasaan adalah suatu kecacatan dan kesalahan yang tidak diungkapkan secara jelas yang terdapat dalam penafsiran al-Qur’an. Kemudian, dalam kesamaran tersebut terdapat keserasian, maka perlu adanya usaha dengan pemikiran yang serius.[6]
Macam-macam al-Dakhîl dalam Tafsîr al-Qur’an
Terdapat dua macam al-Dakhîl dalam Tafsîr al-Qur’an, yakni: al-Dakhîl al-Naqli dan al-Dakhîl al-Ra’yi. Menurut Ibrahim Khalifah, ada sembilan bentuk Dakhîl al-Naqli fi Tafsîr, yakni:
  1. Penafsiran al-Qur’an dengan hadis yang tidak sahih, atau menggunakan hadis maudhu’ dan palsu.
  2. Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat sahabat yang tidak sahih, atau menggunakan hadis mauquf dan palsu.
  3. Penafsiran yang bersumber dari sahabat. Sedangkan sahabat tersebut mengambil sumber-sumber isrâiliyât.[7] Jika sumber isrâiliyât tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis, maka pendapat tersebut dapat diterima. Tetapi jika pendapat tersebut bertentangan, maka ia termasuk dalam Dakhîl fî Tafsîr.
  4. Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal dari pendapat para sahabat, sedangkan pendapat tersebut saling bertentangan dan sulit dicari pembenarannya.
  5. Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal dari pendapat para tabiin, sedangkan sanad pendapat tersebut lemah.
  6. Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya kisah isrâiliyât yang mursal. Meski sesuai dengan al-Qur’an dan hadis, tetapi jika derajatnya tidak sampai pada hasan li ghairihi, maka tetap saja sebagai Dakhîl fî Tafsîr.
  7. Menafsirkan al-Qur’an dengan salah satu dari tiga bentuk Ashîl al-Naqli yang pertama –bentuk Ashîl al-Naqli akan dijelaskan di bawah-, tetapi terdapat pertentangan yang sulit dikompromikan.
  8. Menafsirkan al-Qur’an dengan salah satu dari tiga bentuk Ashîl al-Naqli yang terakhir –akan dijelaskan di bawah-, tetapi terdapat pertentangan yang sulit dikompromikan.
  9. Menafsirkan al-Qur’an dengan salah satu dari bentuk Ashîl al-Naqli –akan dijelaskan di bawah-, tetapi terdapat pertentangan yang sulit dikompromikan dengan bentuk Ashîl al-Naqli yang lebih kuat.[8]
Sedangkan bentuk Dakhîl al-Ra’yi fî Tafsîr, yakni
  1. Dakhîl dalam penafsiran karena tidak memenuhi syarat ijtihad. Meskipun dilandasi dengan niat yang baik.
  2. Dakhîl dalam penafsiran karena mendistorsi dan mengabaikan makna dhahir. Hal ini sebagaimana sering dilakukan kalangan Mu’tazilah dan filosof muslim.
  3. Dakhîl dalam penafsiran karena hanya mengacu pada makna lahir saja, sehingga menafikan logika. Hal ini banyak dilakukan kalangan Musyabihah dan Majussimah.
  4. Dakhîl dalam penafsiran karena memaksakan makna secara filosofis dan mendalam seperti yang dilakukan oleh kalangan sufi falsafi.
  5. Dakhîl dalam penafsiran karena menonjolkan pada sisi kebahasaan dan memaksakan untuk memaknai al-Qur’an. Hal ini sering dilakukan oleh mufassir ahli bahasa.
  6. Dakhîl dalam penafsiran karena menonjolkan sisi kemukjizatan al-Qur’an terutama dibidang ilmu pengetahuan. Hal ini banyak dilakukan penafsir kontemporer
  7. Dakhîl dalam penafsiran karena pengingkaran pada ayat-ayat al-Qur’an.[9]
Ibrahim Khalifah memberikan pandangan guna mengatasi Dakhîl fi Tafsîr. Ia menyebutnya dengan al-Ashîl, yakni standar dalam menafsirkan al-Qur’an agar terhindar dari penyimpangan penafsiran. Adapun bentuk Ashîl al-Naqli adalah sebagai berikut:
  1. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
  2. Penafsiran Al-Qur’an dengan hadis yang layak dijadikan hujjah
  3. Penafsiran al-Qur’an dengan riwayat sahabat yang setara dengan hadis marfu’
  4. Bila pada poin di atas terdapat kontradiksi yang tidak dapat dikompromikan, maka digunakan takwil.[10]
  5. Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal dari pendapat para sahabat, meski pendapat tersebut saling bertentangan, tetapi dapat ditarjih.
  6. Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal dari ijmak para sahabat dan tidak ada pertentangan didalamnya.
  7. Penafsiran al-Qur’an dengan hadis mursal yang setara dengan marfu’ dan yang menyampaikan adalah tokoh Tafsîr yang belajar pada sahabat, atau terdapat hadis mursal lainnya yang menguatkan.[11]
Penjelasan macam-macam Dakhîl fi Tafsîr di atas mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa penafsiran yang tidak dilakukan sesuai kaidah Tafsîr akan menjurus pada kekeliruan dan penyimpangan Tafsîr. Ibrahim Syuaib, dalam penelitiannya, menemukan kekeliruan penafsiran dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik Indonesia 2004. Penelitian yang ia batasi pada sepuluh juz pertama, menunjukkan adanya 16 kekeliruan dalam Tafsîr Depag tersebut.
“...bahwa dalam sepuluh juz pertama Alquran dan Tafsîrnya Departemen Agama RI Edisi 2004 terdapat enam belas dakhîl al-naqli. Perinciannya sebagai berikut: (1).14 (empat belas) Tafsîr karena menggunakan hadis daif, yaitu pada al-Baqarah ayat 73, 115, 186, 188, 221, 231, 271, Âli ‘Imrân ayat 185, al-Nisâ’ ayat 11, 54, al-An’âm ayat 159, al-A’râf ayat 126, 206, dan al-Anfâl ayat 25; (2).1 (satu) Tafsîr karena menggunakan hadis palsu, yaitu pada al Taubah ayat 18; (3) 1 (satu) Tafsîr karena menggunakan pendapat sahabat yang kontradiksi dengan hadis sahih, yaitu pada al-Baqarah ayat 221”.[12]

Berkenaan dengan kekeliruan dalam penafsiran, Quraish Shihab menyebutkan ada beberapa faktor:
“Subyektifitas mufasir; kekeliruan dalam menerapan metode atau kaidah;kedangkalan dalam ilmu-ilmu dan alat; kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat; tidak memperhatikan konteks, baik asbab nuzul, hubungan antarayat, maupun kondisi sosial; tidak memperhatikan siapa pembicaradan terhadap siapa pembicaraan ditujukan”.[13]

Pembahasan mengenai penyimpangan ini banyak disinggung oleh Husain al-Dzahabî dalam bukunya yang berjudul Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (buku ini telah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul “Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’an).[14] Al-Dzahabî menilai bahwa penyimpangan berawal dari pengutipan riwayat dalam menafsirkan al-Qur’an yang tidak disertai sanad. Selain itu, penggunaan rasio (Tafsîr bi ra’yi) yang berlebihan dan menonjolkan mazhab tertentu juga berimplikasi pada bentuk penyimpangan penafsiran. Lebih lanjut, al-Dzahabî menyebutkan faktor kesalahan dalam Tafsîr bil ra’yi. Pertama, mufassir meyakini salah satu makna yang ada dan menggunakan maknanya untuk menerangkan berbagai lafaz al-Qur’an. Kedua, mufassir berusaha menafsirkan berdasarkan makna yang dimengerti oleh penutur bahasa Arab semata tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan al-Qur’an (konteks).[15]
Ia menyoroti banyak penafsiran yang keluar dari kaidah Tafsîr. Sebagai contoh pengutipan kisah isrâiliyât yang terlalu berlebihan. Al-Dzahabî menyontohkan penafsiran al-Tsa’labi[16] yang banyak mengutip kisah isrâiliyât, antara lain:
Penafsiran al-Tsa’labî ketika menafsirkan Sûrah al-Kahfi: 10. Al-Dzahabî menilai penafsiran al-Tsa’labî terdapat kejanggalan dan deviasi. Hal itu disebabkan al-Tsa’labî bercerita panjang lebar, dimana periwayatannya berasal dari kisah isrâiliyyât.
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ
“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung…”
Dengan mengutip cerita-cerita isrâiliyyât, al-Tsa’labî menjelaskan kisah mengenai ashâb al-Kahfi dari riwayat Wahab bin Munabbih. Tsa’labi menerangkan nama-nama ashâb al-Kahfi yaitu Miktsilimitsa, pemuda yang paling besar dan pemimpin mereka, Imlikha, yang paling tampan, rajin beribadah dan penuh semangat, Maktsitsa, Martus, Nawanus dan Kidastitanus. Sedangkan anjing mereka bernama Qitmir.
Menurut al-Dzahabî, Al-Tsa’labî mengutip riwayat dari Ka’ab, “Mereka menjumpai anjing yang sakit-sakitan di jalan membuntuti mereka. Mereka –ashabul kahfi- berkali-kali berusaha mengusir anjing tersebut. Kemudian anjing itu berdiri di atas kedua kakinya dan menengadahkan tangan ke langit seperti orang berdoa dengna mengatakan ‘kalian jangan takut pada saya. Saya adalah kekasih tercinta Allah. Tidurlah, saya akan menjagamu…”.[17]
Tsa’labi melanjutkan kisah tersebut kemudian mengatakan: “Konon nabi Muhammad memohon untuk dipertemukan dengan pemuda-pemuda itu tetapi Allah menjawab ‘kamu tidak akan dapat menemui mereka di dunia ini. Utuslah empat orang sahabatmu yang terpilih menyampaikan risalahmu dan mengajak mereka untuk beriman’. Nabi bertanya pada jibril: ‘bagaimana cara mengutus mereka?’. Jibrib menjawab: ‘bentangkan pakaianmu dan suruhlah Abû Bakar, Umar, Utsmân dan Ali untuk duduk di empat ujungnya. Lalu undanglah hembusan angin yang dikuasai nabi Sulaiman. Allah akan menyuruh untuk mematuhimu’. Nabi pun melaksanakan perintah jibril tersebut. Maka datanglah hembusan angin yang kemudian membawa empat sahabat itu ke mulut gua. Batu yang menutup pintu gua terbuka. Lalu mereka disambut oleh anjing yang menggerak-gerakkan kepala dan mengerdipkan matanya begitu melihat ke empat sahabat yang datang.
Dengan isyarat kepala, anjing itu mempersilahkan masuk ke dalam gua. Mereka memasuki gua dan mengucap salam. Kemudian Allah mengembalikan ruh ke dalam jasad ashâb al-Kahfi itu. Mereka berdiri dan menjawab salam empat sahabat tersebut. Dan setelah itu mereka membalas salam nabi dan masuk Islam, kemudian menitipkan kembali salam kepada nabi. Setelah itu mereka kembali berbaring dan melanjutkan tidur mereka.[18]
Kisah isrâiliyyât lain yang dikutip oleh al-Tsa’labî dalam Sûrah al-Kahfi: 94
قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
“Mereka berkata: ‘Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka”
Dalam penafsirannya, al-Tsa’labî mengutip pendapat Wahab ibn Munabbih, Muqâtil ibn Sulaiman dan Ka’ab al-Akhbâr. Lalu menerangkan panjang lebar mengenai Ya’jûd dan Ma’jûd. Cerita tersebut agaknya kurang dapat diterima akal dan sangat dekat dengan tahayul.[19]
Selain menunjukkan kekeliruan al-Tsa’labi dalam penafsiran, al-Dzahabî juga menunjukkan kerancuan penafsiran al-Zamakhsyari[20] dalam kitab Tafsîrnya, al-Kasysyâf. Kritik al-Dzahabî ditujukan atas penafsiran Zamakhsyari antara lain ketika ia penafsirkan Sûrah al-Qiyâmah: 22-23.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah orang-orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhanya mereka melihat”. Sebagaimana diketahui, bahwa kelompok Mu’tazilah sangat mengedepankan akal, mereka menafsirkan ayat ini dari perspektif mereka. Mereka mengingkari bahwa kelak akan melihat Tuhan. Mereka berkata: “Ketahuilah, bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah didasarkan firman tersebut”. Mereka menjelaskan bahwa memandang (nadhar) tidak berarti melihat; dan melihat tidak merupakan salah satu makna dari nadhar. Nadhar itu bermacam artinya, antara lain, mengerakkan biji mata ke arah suatu benda untuk melihat, menunggu, simpati, memikirkan dan merenung.
Lebih lanjut, al-Dzahabî mengutip pendapat kelompok Mu’tazilah yang berkata:
“Bila ru’yat itu tidak merupakan salah satu bagian dari nadhar, maka pendapat yang mempersamakan nadhar dan ru’yat dalam ayat tersebut tidak relevan. Oleh karena itu kami semua berpendapat perlu dicari ta’wil ayat dengan arti selain ru’yat. Sebagian diantara kami memberi penakwilan dengan ‘menunggu pahala’, meski pahala yang ditunggu tidak disebutkan dalam ayat tersebut”.[21]

Zamakhsyari berpendapat bahwa “Nadhar dalam ayat di atas berarti mengharap, seperti perkataan orang yang berarti ‘Aku mengharap si Fulan melakukan sesuatu untuk ku’. Nadhar yang berarti mengharap juga terdapat dalam sebuah syair:
وَإذَا نَطَرْتُ إلَيْكَ مِنْ ملك * وَالْبَحْرُ دُونَكَ زِدْتَني نِعَمَا
Yang artinya: Jika aku mengharap pemberianmu, sedangkan lautan tergelar di bawahmu. Tentu kau akan melimpahkan karunia kepadaku”. Menurut al-Dzahabî penafsiran ini berbeda dengan mayoritas ahlusunnah. Mereka meyakini adanya ru’yat dengan Allah di akhirat. Pendapat mereka dikuatkan dengan hadis-hadis.[22]
Al-Dzahabî memaparkan bahwa Zamakhsyari seringkali menafsirkan ayat guna menguatkan faham Mu’tazilah yang menolak makna lahiriah ayat. Penafsiran tersebut terlihat ketika ia menafsirkan Sûrah al-Baqarah: 255
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Zamakhsyari menyebut empat makna kata “kursi” pada ayat di atas, bahwa kursi Allah sangat luas meliputi langit dan bumi itu tidak lain gambaran keagungan Tuhan dan pengandaian semata, bukan arti kursi yang sebenarnya. Bahwa disana tidak terdapat kursi dan tempat duduk. Penafsiran ini sama halnya dengan yang terdapat dalam Sûrah al-Zumar: 67
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.
Zamakhsyari berpendapat bahwa ayat ini bukan menyebut genggaman Allah, juga bukan tentang “tangan kanan”, melainkan tamsil yang menggambarkan keagungan Allah.[23]
Mengapa diperlukan unsur-unsur luar untuk menjelaskan al-Qur’an?
Sebagai kitab petunjuk umat manusia, al-Qur’an tidak berbicara sendiri. Ia membutuhkan penjelasan. Pada masa awal Islam, para sahabat yang ingin mendapat penjelasan al-Qur’an, langsung bertanya pada Nabi. Tentu saja, sebagai orang yang menyampaikan pesan wahyu al-Qur’an, penafsiran Nabi adalah penafsiran yang otoritatif. Namun sangat disayangkan, penafsiran Nabi terbilang sangat sedikit. Hal ini yang menyebabkan generasi kemudian melakukan ijtihad guna mendapatkan Tafsîr al-Qur’an.
Pada masa tabiin, perkembangan penafsiran terus dilakukan. Hal-hal yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur’an dan hadis, kemudian dicari penjelasannya. Untuk mendapatkan sebuah penafsiran tentang sejarah nabi-nabi dan juga kisah-kisahnya, tidak jarang para sahabat menanyakan hal tersebut pada ahli kitab yang sudah memeluk agama Islam. Penjelasan tersebut kemudian dikenal dengan isrâiliyât.
Alasan untuk menerima kisah-kisah isrâiliyât tidak lain karena al-Qur’an tidak secara rinci menjelaskan kisah para nabi. Sehingga, para ulama yang pada saat itu terdesak untuk menjawab pertanyaan –kisah para nabi- merujukkan kepada penjelasan ahli kitab. Diantara mereka yang menjadi rujukan sumber penafsiran isrâiliyât adalah: Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Akhbar, Wahab ibn Munabbih dan lainnya.[24]
Ibrahim Khalaf memberikan penjelasan berkaitan dengan sebab-sebab mengunakan unsur-unsur luar dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena sejak penafsiran yang dilakukan oleh kalangan tabiin, pada umumnya belum ada yang terkodifikasi dalam bentuk tulisan. Penafsirannya pun sering kali dipengaruhi oleh kajian keilmuan yang berkembang dikalangan tempat para mufasir belajar. Riwayat-riwayat yang mereka kutip sesuai dengan ciri khas yang berkembang dikalangan mereka seperti murid Ibn Abbas yang ada di Mekkah berbeda dengan murid Ibn Masud yang berada di Iraq.[25] Selanjutnya, alasan lain yaitu menimbulkan perselisihan dikalangan para mufasir berkaitan dengan aqidah.[26]
Unsur-unsur yang digunakan untuk menjelaskan al-Qur’an
Diantara unsur-unsur yang digunakan untuk menjelaskan kandungan al-Quran menurut Imam al-Suyuti ada empat macam antara lain sebagai berikut :
Pertama, mengunakan periwayatan dari Nabi Muhammad Saw, metode ini diangap paling valid dalam menjelaskan kandungan al-Qur’an. Namun demikian seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an diharuskan berhati-hati dalam mengunakan hadis terutama yang dhaif dan maudhu’ dikarenakan hadis yang seperti ini banyak sekali ditemukan dalam beberapa literatur Tafsîr-Tafsîr  terutama Tafsîr klasik.[27] Oleh sebab itu, Imam al-Sayuti mengutip pendapat Ahmad Ibn Hambal mengatakan, “ada tiga kitab yang tidak mempunyai sumber antara lain: al-maghazi cerita atau dogeng, al-malahim puisi atau epos dan Tafsîr.” Dari penjelasan ini Ahmad Ibn Hambal ingin menegaskan bahwa kitab-kitab tersebut pada umumnya tidak mempunyai sandaran yang valid dan bersambung.[28]
Kedua, yaitu dengan mengutip pendapat para sahabat karena penafsiran yang didasarkan pada perkataan sahabat merupakan salah satu keterangan yang dinilai marfu’ yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, mereka juga dikenal hidup berdampingan dengan Nabi dan juga mereka menyaksikan turunnya wahyu serta memahami sesuatu yang berkaitan dengan al-Quran. Namun demikian, perkataan mereka juga harus dilihat perlu dilihat keotentikannya.[29]
Ketiga, mengambil dan mengunakan peran bahasa karena al-Qur’an diturunkan dengan mengunakan bahasa Arab. Pemahamannya berlandaskan pada penjelasan terminologi dan makna kata-kata dalam perasaan mereka denga istilah tertentu. Dalam hal ini, al-Fadl ibn Ziyad menukil sebuah riwayat Imam Ahmad yang dikutip oleh Alawi al-Maliki bahwa ketika ditanya tentang ayat al-Qur’an yang diumpamakan dengan sebuah gubahan syair. [30]
Keempat, penafsiran dengan mengunakan pendekatan makna yang sesuai dengan tujuan syari’ah. Berkenaan dengan persoalan ini, timbul perbedaan pendapat dikalangan para ahli Tafsîr masing-masing mereka mengungkapkan makna serta kandungan dari suatu ayat berdasarkan pada jangkauan kemampuan pemikiran  mereka.[31] Dari sinilah, kemudian lahir beragam penafsiran yang sesuai dengan keahlian mereka seperti ahli bahasa melahirkan Tafsîr al-Lughawi, ahli fiqh melahirkan Tafsîr ahkam, ahli tasawuf melahirkan Tafsîr isyari, begitu juga dengan penafsiran yang belandasan pada mazhab atau golongan yang dianut seperti syi’ah, mu’tazilah, khawarij dan lain-lain.
Penutup
Dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya al-Dahkîl fi Tafsîr al-Qur’an merupakan suatu kecacatan, kekeliruan dan kesalahan yang terdapat dalam Tafsîr al-Qur’an. Jika dipetakan, kesalahan tersebut dikarenakan: penggunaan hadis dhaif, periwayatan yang didasarkan pada isrâiliyât, serta subyektifitas mufassir yang mendorongnya menafsiri al-Qur’an atas kehendaknya. Sedangkan macam-macam al-Dakhîl ada dua yaitu: al-Dakhîl Naqli dan Aqli. Namun demikian, penulis menggarisbawahi bahwa, penafsiran yang subjektif mengundang penilaian yang subjektif pula.



[1] Ibrahim Syuaib Z, “Dakhîl al-Naqli dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik Indonesia 2004”, (Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009), h. 3
[2] Penulis merujuk pada beberapa kamus: Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), h. 393; Munjîd fî al-Lugha, (Beirut: Dâr al-Masyrik, 2005), cet-41, h. 207; dan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (London: Mc Donal & Evans ltd dan Beirut: Libraire Du Liban, 1980), h. 274.
[3] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fî Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[4] Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang tersusun”, meliputi ilmu Sarf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul, naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Membahas Ilmu al-Qur’an, pent Muzakris AS, (Bogor: Lintera Antar Nusa, 1992), h. 452.
[5] Ibrahim Syuaib Z, “Dakhîl al-Naqli dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik Indonesia 2004”, h. 4
[6] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl fî al-Tafsîr, (Mesir: Dar al-Banât, tt ), h. 22
[7] Kisah isrâiliyyât adalah berita-berita yang diceritakan Ahli kitab yang masuk Islam. Lihat Al-Manna al-Khallil Qaththân, Membahas Ilmu al-Qur’an, pent Muzdakir AS. (Bogor: Lintera AntarNusa. 1992), h. 487
[8] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl fî al-Tafsîr, (Mesir: Dar al-Banât, tt ), h. 33
[9] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl fî al-Tafsîr, h. 39
[10] Secara bahasa berasal takwil berasal dari kata ‘aul yang berarti kembali ke asal. Dengan merujuk pada kalimat “أول الكلام تأويلاً”, maka ta’wil berarti memikirkan, memperkirakan dan menafsirkan. Terdapat dua makna mengenai istilah ta’wil kalam, pertama, ta’wil dengan pengertian suatu makna pembicara (orang pertama) mengembalikan perkataannya. Kedua, ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan makna. Pendapat kedua inilah yang dimaksudkan oleh al-Thabari dalam kitab tafsirnya. Thabari menggunakan kalimat: “Pendapat tentang ta’wil ayat ini adalah…”. Sehingga yang dimaksud ta’wil disini adalah tafsir. Ulama muta’akhkhirîn memberi pengertian ta’wil dengan “Memalingkan makna lafaz yang kuat kepada makna yang lemah karena ada dalil yang menyertainya”. Tentu saja definisi ini sangat tidak sesuai dengan tradisi ulama klasik, sebagaimana ta’wil menurut al-Thabâri. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththân, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ân, h. 453
[11] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl fî al-Tafsîr, h. 32
[12] Ibrahim Syuaib Z, “Dakhîl al-Naqli dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik Indonesia 2004”, h. 10
[13] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2013), h. 119
[14] Kitab-kitab Tafsîr yang terdapat penafsiran menyimpang menurut Dzahabi. Kalangan Sejarawan: al-Kasyfu al-Bayân al-Ma’ruf  bi Tafsîr al-Tsa’labî, Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’îni Tanzîl (Tafsîr al-Khazin). Ahli Bahasa: al-Muhârrarul Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-Azîz (karya Zamakysyari). Kalangan Mu’tazilah: Al-Kasysyâf an Haqâ’iq at Tanzîl wa Uyûni al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl (karya Zamakysyari). Kalangan Syiah: Tafsîr al-Qur’ân (karya Sayyid Abdullah al-Alawî (w. 1188 H),  Al-Burhân fî Tafsîr al-Qur’ân (karya al-Bahrânî (w. 1107 H), Penafsiran Ibrâhîm ibn Furât al-Kûfî (Ulama Syi’ah abad 13 H) dalam Q.,s 78:1-3, Penafsiran al-Thabâri (w. 538 H) dalam Q.,s 33:33, Al-Shâfi (karya Muhsîn al-Kasyfî) dalam Q.,s 2:55-56, Penafsiran Hasan al-Askarî. Dalam Q.,s 2:163, Buku Mir’atu al-Anwâr wa Misykatu al-Asrâr (karya Maula Abdul Latief al-Kazarâni) dalam Q.,s 19:1). Kalangan Khawarij: Buku Syahru Nahjîl Balâghah (karya Ibn Abî al-Hadîd) dalam Q., s 6:97, Tafsîr Hamayan al-Zâd ila al-Ma’âd (karya Muhammad ibn Yusuf Ithfisy al-Ibâdhi. w. 1332 H). Kalangan Sufi: Futuha al-Makiyyah dan Tafsîr al-Mansûb (Karya Ibn Arabi),  Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm (karya Sahl al-Tustûry), Haqâiqut al-Tafsîr (karya Abdurrahman al-Salmi) dalam Q.,s 2:1). Kalangan Ilmuwan: Buku Al-Islâm wa Thibubul Hadis (karya Dr. Abdul Aziz Ismail) dalam Q.,s 2:22, Jawâhiru fî Tafsîr al-Qur’ân (Thanthawi Jauhari) dalam Q.,s 2:66. Lihat juga 2:67, Penafsiran al-Suyuti yang dikutip dari Abû Fadl al-Marisi. Lihat Q.,s 77:30). Kalangan Pembaharu: Penafsiran dalam sebuah artikel mingguan al-Siyâsah yang terbit di Mesir pada 20 Feb 1937. Yang berjudul “Al-Tasyri’ Misri wa Shilatuhu bi al-Fiqh” tentang ayat hukum potong tangan. Dzahabi tidak menyebut nama penulisnya.  Al-Hidâyah wa al-Irfân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân (karya Abû Zaid al-Damanhuri) dalam Q.,s 3:49)
[15] Husain al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, (Kuwait: Dâr al-I’tishom, 1978), h. 17
[16] Nama lengkap al-Tsa’labî adalah Abû Ishâq Ahmad ibn Ibrahîm al-Tsa’labî al-Nausaburî (w. 427 H), biasa dipanggil Abû Ishâq. Karya Tafsîrnya berjudul al-Kasyfu wa al-Bayân an Tafsîr al-Qur’ân yang terkenal dengan sebutan Tafsîr al-Tsa’labî. Dalam menafsirkan al-Qur’an, ia menekankan perhatiannya tentang gramatika dan fiqh. Ia juga memberi perhatian terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Al-Tsa’labî dikenal sebagai juru nasihat bagi masyarakat. Ia sering berpidato dan berdakwah dengan mementingkan cerita sebagai isi dakwahnya. Cerita-cerita tersebut ia kumpulkan dalam karyanya yang berjudul al-‘Arais. Sebagai seorang mufassir, beberapa pujian ditujukan padanya. Seperti yang disampaikan Khilkân: “Ia (al-Tsa’labî) adalah tokoh Tafsîr pada zamannya yang mengarang kitab Tafsîr yang besar yang melebihi mufassir lainnya”. Sementara Ibn Ya’qûd berkomentar: “Abû Ishâq adalah mufassir yang banyak memberi nasehat, seorang sastrawan yang tsiqoh, banyak menulis buku, termasuk Tafsîr yang memberi ragam makna dan isyarat yang berguna”. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 27 dan  al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), vol. 1, h. 197-198.
[17] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 28.
[18] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 32. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, Isrâiliyât dalam al-Qur’an dan Hadith, (Bogor: PT Pustaka Litera Antarnusa, 1989), h. 161 dan  Abu Ishaq Ahmad al-Tsa’labî, al-Kasyfu al-Bayân al-Ma’rûf  bi Tafsîr al-Tsa’labî, (Beirut: Dâr al-Ihya’ al-Turâst al-‘Arabi), vol. 06, h. 148-157.
[19] al-Tsa’labî, al-Kasyfu al-Bayân al-Ma’rûf  bi Tafsîr al-Tsa’labî, vol. 6, h. 193. Lihat komentar al-Dzahabî dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 202.
[20] Nama lengkap Zamakhsyari adalah Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar ibn Muhammad ibn Umar al-Zamakhsyari, yang bergelar jâr Allah. Lahir pada Rajab 467 H di Zamakhsyar, sebuah kampung di Khawarizmi. Ia seorang yang ahli dibidang Tafsîr, hadis, bahasa dan sastra. Setiap kali melakukan kunjungan ke berbagai daerah, Zamakhsyari selalu ditanya perihal ilmu Tafsîr. Lihat: al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 362.
[21] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 52
[22] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 53. Lihat penafsiran ayat: Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 6, h. 269.
[23] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 379. Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, vol. 5, h. 320.
[24] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 106
[25] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl fî al-Tafsîr, h. 42
[26] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl fî al-Tafsîr, h. 43
[27] Menurut Thahir Mahmud Muhammad Ya’kub, penggunaan hadis dhaif dalam menafsirkan al-Qur’an bahkan dilarang. Lihat dalam, Thahir Mahmud Muhammad Ya’kub, Asbâb al-Khata’ fî al-Tafsîr, (Dâl al-Jauzi, tt), h. 124
[28] Jalal al-Din Abd Al-Rahman Ibn Abȋ Bakar al-Suyutȋ,  al-Itqăn fî ‘Ulum al-Qur’an , Ditahqiq oleh Markaz al-Dirăsah al-Qur’an  (Saudi Arabia:al-‘Amana al-‘Am tt) h  2285
[29] Jalal al-Din al-Suyutȋ,  al-Itqăn fî ‘Ulûm al-Qur’an, h. 2286
[30] Jalal al-Din al-Suyutȋ,  al-Itqăn fî ‘Ulûm al-Qur’an, h. 2287
[31] Jalal al-Din Abd Al-Rahman Ibn Abȋ Bakar al-Suyutȋ,  al-Itqăn fî ‘Ulum al-Qur’an, 2287

Tidak ada komentar:

Posting Komentar