Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Kajian
terkait pengertian Islâm bukan sesuatu yang baru. Barangkali, sudah jutaan buku
yang membahas tentang pengertian Islâm. Islâm menjadi daya tarik untuk
dijadikan kajian atau karya akademik. Setidaknya, menurut penulis hal ini
didasarkan pada perkembangan jumlah pengikut agama Islâm yang secara kuantitas terus meningkat[1]; Islâm
sebagai agama mampu survive melintasi setiap zaman; dan Islâm
memiliki sejarah keemasan yang luar biasa hebatnya.
Karenanya, pembacaan kembali terhadap apa itu Islâm; untuk apa berislâm dan apa
pesan moral dalam islâm menjadi sangat penting bagi siapa saja yang tertarik
mengkajinya.
Tulisan
ini ingin menjelaskan seputar definisi Islâm dan pemahaman secara utuh tentang inti
ajaran islâm sebagai sebuah agama –sikap pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa- yang
telah dibawa oleh para nabi.
Mendefinisikan
Islâm
Dalam
Kamus Munawwar dijelaskan bahwa kata Al-Islâm merupakan bentuk mashdar
dari aslama yang berarti ketundukan. Demikian juga dalam Kamus Munjîd,
al-Islâm berarti kepasrahan dan ketaatan, serta sebuah agama yang
amat terkenal.[2] Sementara
The Encyclopaedia Of Islâm mendefinisikan
Islâm dengan “Submission total surrender to God”
(ketundukan dan penyerahan secara total kepada Tuhan).[3]
Menurut
Nurcholish Madjid, islâm yang berasal dari kata sa-la-ma
bermakna pasrah kepada Allah Yang Maha Esa. Nurcholish Madjid mengutip
penjelasan Ibn Katsir bahwa umat yang pasrah tersebut merupakan umat yang yakin
pada ajaran para nabi dan semua kitab suci yang di turunkan. Selain itu,
Nurcholish Madjid juga mengutip Zamakhsyari, yang mengatakan bahwa inti dari islâm
adalah meng-Esa-kan dan berserah diri sepenuhnya pada Allah.[4]
Pengertian
Islâm dalam al-Qur’an
Sebelum
mengurai pengertian kata Islâm dalam al-Qur’an, perlu mengurai pengertian Islâm dalam
hadis. Hal ini dikarenakan
pengertian tersebut banyak dipahami oleh mayoritas pemeluk Islâm (muslim). Pengertian
makna Islâm didasarkan pada penjelasan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.
“حدثنا عبيد الله بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن
خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني
الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة
وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان )”[5]
“Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzdalah ibn
Abu Sufyan dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah
bersabda: Islâm dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, haji dan puasa Ramadhan.”
“حدثنا مسدد قال حدثنا إسماعيل بن إبراهيم أخبرنا أبو حيان التيمي عن
أبي زرعة عن أبي هريرة قال :
كان النبي صلى الله عليه و سلم بارزا يوما للناس فأتاه جبريل فقال ما الإيمان ؟
قال ( أن تؤمن بالله وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالعبث ) . قال ما الإسلام ؟
قال ( الإسلام أن تعبد الله ولا تشرك به وتقيم الصلاة وتؤدي الزكاة المفروضة وتصوم
رمضان ) . قال ما الإحسان ؟ قال ( أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه
يراك )...”.[6]
“Musaddad berkata, Telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin Ibrahim telah
mengabarkan kepada kami Abu Hayyan al-Taimi dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah
berkata; bahwa Nabi SAW pada suatu hari muncul kepada para sahabat, lalu datang
Malaikat Jibril yang kemudian bertanya: Apakah iman itu? Nabi
menjawab: Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada
hari berbangkit. (Jibril) berkata: Apakah Islâm itu? Nabi menjawab: Islâm
adalah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu
dirikan shalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan
Ramadhan. (Jibril) berkata: Apakah ihsan itu?
Nabi menjawab: Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak
melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu…”
Hadis pertama di atas menunjukkan ketetapan ajaran agama
Islâm yang diawali dengan persaksian pada Tuhan selain
Allah (syahadah). Menurut Ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid
dan kawan-kawan, persaksian (syahadat) kepada Allah adalah merupakan janji
manusia untuk melepaskan diri dari menuhankan selain Allah (baik menuhankan
diri sendiri atau makhluk Allah). Pokok ajaran islâm adalah ketauhidan.[7]
Sedangkan hadis kedua di atas mengantarkan pada sebuah pengertian atau
pemahaman tentang arti Islâm saat Nabi ditanya oleh Jibril. Nabi menjawab
pertanyaan tentang Islâm, bahwa Islâm adalah “kamu menyembah Allah dan tidak
menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan salat, kamu tunaikan zakat
yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadhan”. Pengertian di atas memberikan
kesan bahwa Islâm adalah ajaran Nabi Muhammad per se.[8]
Sejatinya, guna mendapat pemahaman secara utuh tentang makna Islâm, tidak hanya
bersumber dari hadis saja. Al-Qur’an memberi banyak keterangan mengenai hal
tersebut. Jika Islâm yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama yang benar dan
diridhai Allah, maka timbul pertanyaan bagaimana agama nabi-nabi sebelumnya dan
nasib umatnya? Diskursus inilah yang kerap menjadi perdebatan
mendasar tentang pengertian Islâm jika mengacu pada
makna Islâm seperti hadis di atas.
Kata al-Islâm
(atau Islâm dengan menggunakan tambahan alif-lam) dalam al-Qur’an terdapat
sebanyak enam kali.[9]
Kata Islâm sendiri berakar dari kata salam yang terdapat 42 kali dalam
al-Qur’an. Secara etimologi, kata salam berarti selamat dan bebas dari
bahaya. Sebagai sebuah agama yang dibawa Nabi Muhammad, Islâm berarti kepasrahan
dan ketundukan pada ajaran sehingga pemeluknya akan mendapat keselamatan.[10]
Para pemeluk agama Islâm (pasrah kepada Allah) disebut Muslim. Untuk mendapatkan pemahaman secara utuh tentang arti Islâm, perlu
memperhatikan penggunan kata muslim yang terdapat dalam berbagai ayat
al-Qur’an.
Untuk
mendapat pengertian Islâm secara mendasar, telah dijelaskan
dalam Sûrah al-Baqarah: 135-136.
“Dan
mereka berkata: ‘hendaklah kamu menjadi penganut Yahudi dan Nasrani, niscaya
kamu mendapat petunjuk’. Katakanlah: ‘tidak, melainkan (kami mengikuti) agama
Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah Ibrahim dari golongan orang musyrik’. Katakanlah: ‘kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismâil, Ishâq,
Ya’qûb dan cucunya, dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi Tuhannya. Kami pun tidak membeda-bedakan seseorang
diantara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.”
Ayat
di atas, tidak menyebut agama para nabi
sebelum Muhammad dengan agama Islâm. Tetapi
ketundukan dan kepasrahan mereka terhadap Allah menunjukkan keberislaman
mereka (menjadi Muslim).[11] Ayat di atas juga diperjelas kembali dalam Sûrah
Ali Imran: 84-85
“Katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismâil, Ishâq,
Ya’qûb, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Mûsa, Isa dan para nabi
dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya
kepada-Nyalah kami menyerahkan diri’. Barang siapa mencari
agama selain agama Islâm, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
Beberapa ayat di atas menunjukkan adanya keterhubungan agama Islâm sebagai
ajaran Nabi Muhammad dengan ajaran Nabi Ibrahim serta nabi-nabi lainnya yang
menunjukkan kepasrahan dan mengesakan Allah. Al-Qur’an memberikan isyarat bahwa
pada setiap kaum, Allah akan menurunkan utusan untuk patuh dan berserah
padaNya.[12] Hal ini
semakin menguatkan bahwa nabi-nabi yang diutus Allah sebelum Muhammad juga
mengajarkan islâm dan menjadi seorang muslim.[13]
Ajaran kepasrahan (islâm) kepada Tuhan Yang Esa yang diserukan Nabi
Muhammad juga diserukan jauh sebelumnya, yakni oleh Nabi Musa. “Berkata
Musa: ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya
saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri (muslim)”.[14] Pun demikian dengan nabi Isa yang dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa
kaumnya menyatakan kemusliman mereka.[15]
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani
lsrail) berkatalah dia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk
(menegakkan agama) Allah?’ Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia)
menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah;
dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.”[16]
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa persaksian dan kepasrahan
kepada Allah telah dilakukan oleh para nabi terdahulu. Riwayat Ibn Abbâs
semakin menguatkan bahwa ajaran-ajaran nabi sebelum Muhammad adalah islâm
(kepasrahan pada Allah).[17] Inti ajaran para nabi adalah menyeru pada ketauhidan.
Meninggalkan bentuk-bentuk tuhan ciptaan manusia itu sendiri.
Selain ayat-ayat diatas, al-Qur’an juga memberikan
keterangan terkait ajaran nabi Nuh. Ayat yang menerangkan adanya hubungan
mendasar antara ajaran islâm Nabi Muhammad dengan nabi Nuh adalah:
“Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu
seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).”[18]
Ayat
selanjutnya:
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan wahyu kepÂdamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu
kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu
(pula) kepada Ibrahim, Ismâ’il, Ishâk, Ya’qûb dan anak cucunya, Isâ, Ayyûb, Yûnus,
Harun dan Sulaimân. Dan Kami berikan Zabur kepada Daûd”[19]
“Dan Kami telah
menganugerahkan Ishâk dan Ya’qûb kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah
Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk,
dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf,
Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyâs. Semuanya termasuk
orang-orang yang saleh, dan Ismâil, Alyasa’, Yûnus dan Luth.
Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), Dan Kami
lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan
saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi
dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Bahkan lebih
jauh lagi, al-Qur’an memberi keterangan bahwa ajaran islâm Nabi Muhammad pun
telah ada sejak Âdam. Berikut ayat yang menerangkannya:
“Sesungguhnya
Allah telah memilih Âdam, Nûh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imrân melebihi
segala umat (di masa mereka masing-masing)”[20]
Ayat-ayat di
atas memang tidak secara khusus menyebut ajaran para nabi –sebelum Muhammad-
dengan islâm. Namun keterangan al-Qur’an menunjukkan bahwa ajaran pasrah (islâm)
tidak saja berasal dari Nabi Ibrahim, tetapi jauh sebelumnya yakni Nabi Nuh dan
Âdam.[21] M. Quraish
Shibab, juga menjelaskan:
“Agama,
atau ketaatan pada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak pada Allah
SWT. Islâm dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan
diajarkan oleh pada nabi sejak Nabi Âdam hingga Nabi Muhammad SAW.”[22]
Ibn Taimiyah menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama adalah
islâm. Hal itu ia dasarkan pada Sûrah al-Nisa: 125.
“Dan siapakah
yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”
Ia menjelaskan
saat turunnya ayat ini, kalangan ahli kitab, ahli injil dan pemuka agama-agama
sedang berkumpul dan menyatakan kebanggaannya bahwa agamanya adalah lebih baik
dari agama lainnya. Maka kemudian turunlah ayat ini.[23] Secara teks,
ayat di atas tidak menyebut nama agama tertentu. Tetapi titik tekannya adalah
“ikhlas dan menyerahkan dirinya ke Allah... dan mengikuti agama Ibrahim yang
lurus”. Penulis berkesimpulan bahwa islâm yang dimaksud dalam ayat di atas
adalah bukan semata mengacu pada nama agama. Melainkan sebuah ketundukan dan
kepasrahan kepada Allah Yang Esa dan mengikuti ajaran Ibrahim.
Terkait
kontinuitas ajaran Nabi Muhammad
dengan para nabi sebelumnya, terdapat diskursus yang dilontarkan Fazlur Rahman.
Kritik Rahman dilancarkan sebagai tanggapan atas pendapat Snouck Hurgronye yang
mengatakan: (1) bahwa Muhammad
sepenuhnya mengadopsi ajaran-ajaran para nabi terdahulu; (2) pada saat di Mekkah, orang-orang
Yahudi dan Kristen menolak ajaran Muhammad. Sehingga pada saat di Madinah, Muhammad
mengatakan bahwa ajarannya (islâm) sama seperti ajaran Ibrahim untuk menarik simpati; dan
(3) keyakinan
Muhammad bahwa ajarannya yang disampaikan saat di Mekkah sama dengan ajaran
nabi-nabi sebelumnya.
Rahman
memang membenarkan apa yang dikemukakan Hurgronye. Tetapi ada sanggahan atas
pendapat Hurgronye, yakni bahwa sebelum Islâm datang, masyarakat Mekkah sangat
menanti-nanti hadirnya agama baru yang serupa dengan Yahudi dan Kristen. Hal
ini didasarkan pada Sûrah al-Shaffat: 168-170
“Kalau sekiranya di sisi kami ada sebuah kitab dari
(kitab-kitab yang diturunkan) kepada orang-orang dahulu, benar-benar kami akan
jadi hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa). Tetapi
mereka mengingkarinya (Al Quran); maka kelak mereka akan mengetahui akibat
keingkarannya itu”.
Sanggahan lain yang diajukan Rahman adalah saat
menjelaskan bahwa sejak di Mekkah, Nabi Muhammad telah menyampaikan bahwa
ajaran islâm adalah ajaran nabi terdahulunya, Ibrahim. Rahman mendasarkan pada “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu,
(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa”.[24] Selain itu,
Rahman membantah pendapat Hurgronye yang berpendapat bahwa ajaran para nabi
hanya ditujukan bagi orang-orang Arab.[25]
Sebagai tambahan, penulis melihat saat ini makna islâm telah bergeser dari
apa yang disampaikan dalam al-Qur’an. Hal ini terjadi ketika penggunaannya
diterapkan secara tidak tepat. Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Kautsar
Azhari dalam sebuah seminar, bahwa dalam perjalannya, islâm telah bergeser dari
sebuah ajaran kepasrahan kepada Tuhan. Indikasi pergeseran tersebut terlihat
ketika islâm dijadikan sebagai sebuah lembaga/institusi atau bahkan partai
politik.
Kesimpulan
Secara bahasa, islâm bermakna berserah diri pada Allah Yang Maha Esa.
Berserah diri tentu tidak saja dalam ucapan persaksian (syahadat), tetapi harus
ditunjukkan dengan pengamalan segala perintah-Nya. Kesimpulan penulis atas
pengertian Islâm dalam al-Qur’an adalah, bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh
para nabi adalah islâm. Sejak nabi Âdam hingga
Muhammad, pokok inti ajarannya adalah berserah diri/pasrah kepada Allah. Ini
artinya, sekalipun para nabi tidak menyebutkan ajarannya dengan nama Islâm,
tetapi pesan terdalam ajaran mereka adalah islâm.
[1] John L.
Esposito mencatat bahwa perkembangan jumlah penduduk Islâm paling pesat
dibanding negara lainnya. Perkembangan pesat penduduk Islâm terjadi di benua
Eropa dan Amerika. John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan
Kemajemukan dan Benturan Peradaban, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010), h.
21. Âdam Lebor juga mencatat bahwa komunitas muslim di Amerika membentuk sebuah
wadah tertentu untuk mampu melakukan lobi-lobi politik demi kepentingan mereka.
Lihat: Âdam Lebor, Pergulatan Muslim di Barat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), h. 17.
[2] Ahmad
Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), h. 656.
Lihat juga: Munjîd
fi al-Lugha,
(Beirut: Dâr
al-Masyrik, 1977), cet-17, h. 347
[3] E. Van Donzel. ed, The
Encyclopaedia Of Islâm, (Leiden: E. J. Brill, 1997), Vol 4, h. 177.
[4] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban,
(Jakarta: Dian Rakyat, 2008), h. 11. Lihat penjelasan al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf
‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, vol.
1, h. 537
[5] Abî Abdullah
Muhammad ibn Ismâil al-Bukhâri, Sahih Bukhari, (Kairo: Dâr al-Hadîs,
2011), h. 29
[6] al-Bukhâri, Sahih
Bukhari, h. 29
[7] Nurcholish
Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2005), h. 37. Dalam menjelaskan maksud Sûrah Ali Imrân:
18, Ibn Taimiyah menaruh perhatian besarnya pada persoalan ketauhidan. Banyak
ayat al-Qur’an menegaskan agar senantiasa bertauhid. Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Tafsîr
al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Alamiah, tt), vol 3, h. 140
[8] Mulyadi Kartanegara
.ed, Pengantar Studi Islâm, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2012), h. 37
[9] (…إِنَّ
الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ)
Ali Imrân: 19, (… وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ) Ali Imron: 85, (…فَمَنْ يُرِدِ
اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ) al-An’am:
125, (أَفَمَنْ
شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ)
al-Zumar: 22, (وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى
اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَى إِلَى الْإِسْلَامِ)
al-Shof: 7 dan (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ) al-Maidah: 3. Lihat Fadlullah Ibn Mûsa, Fathu al-Rahmân Li Thâlib Ayat al-Qur’an, (Bairut: Dâr al-‘Alamiyah, 2005),
h. 371.
[10] M. Quraish Shihab, Ensiklopedia
al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol 3, h. 870
[11] Mulyadi Kartanegara
.ed, Pengantar Studi Islâm, h. 41
[12] Sûrah
al-Ra’d: 7
[13] Nurcholish
Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2005), h. 39
[14] Sûrah Yunus:
84
[15] Nurcholish
Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, 40
[16] Ali Imrân: 52
[17] Abî Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairuzi Abadi, Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs, (Bairut: Dâr al-Fikr, 2001), h.
52
[18] Sûrah Al-Syura:
13
[19] Sûrah Al-Nisa’:
163
[20] Sûrah Ali
Imrân: 33
[21] Mulyadi Kartanegara
.ed, Pengantar Studi Islâm, h. 42
[22] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet-7, vol, 2, h. 40
[23] Taqiyuddin
Ibn Taimiyah, Tafsîr al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Alamiah, tt),
vol 3, h. 457
[24] Sûrah
al-A’la: 18-19
[25] Fazlur Rahman, Tema-tema
Pokok al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 194-196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar