Selasa, 01 April 2014

Islâm Ajaran Para Nabi


Ali Thaufan DS

Pendahuluan
Kajian terkait pengertian Islâm bukan sesuatu yang baru. Barangkali, sudah jutaan buku yang membahas tentang pengertian Islâm. Islâm menjadi daya tarik untuk dijadikan kajian atau karya akademik. Setidaknya, menurut penulis hal ini didasarkan pada perkembangan jumlah pengikut agama Islâm yang secara kuantitas terus meningkat[1]; Islâm sebagai agama mampu survive melintasi setiap zaman; dan Islâm memiliki sejarah keemasan yang luar biasa hebatnya. Karenanya, pembacaan kembali terhadap apa itu Islâm; untuk apa berislâm dan apa pesan moral dalam islâm menjadi sangat penting bagi siapa saja yang tertarik mengkajinya.

Tulisan ini ingin menjelaskan seputar definisi Islâm dan pemahaman secara utuh tentang inti ajaran islâm sebagai sebuah agama –sikap pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa- yang telah dibawa oleh para nabi.

Mendefinisikan Islâm
Dalam Kamus Munawwar dijelaskan bahwa kata Al-Islâm merupakan bentuk mashdar dari aslama yang berarti ketundukan. Demikian juga dalam Kamus Munjîd, al-Islâm berarti kepasrahan dan ketaatan, serta sebuah agama yang amat terkenal.[2] Sementara The Encyclopaedia Of Islâm mendefinisikan Islâm dengan “Submission total surrender to God” (ketundukan dan penyerahan secara total kepada Tuhan).[3]

Menurut Nurcholish Madjid, islâm yang berasal dari kata sa-la-ma bermakna pasrah kepada Allah Yang Maha Esa. Nurcholish Madjid mengutip penjelasan Ibn Katsir bahwa umat yang pasrah tersebut merupakan umat yang yakin pada ajaran para nabi dan semua kitab suci yang di turunkan. Selain itu, Nurcholish Madjid juga mengutip Zamakhsyari, yang mengatakan bahwa inti dari islâm adalah meng-Esa-kan dan berserah diri sepenuhnya pada Allah.[4]

Pengertian Islâm dalam al-Qur’an
Sebelum mengurai pengertian kata Islâm dalam al-Qur’an, perlu mengurai pengertian Islâm dalam hadis. Hal ini dikarenakan pengertian tersebut banyak dipahami oleh mayoritas pemeluk Islâm (muslim). Pengertian makna Islâm didasarkan pada penjelasan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.

حدثنا عبيد الله بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان )[5]

“Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzdalah ibn Abu Sufyan dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: Islâm dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.”

حدثنا مسدد قال حدثنا إسماعيل بن إبراهيم أخبرنا أبو حيان التيمي عن أبي زرعة عن أبي هريرة قال : كان النبي صلى الله عليه و سلم بارزا يوما للناس فأتاه جبريل فقال ما الإيمان ؟ قال ( أن تؤمن بالله وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالعبث ) . قال ما الإسلام ؟ قال ( الإسلام أن تعبد الله ولا تشرك به وتقيم الصلاة وتؤدي الزكاة المفروضة وتصوم رمضان ) . قال ما الإحسان ؟ قال ( أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك )....[6]

“Musaddad berkata, Telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abu Hayyan al-Taimi dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah berkata; bahwa Nabi SAW pada suatu hari muncul kepada para sahabat, lalu datang Malaikat Jibril yang kemudian bertanya: Apakah iman itu? Nabi menjawab: Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari berbangkit. (Jibril) berkata: Apakah Islâm itu? Nabi menjawab: Islâm adalah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan shalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadhan. (Jibril) berkata: Apakah ihsan itu? Nabi menjawab: Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu…”

Hadis pertama di atas menunjukkan ketetapan ajaran agama Islâm yang diawali dengan persaksian pada Tuhan selain Allah (syahadah). Menurut Ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid dan kawan-kawan, persaksian (syahadat) kepada Allah adalah merupakan janji manusia untuk melepaskan diri dari menuhankan selain Allah (baik menuhankan diri sendiri atau makhluk Allah). Pokok ajaran islâm adalah ketauhidan.[7]

Sedangkan hadis kedua di atas mengantarkan pada sebuah pengertian atau pemahaman tentang arti Islâm saat Nabi ditanya oleh Jibril. Nabi menjawab pertanyaan tentang Islâm, bahwa Islâm adalah “kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan salat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadhan”. Pengertian di atas memberikan kesan bahwa Islâm adalah ajaran Nabi Muhammad per se.[8] Sejatinya, guna mendapat pemahaman secara utuh tentang makna Islâm, tidak hanya bersumber dari hadis saja. Al-Qur’an memberi banyak keterangan mengenai hal tersebut. Jika Islâm yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama yang benar dan diridhai Allah, maka timbul pertanyaan bagaimana agama nabi-nabi sebelumnya dan nasib umatnya? Diskursus inilah yang kerap menjadi perdebatan mendasar tentang pengertian Islâm jika mengacu pada makna Islâm seperti hadis di atas.

Kata al-Islâm (atau Islâm dengan menggunakan tambahan alif-lam) dalam al-Qur’an terdapat sebanyak enam kali.[9] Kata Islâm sendiri berakar dari kata salam yang terdapat 42 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologi, kata salam berarti selamat dan bebas dari bahaya. Sebagai sebuah agama yang dibawa Nabi Muhammad, Islâm berarti kepasrahan dan ketundukan pada ajaran sehingga pemeluknya akan mendapat keselamatan.[10] Para pemeluk agama Islâm (pasrah kepada Allah) disebut Muslim. Untuk mendapatkan pemahaman secara utuh tentang arti Islâm, perlu memperhatikan penggunan kata muslim yang terdapat dalam berbagai ayat al-Qur’an.

Untuk mendapat pengertian Islâm secara mendasar, telah dijelaskan dalam Sûrah al-Baqarah: 135-136.
“Dan mereka berkata: ‘hendaklah kamu menjadi penganut Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk’. Katakanlah: ‘tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah Ibrahim dari golongan orang musyrik. Katakanlah: ‘kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismâil, Ishâq, Ya’qûb dan cucunya, dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi Tuhannya. Kami pun tidak membeda-bedakan seseorang diantara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.”

Ayat di atas, tidak menyebut agama para nabi sebelum Muhammad dengan agama Islâm. Tetapi ketundukan dan kepasrahan mereka terhadap Allah menunjukkan keberislaman mereka (menjadi Muslim).[11] Ayat di atas juga diperjelas kembali dalam Sûrah Ali Imran: 84-85

“Katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismâil, Ishâq, Ya’qûb, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Mûsa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri’. Barang siapa mencari agama selain agama Islâm, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Beberapa ayat di atas menunjukkan adanya keterhubungan agama Islâm sebagai ajaran Nabi Muhammad dengan ajaran Nabi Ibrahim serta nabi-nabi lainnya yang menunjukkan kepasrahan dan mengesakan Allah. Al-Qur’an memberikan isyarat bahwa pada setiap kaum, Allah akan menurunkan utusan untuk patuh dan berserah padaNya.[12] Hal ini semakin menguatkan bahwa nabi-nabi yang diutus Allah sebelum Muhammad juga mengajarkan islâm dan menjadi seorang muslim.[13]

Ajaran kepasrahan (islâm) kepada Tuhan Yang Esa yang diserukan Nabi Muhammad juga diserukan jauh sebelumnya, yakni oleh Nabi Musa. “Berkata Musa: ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri (muslim)”.[14] Pun demikian dengan nabi Isa yang dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa kaumnya menyatakan kemusliman mereka.[15]

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.”[16]

Ibn Abbas meriwayatkan bahwa persaksian dan kepasrahan kepada Allah telah dilakukan oleh para nabi terdahulu. Riwayat Ibn Abbâs semakin menguatkan bahwa ajaran-ajaran nabi sebelum Muhammad adalah islâm (kepasrahan pada Allah).[17] Inti ajaran para nabi adalah menyeru pada ketauhidan. Meninggalkan bentuk-bentuk tuhan ciptaan manusia itu sendiri.

Selain ayat-ayat diatas, al-Qur’an juga memberikan keterangan terkait ajaran nabi Nuh. Ayat yang menerangkan adanya hubungan mendasar antara ajaran islâm Nabi Muhammad dengan nabi Nuh adalah:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).[18]

Ayat selanjutnya:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepÂdamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismâ’il, Ishâk, Ya’qûb dan anak cucunya, Isâ, Ayyûb, Yûnus, Harun dan Sulaimân. Dan Kami berikan Zabur kepada Daûd”[19]

“Dan Kami telah menganugerahkan Ishâk dan Ya’qûb kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, dan Ismâil, Alyasa, Yûnus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), Dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”

Bahkan lebih jauh lagi, al-Qur’an memberi keterangan bahwa ajaran islâm Nabi Muhammad pun telah ada sejak Âdam. Berikut ayat yang menerangkannya:
“Sesungguhnya Allah telah memilih Âdam, Nûh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imrân melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)”[20]

Ayat-ayat di atas memang tidak secara khusus menyebut ajaran para nabi –sebelum Muhammad- dengan islâm. Namun keterangan al-Qur’an menunjukkan bahwa ajaran pasrah (islâm) tidak saja berasal dari Nabi Ibrahim, tetapi jauh sebelumnya yakni Nabi Nuh dan Âdam.[21] M. Quraish Shibab, juga menjelaskan:

“Agama, atau ketaatan pada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak pada Allah SWT. Islâm dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh pada nabi sejak Nabi Âdam hingga Nabi Muhammad SAW.”[22]

Ibn Taimiyah menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama adalah islâm. Hal itu ia dasarkan pada Sûrah al-Nisa: 125.

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.

Ia menjelaskan saat turunnya ayat ini, kalangan ahli kitab, ahli injil dan pemuka agama-agama sedang berkumpul dan menyatakan kebanggaannya bahwa agamanya adalah lebih baik dari agama lainnya. Maka kemudian turunlah ayat ini.[23] Secara teks, ayat di atas tidak menyebut nama agama tertentu. Tetapi titik tekannya adalah “ikhlas dan menyerahkan dirinya ke Allah... dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus”. Penulis berkesimpulan bahwa islâm yang dimaksud dalam ayat di atas adalah bukan semata mengacu pada nama agama. Melainkan sebuah ketundukan dan kepasrahan kepada Allah Yang Esa dan mengikuti ajaran Ibrahim.

Terkait kontinuitas ajaran Nabi Muhammad dengan para nabi sebelumnya, terdapat diskursus yang dilontarkan Fazlur Rahman. Kritik Rahman dilancarkan sebagai tanggapan atas pendapat Snouck Hurgronye yang mengatakan: (1) bahwa Muhammad sepenuhnya mengadopsi ajaran-ajaran para nabi terdahulu; (2) pada saat di Mekkah, orang-orang Yahudi dan Kristen menolak ajaran Muhammad. Sehingga pada saat di Madinah, Muhammad mengatakan bahwa ajarannya (islâm) sama seperti ajaran Ibrahim untuk menarik simpati; dan (3) keyakinan Muhammad bahwa ajarannya yang disampaikan saat di Mekkah sama dengan ajaran nabi-nabi sebelumnya.

Rahman memang membenarkan apa yang dikemukakan Hurgronye. Tetapi ada sanggahan atas pendapat Hurgronye, yakni bahwa sebelum Islâm datang, masyarakat Mekkah sangat menanti-nanti hadirnya agama baru yang serupa dengan Yahudi dan Kristen. Hal ini didasarkan pada Sûrah al-Shaffat: 168-170

Kalau sekiranya di sisi kami ada sebuah kitab dari (kitab-kitab yang diturunkan) kepada orang-orang dahulu, benar-benar kami akan jadi hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa). Tetapi mereka mengingkarinya (Al Quran); maka kelak mereka akan mengetahui akibat keingkarannya itu”.

Sanggahan lain yang diajukan Rahman adalah saat menjelaskan bahwa sejak di Mekkah, Nabi Muhammad telah menyampaikan bahwa ajaran islâm adalah ajaran nabi terdahulunya, Ibrahim. Rahman mendasarkan pada “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa”.[24] Selain itu, Rahman membantah pendapat Hurgronye yang berpendapat bahwa ajaran para nabi hanya ditujukan bagi orang-orang Arab.[25]

Sebagai tambahan, penulis melihat saat ini makna islâm telah bergeser dari apa yang disampaikan dalam al-Qur’an. Hal ini terjadi ketika penggunaannya diterapkan secara tidak tepat. Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Kautsar Azhari dalam sebuah seminar, bahwa dalam perjalannya, islâm telah bergeser dari sebuah ajaran kepasrahan kepada Tuhan. Indikasi pergeseran tersebut terlihat ketika islâm dijadikan sebagai sebuah lembaga/institusi atau bahkan partai politik.

Kesimpulan
Secara bahasa, islâm bermakna berserah diri pada Allah Yang Maha Esa. Berserah diri tentu tidak saja dalam ucapan persaksian (syahadat), tetapi harus ditunjukkan dengan pengamalan segala perintah-Nya. Kesimpulan penulis atas pengertian Islâm dalam al-Qur’an adalah, bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh para nabi adalah islâm. Sejak nabi Âdam hingga Muhammad, pokok inti ajarannya adalah berserah diri/pasrah kepada Allah. Ini artinya, sekalipun para nabi tidak menyebutkan ajarannya dengan nama Islâm, tetapi pesan terdalam ajaran mereka adalah islâm.



[1] John L. Esposito mencatat bahwa perkembangan jumlah penduduk Islâm paling pesat dibanding negara lainnya. Perkembangan pesat penduduk Islâm terjadi di benua Eropa dan Amerika. John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Peradaban, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010), h. 21. Âdam Lebor juga mencatat bahwa komunitas muslim di Amerika membentuk sebuah wadah tertentu untuk mampu melakukan lobi-lobi politik demi kepentingan mereka. Lihat: Âdam Lebor, Pergulatan Muslim di Barat,  (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), h. 17.
[2] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), h. 656. Lihat juga: Munjîd fi al-Lugha, (Beirut: Dâr al-Masyrik, 1977), cet-17, h. 347
[3] E. Van Donzel. ed, The Encyclopaedia Of Islâm, (Leiden: E. J. Brill, 1997), Vol 4, h. 177.
[4] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), h. 11. Lihat penjelasan al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, vol. 1, h. 537
[5] Abî Abdullah Muhammad ibn Ismâil al-Bukhâri, Sahih Bukhari, (Kairo: Dâr al-Hadîs, 2011), h. 29
[6] al-Bukhâri, Sahih Bukhari, h. 29
[7] Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 37. Dalam menjelaskan maksud Sûrah Ali Imrân: 18, Ibn Taimiyah menaruh perhatian besarnya pada persoalan ketauhidan. Banyak ayat al-Qur’an menegaskan agar senantiasa bertauhid. Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Tafsîr al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Alamiah, tt), vol 3, h. 140
[8] Mulyadi Kartanegara .ed, Pengantar Studi Islâm, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2012), h. 37
[9] (…إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ) Ali Imrân: 19, (… وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ) Ali Imron: 85, (…فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ) al-An’am: 125, (أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ) al-Zumar: 22, (وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَى إِلَى الْإِسْلَامِ) al-Shof: 7 dan (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ) al-Maidah: 3. Lihat Fadlullah Ibn Mûsa, Fathu al-Rahmân Li Thâlib Ayat al-Qur’an, (Bairut: Dâr al-‘Alamiyah, 2005), h. 371.
[10] M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol 3, h. 870
[11] Mulyadi Kartanegara .ed, Pengantar Studi Islâm, h. 41
[12] Sûrah al-Ra’d: 7
[13] Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 39
[14] Sûrah Yunus: 84
[15] Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, 40
[16] Ali Imrân: 52
[17] Abî Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairuzi Abadi, Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs, (Bairut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 52
[18] Sûrah Al-Syura: 13
[19] Sûrah Al-Nisa’: 163
[20] Sûrah Ali Imrân: 33
[21] Mulyadi Kartanegara .ed, Pengantar Studi Islâm, h. 42
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet-7, vol, 2, h. 40
[23] Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Tafsîr al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Alamiah, tt), vol 3, h. 457
[24] Sûrah al-A’la: 18-19
[25] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 194-196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar